KPK Harus Berani Sentuh Mafia Peradilan
Komisi Pemberantasan Korupsi didesak untuk mampu menyentuh dan memberantas mafia peradilan. Karena, menurut International Commission of Jurist, dalam soal mafia peradilan, lembaga peradilan Indonesia menempati posisi nomor tiga sesudah Bosnia dan Guatemala yang sarat dengan mafia peradilan.
Hal ini terungkap dalam diskusi publik dan bedah buku Mafia Peradilan: Catatan Kasus Endin Wahyudin yang diselenggarakan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Senin (20/12).
Hadir sebagai pembicara adalah praktisi hukum Bambang Widjojanto, Ketua Pengadilan Negeri Cibinong Andi Samsan Nganro, dan Direktur LBH Jakarta Uli Parulian Sihombing. Sementara Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Erry Rijana Hardjapamekas, yang direncanakan akan hadir, ternyata batal hadir di dalam diskusi ini.
Uli Parulian Sihombing dalam diskusi tersebut mengungkapkan, kasus-kasus mafia peradilan memang benar-benar ada dan muncul sehingga bukan sesuatu yang dapat disembunyikan.
Meskipun praktik-praktik mafia peradilan sudah bukan hal rahasia lagi, ujarnya, pemerintah maupun Mahkamah Agung belum pernah mengusut dan memberantasnya. Yang baru dipikirkan, katanya lagi, adalah rencana membentuk Komisi Yudisial.
Ketua Pengadilan Negeri Cibinong Andi Samsan Nganro mengatakan, lembaga peradilan seharusnya berfungsi melayani publik. Namun, dalam menjalankan fungsinya, ujarnya, lembaga peradilan rawan dengan praktik penyalahgunaan wewenang atau jabatannya.
Bambang Widjojanto menjelaskan, secara normatif sebenarnya telah terjadi perubahan positif dalam pemberantasan korupsi. Misalnya, kata Bambang, telah ditandatanganinya Law Summit III yang melibatkan advokat, Departemen Hukum dan HAM, serta Jaksa Agung. Di Kejaksaan Agung, lanjutnya, juga sudah terjadi perubahan sedikit, misalnya rencana pembentukan Komisi Kejaksaan dan task force untuk membuka kembali kasus-kasus SP3 (surat perintah penghentian perkara) . Berbeda dengan yang ada di kepolisian. Jumlah kasus yang ditangani di kepolisian sekarang masih banyak yang problematis, masih tidak jelas, ujarnya.
Ia juga menyoroti tentang terpilihnya Wakil Presiden Jusuf Kalla sebagai Ketua Umum Partai Golkar dan pemilihan kepala daerah secara langsung. Hal ini, katanya, membuat para kepala daerah ingin menjadi ketua partai politik. Sebab, mereka melihat pemilihan kepala daerah mendatang tidak akan dilakukan oleh DPRD lagi, melainkan oleh partai politik. Kemenangan Jusuf Kalla menjadi sebuah contoh bagi para kepala daerah untuk merangkap jabatan. Potensi korupsi di partai politik ini akan terjadi secara besar-besaran, ujarnya. (VIN)
Sumber: Kompas, 21 Desember 2004