KPK dan Komisi III Perlu Buat Nota Kesepahaman

Wakil Ketua Komisi III DPR dari Partai Keadilan Sejahtera, Soeripto, menyarankan agar dibuat nota kesepahaman atau memorandum of understanding antara Komisi Pemberantasan Korupsi dan Komisi III DPR. Dalam nota kesepahaman itu dapat disepakati sejumlah perkara yang penanganannya harus menjadi prioritas KPK.

Ini semacam kontrak antara KPK dan Komisi III untuk penegakan hukum secara konsekuen, kata Soeripto di sela-sela diskusi bertemakan Urgensi Kebenaran Materiil dalam Perkara Pidana di Jakarta, Sabtu (15/12).

Usul pembuatan MOU itu dikemukakan Soeripto terkait KPK di bawah kepemimpinan Antasari Azhar mendatang. Dari evaluasi, kalau gagal, KPK tak perlu dilanjutkan lagi. Serahkan saja ke Kejaksaan dan polisi, kata dia.

Soeripto berpendapat, KPK harus memprioritaskan perkara besar, seperti aliran dana Bank Indonesia (BI) serta korupsi di instansi pemerintah, termasuk TNI dan badan usaha milik negara (BUMN).

Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Rudy Satriyo Mukantardjo, menambahkan, kasus aliran dana BI ke sejumlah penegak hukum dan anggota Dewan dapat menjadi ujian pertama bagi Antasari dalam memimpin KPK. Kalau ketua KPK ganti, bukankah tak berarti kasus itu hilang penanganannya, ujarnya.

Upaya paksa saksi
Menanggapi KPK belum berhasil menyimpulkan adanya dugaan korupsi dalam kasus aliran dana BI akibat keterangan saksi yang tak logis dan konsisten pada tingkat penyelidikan, Rudy menegaskan, KPK mestinya punya modal untuk menyelidiki perkara itu, termasuk pembuktian yang kuat. Setelah itu, baru mendatangkan saksi. Jika ada keterangan yang mencla-mencle, bisa dicecar, tegasnya lagi.

Seperti diberitakan, Wakil Ketua KPK Tumpak Hatorangan Panggabean mengakui kesulitan mendatangkan pejabat BI untuk dimintai keterangan (Kompas, 15/12). Menurut Rudy, meski kasus itu masih di tingkat penyelidikan, KPK bisa melakukan upaya paksa dengan dasar saksi mempersulit pemeriksaan.

Humas KPK Johan Budi SP, Sabtu, mengakui, dalam kasus aliran dana BI ada saksi dua kali dipanggil, tetapi tidak datang. Mereka antara lain Gubernur BI Burhanuddin Abdullah dan anggota DPR Hamka Yamdu. (idr)

Sumber: Kompas, 17 Desemebr 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan