KPK Diserang Lagi
"Kalau Anda membunuh saya, tak ada gunanya, karena orang lain akan melanjutkan penyelidikan". Lebih-kurang begitulah kutipan terkenal dari penyidik Komisi Antikorupsi Hong Kong (ICAC) ketika menghadapi teror, ancaman, dan intimidasi dari pelaku korupsi. Kejadian serupa pun sedang mendera Indonesia. Belum lepas dari pengeboman di rumah pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa pekan lalu, kali ini giliran dua pegawainya dianiaya orang tidak dikenal di Hotel Borobudur, Jakarta, saat menjalankan tugas pada 3 Februari lalu.
Rentetan kejadian itu mengembalikan ingatan saya pada film I Corrupt All Cops (2009). Film ini menceritakan lahirnya ICAC. Pada saat itu, serangan demi serangan menimpa para penyidik ICAC. Bahkan, menurut pengakuan Tony Kwok, bekas Komisioner ICAC, tak sedikit penyidik yang meregang nyawa saat berupaya mengungkap kejahatan korupsi.
Persoalan penyerangan terhadap KPK pada akhirnya akan bermuara pada upaya pengungkapan oleh kepolisian. Namun itu tidaklah mudah. Kasus penyiraman air keras terhadap penyidik KPK, Novel Baswedan, pada April 2017, belum terungkap juga hingga sekarang. Pembentukan tim gabungan pencari fakta di bawah garis komando Markas Besar Kepolisian RI untuk mengusut kasus ini terasa kental dengan aroma politik, mengingat saat itu isu penyerangan Novel sedang digoreng sebelum debat calon presiden. Penyelidikan atas kasus penyerangan terhadap teman kami, Tama S. Langkun, aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW), pada 2010, juga tak jelas perkembangannya hingga kini. Hal ini akhirnya mengarah pada satu kesimpulan bahwa kepolisian bukan tidak mampu mengusutnya, tapi memang tidak mau.
Pengungkapan kasus penyerangan terhadap para pemberantas korupsi tidak bisa dilakukan dengan cara-cara yang konvensional. Ini mengingat kejahatan korupsi selalu melibatkan elite politik yang mempunyai kekuasaan besar dan siap melakukan apa pun agar perbuatannya tidak tercium oleh penegak hukum.
ICW mencatat dua jenis serangan kepada KPK. Pertama, serangan ringan. Pola ini kerap terjadi hampir setiap tahun, mulai revisi Undang-Undang KPK, judicial review Undang-Undang KPK ke Mahkamah Konstitusi, hingga pembentukan Panitia Angket KPK. Motifnya sama, yakni menggerus kewenangan luar biasa yang dimiliki oleh lembaga antirasuah ini, seperti keberadaan penyidik independen, kewenangan penghentian perkara yang tidak dimiliki KPK, pembatasan anggaran, hingga membatasi usia KPK sampai 12 tahun saja.
Kedua, serangan berat. Pola ini sering terjadi saat KPK sedang mengungkap kasus besar yang melibatkan petinggi institusi penegak hukum lain. Saat KPK sedang mengusut dugaan korupsi mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri, Susno Duadji, dua pemimpin KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah, ditetapkan sebagai tersangka oleh kepolisian. Lalu, ketika KPK menetapkan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai tersangka, tak lama kemudian Abraham Samad dan Bambang Widjojanto pun ditetapkan sebagai tersangka oleh kepolisian. Serangan model ini sangat membahayakan karena berkaitan langsung dengan keberlanjutan penanganan perkara di KPK.
Serangan terhadap dua pegawai KPK baru-baru ini sebenarnya bisa ditangani secara mandiri oleh KPK tanpa melibatkan kepolisian. Instrumen hukum yang digunakan adalah Pasal 21 Undang-Undang KPK (obstruction of justice). Ini adalah pasal yang dapat dikenakan kepada pihak-pihak yang berusaha menghalang-halangi proses hukum. Ancaman hukumannya pun cukup tinggi, yakni maksimal 12 tahun penjara. Sebenarnya, aturan ini ingin memastikan bahwa penanganan tindak pidana korupsi harus terus berjalan tanpa ada gangguan dari pihak mana pun.
Setidaknya ada beberapa langkah yang harus segera diambil untuk menanggapi peristiwa tersebut. Pertama, KPK harus mengevaluasi besar-besaran sistem keamanan internalnya. Ini menjadi isu krusial karena dalam waktu kurang dari satu bulan, dua serangan sekaligus menimpa lembaga antirasuah ini. Usul pimpinan KPK untuk membentuk Biro Pengamanan patut menjadi agenda prioritas. Biro ini diharapkan akan diisi oleh pihak-pihak yang berkompeten dalam strategi mitigasi risiko terhadap berbagai ancaman yang mungkin terjadi kepada pegawai dan pimpinan KPK.
Kedua, Presiden Joko Widodo harus turun langsung memimpin pengusutan perkara ini. Berkaca pada pengusutan kasus Novel Baswedan, peran Jokowi dapat dikatakan sangat minim. Seharusnya, dalam kasus ini, Presiden tidak lagi hanya menyerahkannya kepada kepolisian. Sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara, Presiden wajib memastikan keamanan bagi setiap warga negara, termasuk pegawai KPK. Rasanya, Presiden dapat memberikan tenggat waktu pengungkapan kasus kepada kepolisian. Jika dalam rentang waktu itu kasus tidak dapat diselesaikan, Presiden harus mengevaluasi kinerja kepolisian.
Ketiga, kepolisian harus segera menuntaskan penyelidikan terhadap teror yang menimpa dua pegawai KPK. Dengan bermodalkan keterangan korban dan saksi-saksi lain di tempat kejadian, seharusnya pengungkapan kasus ini bukanlah hal yang sulit. Ini sekaligus menjadi pertaruhan bagi citra kepolisian di mata masyarakat. Apabila tidak juga ada perkembangan, jangan salahkan publik jika menilai institusi kepolisian tidak berpihak pada pemberantasan korupsi.
Kurnia Ramadhana, Pegiat Indonesia Corruption Watch
Versi cetak artikel ini terbit di harian Tempo edisi 7 Februari 2019, dengan judul "KPK Diserang Lagi".