KPK Harus Buka Rekaman Kriminalisasi
Koalisi Masyarakat Sipil yang tergabung dalam Satu padu Lawan Koruptor (Sapu Koruptor) mendesak Mahkamah Konstitusi agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 'buka-bukaan' terhadap rekaman yang menyebutkan adanya rencana kriminalisasi dan pelemahan lembaga antirasuah tersebut. Penegasan ini disampaikan dalam konferensi pers pada Minggu (7/6/2015) di YLBHI yang dihadiri oleh Kepala Bidang Pengembangan Hukum dan Masyarakat Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Alghifari Aksa, Peneliti Divisi Hukum dan Monitoring, peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter, Sekjen Transperancy International Indonesia (TII) Dadang Trisasongko, Ketua Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Jami Kuna dan Laskar Antikorupsi Pejuang'45 Ari.
Pernyataan tersebut dipicu oleh kesaksian penyidik KPK Novel Baswedan dalam sidang uji materi Pasal 32 Ayat (2) UU KPK di Mahkamah Konstitusi (MK) menyebutkan ada rekaman yang menunjukan upaya kriminalisasi, intimidasi, dan ancaman terhadap KPK. Dalam rekaman tersebut disebutkan rencana menetapkan tersangka bukan hanya Komisioner KPK tetapi juga penyidik yang mengusut kasus Budi Gunawan (BG)
"Kami mendesak MK agar KPK dapat menghadirkan rekaman adanya kriminalisasi terhadap pimpinan, pegawai, dan penyidik KPK serta penggiat antikorupsi kepada publik," tandas Alghifari Aksa
Alghifari melanjutkan, bahwa tidak ada hambatan hukum yang akan diterima MK agar KPK membuka rekaman adanya kriminalisasi di muka persidangan. Pasalnya dalam Pasal Ayat (1) dan (2) Peraturan Mahkamah Konsitusi (PMK) 06/PMK/2015 tentang pedoman berbicara dalam perkara pengujian UU disebutkan MK mengenal asas pembuktian 'bebas yang terbatas'.
Dalam PMK dikatakan bahwa pembuktian dibebankan kepada pemohon dan apabila dipandang perlu. "Jadi hakim MK bisa membebankan pembuktian kepada Presiden atau pemerintah, DPR, DPD, dan /atau pihak terkait. Dalam hal ini maka MK dapat membebankan pembuktiannya kepada KPK," jelasnya.
Pasalnya, upaya kriminalisasi dan ancaman terhadap para penggiat antikorupsi dapat dipandang sebagai upaya menghalang-halangi proses hukum (obstruction of justice).
Sementara itu, Lalola Easter mengatakan, kriminalisasi kepada KPK bukan kali ini saja dilakukan. Sebelumnya kriminalisasi kepada pimpinan KPK Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah di tahun 2009, yang membuka pembicaraan terkait upaya kriminalisasi terhadap KPK di persidangan MK.
"Hal yang sama dapat juga dilakukan dalam persidangan pengujian materi pasal 32 Ayat (2) UU KPK yang diajukan oleh Komisioner KPK Nonaktif Bambang Widjojanto," katanya.
Oleh karenanya, preseden membuka rekaman terkait upaya kriminalisasi dapat membuka pokok permasalahan pemberantasan korupsi yang dikacaukan oleh orang-orang tertentu. Namun pimpinan KPK haruslah berjiwa kooperatif karena rekaman tersebut hanya dapat dikeluarkan oleh pimpinan KPK.