KPK di Antara Problem dan Tantangan
TIDAK ada yang dapat menyangkal, KPK kini menghadapi masalah serius yang dapat mempunyai implikasi langsung kepada percepatan dan gerakan pemberantasan korupsi di tanah air. Bahkan, banyak pihak berpikiran, KPK memang disengaja "diarahkan" menuju "tubir jurang" untuk segera "dikremasi" pasca putusan Pengadilan Tinggi (PT) DKI yang memerintahkan persidangan tersangka Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah. Apalagi, setelah melihat langkah hukum yang diambil Kejaksaan Agung -justru mengajukan peninjauan kembali (PK), bukan deponering. Sebab, PK tidak dapat menghentikan eksekusi putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.
Ada juga kalangan yang berkeyakinan, kendati bobot beban KPK untuk keluar dari jebakan problem yang tengah "mendera dan menerkamnya" tidaklah ringan dan sederhana, itu tidak berarti problem tersebut tidak dapat diatasi dan ditangani.
Tantangan yang dihadapi KPK sekaligus merupakan peluang dan momentum untuk meningkatkan soliditas serta membangun konsolidasi atas semua sumber daya sosial yang dimiliki KPK dan gerakan antikorupsi. KPK dan jaringan sosial pemberantasan korupsi mempunyai kesempatan untuk "jeda", melakukan refleksi-kontemplatif yang mendalam untuk mengkaji dan mengalkulasi segenap program strategisnya untuk menghadapi "serbuan" yang kian sistematis dengan menggunakan berbagai cara, termasuk saluran hukum yang ada.
Situasi "terburuk" yang bakal dihadapi KPK adalah "hancurnya" lembaga itu karena memang dianggap tidak layak lagi dipertahankan, tidak mendapatkan kepercayaan publik, dan tidak lagi mendapatkan dukungan politis. Penghancuran KPK dapat dimulai dengan membawa kasus Bibit-Chandra ke persidangan. Penghancuran atau adanya keadaan "buruk" itu disebabkan segenap sumber daya KPK bakal kehilangan elan spiritualitasnya serta terbelah dan tidak dapat lagi optimal menjalankan fungsi, tugas, dan wewenangnya untuk kepentingan pemberantasan korupsi.
Proses di pengadilan sesungguhnya sangat potensial untuk digunakan berbagai pihak yang tidak sepenuhnya menginginkan keberadaan KPK dengan "mengeksploitasi" serta "mendiskreditkan" citra dan kehormatan lembaga KPK. Pendeknya, KPK akan dibuat distrust dari user utamanya, yaitu publik dan para justisiabel. KPK dianggap tidak pantas lagi menjadi ikon reformasi karena sama jeleknya dengan lembaga penegakan hukum lainnya. Keadaan itu akan dipakai sebagai dasar legitimasi untuk mendekonstruksi eksistensi KPK sebagai triger mechanism dalam pemberantasan korupsi di dalam keseluruhan sistem penegakan hukum yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi.
Proses peradilan yang memakan waktu cukup lama biasanya juga disertai "hiruk pikuk" penilaian atas segenap proses yang terjadi di dalam proses tersebut. Kesemuanya itu sangat potensial membuat tidak kondusifnya atmosfer dan suasana kerja di lembaga KPK. Yang sangat mengkhawatirkan adalah bila para profesional yang bekerja secara purnawaktu, tulus, dan spartan itu "terinfeksi" situasi yang tidak kondusif.
Situasi KPK yang demikian itu tentu saja akan dimanfaatkan berbagai kepentingan lain, baik secara langsung maupun tidak langsung. Justru para pendukung kepentingan "para koruptor" yang memang menghendaki KPK segera dilikuidasi dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Pihak-pihak yang sekarang tengah diperiksa KPK dan dinyatakan sebagai tersangka tentu berharap proses likuidasi KPK segera terjadi. Begitu pula, para pihak yang kasusnya kini tengah dikaji dalam tahap penyelidikan akan berharap sepenuh hati agar KPK melakukan moratorium untuk tidak melanjutkan pemeriksaan atas kasus tersebut.
Yang sangat mengkhawatirkan adalah berbagai program strategis KPK di bidang pencegahan kourpsi. Program yang dimaksudkan untuk meminimalisasi potensi korupsi dengan menghilangkan faktor-faktor kriminogen penyebab korupsi serta pembangunan zona integritas dan akuntabilitas antikorupsi yang belum sepenuhnya tuntas tidak dapat segera diselesaikan.
Pengembangan zona tersebut menjadi penting karena tindak, sifat, serta sikap koruptif dan kolusif dihasilkan melalui kondisi yang tersebut di dalam suatu sistem. Bila tidak ada upaya serius untuk membangun sistem yang dapat mendelegitimasi potensi sikap dan perilaku koruptif serta kolusif tersebut, maka proses fabrikasi tindak pidana korupsi akan terus terjadi.
Program pencegahan di atas adalah sisi lain program pemberantasan korupsi yang berkaitan erat dengan tindak represif.
Problem yang diuraikan di atas bukan tidak dapat ditangani karena KPK dan gerakan antikorupsi masih dapat melakukan berbagai langkah strategis. Cukup banyak langkah yang dapat dilakukan untuk "menaklukkan" tantangan yang dihadapi KPK.
Pertama, Bibit-Chandra, unsur pimpinan lainnya, dan seluruh jajaran KPK seyogianya telah menyiapkan kemungkinan terburuk, yaitu, akhirnya kasus Bibit-Chandra dibawa ke pangadilan.
Kedua, kasus persidangan Anggodo yang kini tengah digelar di Pengadilan Tipikor harus menjadi salah satu fokus dan titik perhatian bersama.
Ketiga, kasus Bibit-Chandra yang dibawa ke proses persidangan dapat dijadikan sebagai "titik balik" untuk melakukan konsolidasi terhadap seluruh sumber daya KPK, merumuskan program strategis agar mempunyai dampak yang signifikan bagi percepatan pemberantasan korupsi dengan menghitung secara cermat risiko yang muncul bila program strategis itu dijalankan.
Keempat, KPK telah memiliki jejaring sosial yang sebagiannya belum dikonsolidasikan secara maksimal untuk menjadi bagian penting dalam gerakan sosial pemberantasan korupsi. Kelima, proses seleksi pimpinan KPK yang akan dilakukan pansel pimpinan KPK dapat menjadi salah satu faktor penting yang dapat menjadi dasar keberadaan KPK ke depan.
Bambang Widjojanto, Senior Partners WSA Lawfirm dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 14 Juni 2010