KPK Harus Tetapkan Anggodo Tersangka
Perlawanan CICAK terhadap Buaya belum selesai. Para CICAK tidak boleh lengah. Kembalinya dua pimpinan KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah tidak berarti apa-apa jika akar masalah terpenting dibalik skandal ini belum dibongkar secara tuntas. Kasus Anggodo dan Bank Century adalah skandal hukum dan peradilan yang menjadi pekerjaan rumah terpenting bagi KPK dan bangsa ini. Ditambah kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Bank Indonesia yang menjadi salah satu penyebab kriminalisasi KPK.CICAK sebagai gabungan organisasi masyarakat yang selama ini mendukung pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK, menilai perlu memberikan DEADLINE pada KPK untuk menetapkan Anggodo Widjaya sebagai tersangka. Sudah saatnya ditahun 2010, KPK "tancap gas" dalam pemberantasan korupsi. 1 Januari 2010, Cicak menggelar jumpa pers di kantor ICW. Menghadirkan narasumber: Febri Diansyah, Peneliti Hukum ICW, Uli Parulian Sihombing, Direktur ILRC (Indonesia Legal Resource Center) HP. 08176683013 dan Eryanto Nurgroho, Direktur Eksekutif PSHK (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan) HP. 081584478814. Bertindak sebagai moderator illian Deta Arta Sari, Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW
KPK Harus Tetapkan Anggodo Tersangka
Perlawanan CICAK terhadap Buaya belum selesai. Para CICAK tidak boleh lengah. Kembalinya dua pimpinan KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah tidak berarti apa-apa jika akar masalah terpenting dibalik skandal ini belum dibongkar secara tuntas. Kasus Anggodo dan Bank Century adalah skandal hukum dan peradilan yang menjadi pekerjaan rumah terpenting bagi KPK dan bangsa ini. Ditambah kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Bank Indonesia yang menjadi salah satu penyebab kriminalisasi KPK.
Akan tetapi hingga saat ini, status Anggodo tidak jelas. Pasca Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri) menyatakan tidak bisa menjerat dengan pasal apapun, masyarakat semakin kecewa, seolah seseorang yang berperan besar dalam komunikasi dugaan rekayasa proses hukum menjerat pimpinan KPK, ternyata tak tersentuh. Bahkan, pencatutan nama Presiden SBY yang terkesan mendukung “operasi Anggodo” juga tidak diproses sama sekali. Tidak tersentuhnya Anggodo sungguh melukai dan menghina rasa keadilan publik.
Mafia Peradilan
Anggodo Widjoyo, saudara dari Anggoro yang menjadi tersangka dan buron kasus korupsi SKRT di KPK terlihat menjadi aktor utama dalam rekaman penyadapan KPK yang diperdengarkan di Mahkamah Konsitutisi (3/11/2009). Bersama seorang wanita dari Surabaya (mantan narapidana Narkoba), Anggodo terdengar sangat akrab dengan sejumlah petinggi Kejaksaan Agung dan Mabes Polri. Pejabat setingkat Wakil Jaksa Agung, Jaksa Agung Muda Inteligen, dan bahkan Kabareskrim seolah mudah dikendalikan oleh seorang Anggodo. Bahkan, peran Anggodo terlihat mampu mengatur “perkara dan kronologis peristiwa” seolah benar-benar terjadi aliran uang untuk pimpinan KPK. Ary Muladi dan Edi Sumarsono adalah perantara yang disebut berperan besar menyerahkan uang senilai Rp. 6 miliar pada pimpinan KPK dan jajaran petinggi KPK.
Mengacu pada hasil temuan dan rekomendasi Tim 8, ternyata sebagian besar pekerjaan membersihkan Mafia Peradilan dilingkaran Kepolisian dan Kejaksaan benar-benar belum tuntas. Terdapat tiga bagian penting dalam KESIMPULAN Rekomendasi Tim 8 tersebut, yaitu:
- Menjatuhkan sanksi kepada pejabat yang bertanggung jawab dalam proses hukum yang dipaksakan dan sekaligus melakukan reformasi institusional pada tubuh lembaga kepolisian dan kejaksaan.
- Memberikan shock therapy melalui operasi pemberantasan makelar kasus secara tuntas pada dugaan praktek mafia hukum yang melibatkan Anggodo Widjoyo dan Ari Muladi
- Reformasi institusional Kepolisian dan Kejaksaan, termasuk KPK dengan tetap memperhatikan independensi KPK
Tim 8 menyebut secara jelas dugaan keterlibatan Anggodo. Meskipun tim ini bukanlah lembaga penegak hukum, akan tetapi temuan, pemeriksaan dan rekomendasi tersebut merupakan hal yang sangat penting ditindaklanjuti melalui proses hukum yang fair. KPK merupakan institusi independen yang sangat diharapkan bisa memberikan shock therapy tersebut.
Anggodo seharusnya sudah segera ditetapkan sebagai tersangka jika KPK telah yakin cukup bukti untuk itu. Dan, semua pihak yang terkait, pernah berhubungan, atau pernah mendapatkan fasilitas atau gratifikasi dalam bentuk apapun dari Anggodo juga harus diseret. Karena itulah, kami menilai kasus Anggodo adalah pintu satu-satunya bagi KPK untuk memberikan Shock Therapy pada praktik Mafia Hukum.
Akan tetapi, proses hukum Anggodo terkesan sangat lamban. Jika di Kepolisian, Anggodo seperti “tak tersentuh”, maka di KPK, Anggodo seperti berhasil membuat KPK berjalan seperti “siput” karena sangat lamban memproses kasus ini. Publik yang mencintai KPK, tentu sangat ingin KPK tegas, cepat dan tidak “malu-malu” mengusut kasus tersebut. KPK diminta tidak mengecewakan harapan rakyat Indonesia yang sangat kuat mendukung penghentian dugaan rekayasa dan kriminalisasi dua pimpinan KPK. Sebagai bentuk kecintaan terhadap pemberantasan korupsi dan KPK, maka sudah sepatutnya publik memberikan deadline atau batasan waktu pada KPK. Hal ini penting, bukan hanya untuk menjerat Anggodo dkk, tetapi juga demi kredibilitas dan harga diri institusi KPK.
Terhitung dari pelaporan Anggodo oleh Tim Pembela Suara Rakyat Anti Kriminalisasi (13/11) pada KPK, setidaknya hampir 2 bulan berlalu. Akan tetapi, Anggodo belum dipanggil sama sekali. Perkembangan satu-satunya adalah pencekalan terhadap Anggodo.
Duri dalam daging
Apa yang membuat KPK terlihat sangat lamban menangani tiga kasus utama tersebut (khususnya Anggodo)? Apakah KPK trauma dengan kriminalisasi? Atau, ada masalah di tubuh KPK? Demi penyelematan institusi KPK, hal ini harus dijawab secara tegas. Kita tahu, posisi KPK yang masih “import” penyidik dari kepolisian akan berpengaruh terhadap independensi KPK. Kalaupun di tahap awal, KPK belum bisa merekrut penyidik independen, minimal para penyidik polisi yang menangani kasus Anggodo di KPK harus dipastikan benar-benar bukan “orang titipan”. Pemeriksaan harus dimulai dari Direktur Penyidikan KPK. Sehingga KPK tidak dilumpuhkan justru karena adanya “duri dalam daging”.
Hal ini penting, tidak hanya untuk kasus Anggodo, Century dan Agus Chondro, tetapi demi kuatnya KPK ke depan. Agar di 2010, KPK bisa “tancap gas” membongkar akar korupsi di negeri ini. Karena, belajar dari semua modus pelemahan KPK, cara melumpuhkan institusi pemberantasan korupsi bukan hanya dapat dilakukan melalui serangan langsung dari luar, akan tetapi juga mungkin dari dalam tubuh KPK sendiri.
Oleh karena itu, kami meminta, KPK agar:
- Tidak mengecewakan masyarakat Indonesia yang mendukung penuh KPK dalam pemberantasan korupsi;
- Segera menegaskan status Anggodo paling lambat (deadline) dalam waktu dua minggu di bulan Januari 2010; dan,
- Membersihkan dan melakukan evaluasi internal “titik kritis” KPK di bagian penyidikan, khususnya Direktur Penyidikan KPK
Jakarta, 3 Desember 2009
Cinta Indonesia Cinta Anti Korupsi - CICAK