KPK dan BPK
Tuesday, 11 July 2017 - 00:00
Komisi Pemberantasan Korupsi dan Badan Pemeriksa Keuangan adalah dua lembaga yang memiliki posisi sama. Keduanya sama-sama lembaga tinggi negara. KPK dan BPK adalah lembaga independen. Dua-duanya bebas dari intervensi pemerintah. Tugas DPR hanya mengawasi kedua lembaga ini.
Kedua lembaga ini memang kelihatan memiliki tugas berbeda, tetapi bisa saling mengisi. KPK bertugas dalam ranah penegakan hukum dan menyelamatkan uang negara dari korupsi, sementara BPK bertugas mengaudit keuangan negara, kementerian, lembaga, dan pemerintah provinsi serta kabupaten/kota. BPK memiliki BPK daerah (provinsi), sementara KPK tidak. KPK hanya di pusat. Kapasitas sumber daya manusia sangat sedikit untuk menjangkau daerah. Namun, hasil audit BPK bisa menjadi rujukan bagi KPK untuk menelusuri kasus korupsi pejabat negara pusat-daerah.
Distorsi informasi
Hanya saja, publik di Tanah Air mulai ragu terhadap kredibilitas audit BPK. Publik tak meragukan kemampuan BPK melakukan audit, tetapi meragukan integritas para auditor. Di daerah, misalnya, banyak sekali cerita publik mengungkapkan BPK kerap bermain dalam melakukan audit keuangan negara. Banyak juga yang bercerita, auditor BPK bisa dibayar sehingga banyak kabupaten/kota dan provinsi yang mendapat opini wajar tanpa pengecualian (WTP) BPK, padahal kinerja sesungguhnya buruk.
Audit BPK kemudian mengalami distorsi informasi dan moral hazard. Distorsi informasi artinya informasi atau data yang diosodorkan BPK kerap dipakai politisi untuk menyerang lawan politik yang belum tentu kebenarannya valid. Hasil audit BPK terhadap Rumah Sakit Sumber Waras, misalnya, digunakan para politisi menyerang mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. Padahal, tingkat akurasi audit BPK belum tentu benar. Sementara moral hazard terjadi karena banyak sekali hasil audit BPK hanya pesanan belaka. Kasus dugaan suap terkait opini WTP Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi serta pejabat eselon I BPK adalah contoh paling jelas. Kasus itu menunjukkan BPK kerap memperdagangkan opini WTP hanya untuk mengamankan sebuah institusi pemerintah agar bebas dari penilaian buruk presiden dan publik.
Akibatnya, hasil audit BPK tidak dapat digunakan sebagai parameter tata kelola kelembagaan atau jalan-tidaknya reformasi birokrasi. Padahal, pemberian opini WTP kepada suatu instansi pemerintah menunjukkan bahwa instansi itu memiliki standar akuntansi dan tata kelola pemerintahan yang baik. Bagaimana bisa diterima akal sehat, misalnya, Provinsi Sulawesi Tenggara selama kepemimpinan Gubernur Nur Alam mendapat opini WTP tiga tahun berturut-turut (2013-2016), padahal Nur Alam terindikasi korupsi dalam kasus pemberian izin konsesi nikel kepada PT Anugerah Harisma Barakah di Kabupaten Buton dan Bombana sejak 2009. Kasus Nur Alam hanya satu contoh bagaimana opini WTP BPK tak paralel dengan kinerja pejabat negara yang masih korup.
Asimetri kekuasaan
Ekonom Joseph Stiglitz mengatakan, distorsi informasi seperti ini sebagai asimetri informasi atau informasi yang tak sejajar diterima publik sehingga publik hanya melihat kepingan fakta yang tak valid kebenarannya. Asimetri informasi terjadi karena ada pihak yang berusaha menyembunyikan data dan fakta. Ketidakjujuran dalam mengungkap fakta menyebabkan reformasi birokrasi dan tata kelola pemerintahan yang baik macet. Hasil audit BPK juga menyebabkan kasus-kasus korupsi disembunyikan dan sulit diusut. Stiglitz mengatakan, tidak ada asimetri informasi tanpa adanya asimetri kekuasaan. Artinya kekuasaanlah yang membuka ruang bagi BPK menghambat proses pencarian fakta. Apa yang dikatakan Stiglitz ada benarnya. Berbagai kasus dugaan penyalahgunaan wewenang dan jual-beli opini WTP oleh BPK seharusnya membuat DPR mengawasi lembaga ini agar terjadi reformasi institusional. DPR seolah tak melihat ada masalah besar di BPK.
Padahal, korupsi yang dilakukan pegawai BPK mewajibkan DPR melakukan evaluasi politik terhadap institusi tersebut. Ini terjadi karena BPK lembaga independen yang syarat kepentingan politis. Pemilihan pimpinan BPK dan KPK memang sama. Dua-duanya dipilih DPR. Hanya saja, nuansa politis pemilihan pimpinan dua lembaga ini berbeda. Pemilihan pemimpin BPK sangatlah politis. Sejauh yang penulis perhatikan, selama dua periode terakhir, pimpinan BPK mayoritas berasal dari kalangan politikus. Ketua BPK sekarang, Harry Azhar Azis, adalah politisi Partai Golkar dan menjabat sebagai anggota Komisi XI sebelum memimpin BPK.
Selain Harry, masih ada Achsanul Qosasi (Partai Demokrat) dan Rizal Djalil (PAN). Orang-orang ini maju mencalonkan diri menjadi komisioner BPK karena sudah melihat peluang mereka tak terpilih kembali dalam pemilu. Sebagai langkah politis mudah saja mereka melobi partai dan sahabat-sahabat mereka di Komisi XI untuk memenangkan pencalonan dalam pemilihan komisioner BPK.
Rekam jejak pimpinan BPK berbeda dengan KPK. Hadi Purnomo, Ketua BPK periode 2009-2014, terjerat kasus korupsi terkait permohonan keberatan pajak yang diajukan Bank Central Asia (BCA) dalam posisinya sebagai Dirjen Pajak 2002-2004. Harry Azhar juga masuk dalam kasus Dokumen Panama (Panama Papers) dan punya perusahaan di negara bebas pajak.
Sementara pemilihan pimpinan KPK agak berbeda. Sejak dibentuk pada 2003, calon pemimpin KPK selalu berasal dari orang-orang independen yang tidak memiliki kepentingan apa pun selain menegakkan hukum. Sebut saja Taufiequrachman Ruki, Antasari Azhar, Abraham Samad, dan Agus Rahardjo. Nama-nama ini awalnya biasa saja. Akan tetapi, setelah menjalankan tugas penegakan hukum, mereka pun menjadi terkenal karena keberanian memberantas korupsi tanpa tebang pilih.
Sejak berdiri, KPK sukses meringkus 119 anggota DPR-DPRD yang terjerat korupsi. KPK juga sukses menangkap 15 gubernur dan 50 wali kota korup. KPK sukses menangkap pejabat negara yang terjerat kasus korupsi. Contohnya, Ketua SKK Migas Rudi Rubiandini dalam kasus suap dan operasi tangkap tangan terhadap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar dengan modus sama, yakni menerima suap pada beberapa tahun silam.
Penguatan KPK dan BPK
KPK adalah salah satu lembaga penegak hukum yang masih dipercaya rakyat. Kerja KPK sudah menunjukkan hasil walaupun belum maksimal. Satu per satu korupsi yang melibatkan pejabat-pejabat negara, termasuk dari lembaga penegak hukum, terbongkar. Secara nasional, kerja KPK membangkitkan harapan akan berakhirnya korupsi di Indonesia.
Keberhasilan KPK tidak saja terjadi karena kredibilitas orang-orang yang duduk di dalamnya, tetapi juga karena wewenang dan perangkat kerja yang dimiliki lembaga itu. KPK, misalnya, berwenang melakukan penyadapan; sebuah wewenang yang sangat efektif mengungkap tipu daya korupsi para pejabat negara. KPK juga memiliki kewenangan melakukan penyidikan setara kepolisian dan kejaksaan sehingga mampu mengatasi korupsi sistemik di kepolisian dan kejaksaan.
Sayangnya, wewenang penyadapan oleh KPK hendak ditiadakan oleh politisi korup dan picik. DPR sedang berkomplot mengamputasi peran KPK melalui pembentukan panitia angket. Melalui angket, politisi Senayan ingin mengubah prosedur operasi di KPK dan revisi UU No 30/2002 tentang KPK. Padahal, dengan kewenangan ini, KPK bisa membongkar deal gelap politisi dengan pengusaha dan mampu mengontrol kinerja DPR yang kerap melakukan deal gelap di rapat anggaran untuk menghabiskan uang negara.
Pembentukan panitia angket oleh DPR tidak urgen. Hal yang paling urgen dilakukan DPR adalah melakukan penguatan terhadap kerja KPK. Kerja KPK menjadi begitu tinggi akibat bertubi-tubinya korupsi di pemerintahan pusat-daerah. Namun, kapasitas personalia, anggaran, dan jangkauan kerja KPK tak memadai untuk benar-benar memberantas korupsi sampai ke seluruh negeri ini. DPR sebagai wakil rakyat seharusnya melakukan penguatan terhadap KPK, bukan melemahkan KPK.
Yang paling urgen juga dilakukan DPR adalah melakukan evaluasi politik terhadap BPK agar kinerja lembaga audit negara tersebut bisa bermanfaat banyak bagi reformasi birokrasi dan penataan kelembagaan publik pascareformasi. Proses seleksi pansel BPK harus dilihat ulang. Syarat-syarat menjadi pemimpin BPK harus nonpartisan, tidak terlibat dalam politik selama beberapa tahun, dan profesional. Jika diperlukan, auditor independen penting sebagai pembanding audit BPK.
FERDY HASIMAN, Peneliti pada Alpha Research Database, Indonesia
--------------
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 Juli 2017, di halaman 6 dengan judul "KPK dan BPK".