KPK Harus Mempimpin Pemberantasan Korupsi dan Mafia Kehutanan
- Menanggapi prioritas KPK di sektor Kehutanan tahun 2010 -
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah memutuskan empat sektor prioritas yang akan ditangani di tahun 2010, yaitu: Pendidikan, Kesehatan, Pertambangan dan Kehutanan. Menurut KPK, alasan dipilihnya empat sektor diatas ditekankan pada tingginya potensi kerugian keuangan negara, dan persinggungan sektor tersebut dengan kepentingan masyarakat luas. Pemberantasan korupsi di empat sektor itu, rencananya akan dilakukan dengan dua strategi, yaitu: pencegahan dan penindakan.
Hal ini patut disambut, dikawal sekaligus dikritik. Dalam artian, organisasi masyarakat yang bergerak lintas isu di bidang Korupsi, Kehutanan dan Lingkungan Hidup diharapkan memberikan dukungan sekaligus pengawasan terhadap kerja KPK di tahun 2010 ini. Dengan prioritas lebih, tentunya. Terutama karena, KPK tidak akan mungkin bisa berjalan sendiri dalam melakukan pemberantasan korupsi di sektor Kehutanan, khususnya Alih Fungsi Hutan. Civil society dan sejumlah LSM Kehutanan diperkirakan lebih mengetahui seluk beluk perkara Kehutanan, dan modus-modus praktek Mafia di Sektor Kehutanan tersebut. Karena, merekalah yang selama ini fokus melakukan advokasi dan pendampingan terhadap sejumlah masalah-masalah hukum, administrastif dan bahkan juga aspek tenurial di wilayah hutan Indonesia.
Kerugian Keuangan Negara
Selama ini ada banyak versi yang bicara soal kerugian keuangan negara akibat praktek illegal di sektor kehutanan. Mantan Menteri Kehutanan, M.S. Kaban pernah mengatakan, kerugian negara akibat praktek illegal di sektor kehutanan mencapai Rp. 30 triliun atau sekitar Rp. 2,5 triliun setiap bulannya. Sedangkan versi TELAPAK/EIA kerugian akibat pembalakan liar mencapai Rp. 40 triliun pertahun. Berbagai versi ini menunjukkan, begitu strategisnya sektor Kehutanan sebagai prioritas pembenahan atau reformasi. Praktek korupsi, dinilai punya andil signifikan yang menyebabkan kerusakan hutan dan kerugian negara yang sangat besar. Hal ini bahkan belum mempertimbangkan potensi kerugian ekologis, budaya dan aspek lainnya yang tidak terukur secara matematis.
Dengan metode yang lebih sederhana, ICW mencoba menghitung kerugian negara dari berkurangnya luas penutupan kawasan hutan. Dengan data statistik Kehutanan Departemen Kehutanan 2003-2008, dapat dihitung, setidaknya kerugian keuangan negara dari sektor Kehutanan mencapai Rp. 14,13 triliun.
Berdasarkan bentuk (hutan dan non-hutan), luas penutupan kawasan hutan dari 2003 hingga 2008 mengalami penurunan. Terutama periode 2003-2004 dan 2007-2008. Dengan estimasi linear, diperkirakan luas penutupan kawasan hutan terus berkurang, sehingga pada tahun 2010 menjadi sekitar 3.520.000 Ha. Atau berkurang sekitar 700.000 Ha selama 7 tahun.
Jika memakai rata2 potensi tegakan per Ha (re-enumerasi 1996-2007), dengan mengasumsikan bahwa seluruh hutan tertutup pohon berdiameter +20 cm (merupakan jenis terbanyak di sumatera berdasarkan statistik kehutanan 2008), yaitu 100.92 m3/Ha, maka:
Estimasi Kerugian negara Tegakan Kayu: Volume tegakan kayu/ha*) x Harga kayu*) x Luas lahan yang dieksploitasi 100,92 m2/Ha x Rp. 200.000 x 700.000 Ha = Rp. 14.128.800.000.000Text Box: Sumber: Statistik kehutanan Departemen Kehutanan 2003-2008
Perhitungan ICW ini terlihat tidak sebesar estimasi yang disampaikan oleh mantan Menteri Kehutanan dan EIA/TELAPAK. Hal ini disebabkan, ICW menggunakan data resmi statistik Departemen Kehutanan, dan hanya menghitung volume tegakan kayu (dengan asumsi rata-rata hutan Indonesia ditutup pohon berdiameter +20cm) dan harga kayuRp. 200.000 per m3.
Perhitungan ini akan jauh lebih besar jika ternyata pada kawasan hutan tertentu ditanami oleh pohon dengan diameter yang lebih besar, dan harga kayu yang lebih tinggi. Akan tetapi, lebih dari itu, berdasarkan Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung terhadap Adelin Lis dan Suwarna Abdul Fatah, maka perhitungan kerugian keuangan negara juga harus mencakup: Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR), atau kerugian lain yang diakibatkan oleh perbuatan illegal di sektor kehutanan yang dapat dihitung.
Mafia Kehutanan
Fakta bahwa negara sangat dirugikan karena praktek illegal di sektor kehutanan tersebut, idealnya menjadikan aparat penegak hukum serius memerangi kejahatan sektor kehutanan. Akan tetapi, gagal dan lemahnya penegakan hukum di sektor ini bukanlah hal yang baru. UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, komitmen penegak hukum yang diragukan, tumpang tindih aturan kehutanan, euforia otonomi daerah, dan sejumlah penyalahgunaan wewenang yang dilakukan penyelenggara negara membuat upaya penyelamatan hutan gagal. Dengan kata lain, hal ini menempatkan hutan Indonesia dalam posisi terancam.
Belakangan, penggunaan delik Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31/1999 jo 20/2001) menjadi salah satu alternatif penting. Di Pengadilan Umum, MA telah memutus Adelin Lis bersalah melakukan korupsi (meskipun sebelumnya PN Medan membebaskan cukong kayu ini). Sementara di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ICW mencatat baru tiga kasus besar yang ditangani KPK terkait dengan kejahatan sektor Kehutanan. Pertama, Kasus pembukaan lahan sejuta hektar untuk perkebunan Sawit. Kasus ini melibatkan mantan Gubernur Kalimantan Timur, pengusaha dan sejumlah penyelenggara negara di Kantor Wilayah Departemen Kehutanan. Ditangani KPK sejak Juni 2006, akhirnya Mahkamah Agung memutus Suwarna dkk bersalah melakukan korupsi, dengan kerugian keuangan negara Rp. 346.8 miliar.
Kedua, kasus suap dibalik penerbitan izin pemanfaatan kayu pada 15 perusahaan di Riau. Kasus ini dinilai merugikan keuangan negara hingga Rp. 1,4 triliun. Saat itu Tengku Azmun Jafar, Bupati Pelelawan, dalam rentang waktu 2001-2006, menerbitkan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan-Hutan Tanaman (IUP). Dan, Ketiga, masih kasus yang terkait dengan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK-HT) tahun 2001-2006 di wilayah Kabupaten Pelalawan dan tahun 2001-2007 di Wilayah Kabupaten Siak.
Kasus lainnya, yang sempat mencuat di sektor kehutanan adalah kasus alih fungsi hutan untuk pelabuhan tanjung api-api. Dalam kasus tersebut sejumlah anggota DPR dijerat delik korupsi (suap), dan sebagian sudah dinyatakan bersalah oleh pengadilan tindak pidana korupsi.
Bercermin dari catatan tersebut, sesungguhnya strategi menerapkan rezim UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada sektor Kehutanan adalah pilihan yang lebih menjanjikan untuk saat ini. Selain karena memang sejumlah permainan mafia sektor kehutanan berdiri diatas praktek korupsi, suap dan kolusi dengan pejabat terkait, lemahnya UU Kehutanan juga menjadi faktor penting. KPK juga dinilai lebih mempunyai intergritas dan sumberdaya untuk melakukan pemberantasan korupsi dan mafia kehutanan tersebut.
Akan tetapi, hal ini tidak boleh hanya menjadi slogan KPK dan janji semata, bahwa di tahun 2010 KPK akan memprioritaskan sektor Kehutanan. ICW memberikan beberapa catatan untuk implementasi pemberantasan korupsi sektor kehutanan ini, diantaranya:
- Mendesak KPK memrioritaskan penanganan sembilan perkara dugaan korupsi kehutanan yang pernah dilaporkan pada KPK dengan menjerat aktor utama mafia kehutanan;
- Meminta KPK berbagi strategi dan melibatkan masyarakat sipil yang sejak lama bekerja secara serius di sektor Kehutanan;
- Meminta KPK, menjalankan fungsi supervisi dan koordinasi untuk memimpin pemberantasan korupsi dan kejahatan kehutanan yang juga dilakukan di Kepolisian dan Kejaksaan;
- Mengajak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk membantu KPK menyelamatkan hutan, dengan juga memprioritaskan audit kerugian keuangan negara di sektor kehutanan.