KPK Didesak Segera Panggil Penerima Cek
Data PPATK tidak bisa dijadikan alat bukti dalam persidangan.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi segera memanggil nama-nama yang diduga menerima cek pelawat dalam data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Sebab, menurut Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW Ibrahim Fahmi Badoh, data itu sudah cukup untuk segera ditindaklanjuti. “Para penerima cek sudah tertera jelas dalam data itu,” kata dia saat dihubungi kemarin.
Senin lalu, Ketua Komisi Antasari Azhar mengatakan Komisi akan melakukan konfirmasi terhadap nama-nama yang tercatat dalam data PPATK. “KPK tidak bisa menyatakan seseorang sebagai tersangka atau saksi hanya berdasarkan asumsi," katanya. Sesuai dengan undang-undang, kata dia, data PPATK tak dapat dijadikan alat bukti dalam persidangan.
Dari penelusuran PPATK, ditemukan 480 cek pelawat yang diduga berhubungan dengan pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Swaray Goeltom pada Juni 2004. Setidaknya ada 41 anggota Dewan yang ditengarai menerima cek yang masing-masing bernilai Rp 50 juta itu.
Dari data itu diketahui ada sembilan anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang mencairkan sendiri cek sebanyak 74 lembar. Enam anggota Dewan mencairkan lewat kerabat (71 lembar), dan 26 anggota mencairkan lewat orang lain (335 lembar).
Sejauh ini Komisi sudah memanggil tiga anggota Dewan yang diduga menerima cek. Mereka adalah Agus Condro Prayitno, Emir Moeis, dan Max Moein. Ketiganya dari Fraksi PDI Perjuangan dan duduk di Komisi Keuangan dan Perbankan DPR, yang waktu itu diketuai Emir Moeis.
Kasus cek pelawat itu berawal dari pengakuan Agus Condro kepada Komisi. Saat diperiksa di hadapan penyidik Komisi, Agus mengaku menerima 10 lembar cek bernilai total Rp 500 juta.
Sebelumnya, Ketua PPATK Yunus Husein menyatakan data dari lembaganya memang merupakan informasi awal yang harus ditindaklanjuti penyidik KPK. "Kami bukan penyidik. Hanya penyidik yang dapat mencari alat bukti yang akan dipergunakan dalam proses pembuktian di pengadilan," ujarnya.
Antasari kembali menegaskan data PPATK tidak bisa dijadikan alat bukti dalam persidangan karena bersifat rahasia, sesuai dengan yang diatur dalam undang-undang. Apabila data tersebut disebarluaskan, bisa dikenai konsekuensi pidana. "Sesuai dengan pengaturan dalam Pasal 10 Undang-Undang Tentang PPATK," ujar Antasari melalui pesan singkat kemarin malam.
Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang PPATK disebutkan bahwa pegawai PPATK, penyidik, penegak hukum, atau pihak yang mendapat informasi berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang wajib merahasiakan data tersebut. Bila membocorkan rahasia tersebut, mereka dapat dikenai pidana paling sedikit 1 tahun dan paling lama 3 tahun. ANTON SEPTIAN | CHETA NILAWATY
Sumber: Koran Tempo, 9 Oktober 2008