KPK Hentikan Perkara BLBI: Efek Buruk Revisi UU KPK dan Kebijakan Komisioner Baru

KPK Harus Segera Menggugat Perdata Nursalim!
Sjamsul Nursalim. Sumber gambar: Detik

Perlahan, namun pasti, efek buruk dari berlakunya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 semakin menguntungkan pelaku korupsi. Selain proses penindakan yang kian melambat, kali ini KPK justru menghentikan perkara besar dengan mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Adapun perkara yang dihentikan oleh KPK adalah dugaan tindak pidana korupsi atas penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dengan tersangka Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim.

Sebelum masuk pada substansi perkara, penting untuk menjelaskan terlebih dahulu problematika kewenangan pemberian SP3 di KPK. Secara jelas aturan yang ada dalam Pasal 40 UU 19/2019 itu bertentangan dengan putusan MK tahun 2004 lalu.  Kala itu, MK menegaskan bahwa KPK tidak berwenang mengeluarkan SP3 semata-mata untuk mencegah lembaga anti rasuah tersebut melakukan penyalahgunaan kewenangan. Sebab, tidak menutup kemungkinan pemberian SP3 justru dijadikan bancakan korupsi. Polanya pun dapat beragam, misalnya, negoisasi penghentian perkara dengan para tersangka, atau mungkin lebih jauh, dimanfaatkan oleh pejabat struktural KPK untuk menunaikan janji tatkala mengikuti seleksi pejabat di lembaga anti rasuah tersebut.

Berkenaan dengan konteks saat ini, maka ICW menurut agar KPK segera melimpahkan berkas kepada Jaksa Pengacara Negara untuk kemudian dilakukan gugatan perdata sebagaimana diatur dalam Pasal 32 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hal ini penting, untuk memastikan adanya pertanggungjawaban dari Nursalim atas perbuatannya yang telah membohongi dan merugikan perekonomian negara triliunan rupiah. Jika gugatan ini tidak segera dilayangkan, maka pelaku berpotensi mengulangi perbuatannya di masa mendatang.

Bagi publik sendiri, penuntasan perkara penerbitan SKL obligor BLBI ini menjadi penting. Setidaknya untuk dua hal utama, pertama, perkara ini telah menarik perhatian publik sejak lama. Bahkan, ICW kerap memasukkan perkara BLBI sebagai tunggakan yang harus dituntaskan oleh KPK sejak lama. Kedua, akibat tindakan Sjamsul Nursalim, negara mesti menelan kerugian yang fantasitis, yakni mencapai Rp 4,58 triliun. Namun, periode kepemimpinan Firli Bahuri ini justru meruntuhkan harapan publik.

Tidak bisa dipungkiri, selain karena dampak revisi UU KPK, pangkal persoalan lain penghentian penyidikan ini juga berkaitan langsung dengan Mahkamah Agung dan kebijakan Komisioner KPK. Untuk MA sendiri, kritik dapat disematkan tatkala lembaga kekuasaan kehakiman itu memutus lepas Syafruddin Arsyad Tumenggung (SAT, mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional) dan kemudian diikuti penolakan permohonan Peninjauan Kembali (PK) dari KPK.

Patut untuk dicatat, putusan lepas yang dijatuhkan MA terhadap SAT jelas keliru dan diwarnai dengan kontroversi. Betapa tidak, kesimpulan majelis hakim kala itu justru menyebutkan bahwa perkara yang menjerat SAT bukan merupakan perbuatan pidana. Padahal, dalam fakta persidangan pada tingkat  judex factie sudah secara terang benderang menjatuhkan hukuman penjara belasan tahun kepada terdakwa. Lebih jauh lagi, perdebatan perihal pidana atau perdata seharusnya sudah selesai tatkala permohonan praperadilan SAT ditolak oleh Pengadilan Negeri. Sebab, waktu mengajukan permohonan praperadilan, SAT melalui kuasa hukumnya juga membawa argumentasi yang sama.

Selain itu, MA juga gagal dalam melihat kemungkinan menerima PK dari penuntut umum di tengah kejanggalan putusan kasasi tersebut. Selain sudah banyak preseden yang menerima PK dari penuntut umum, juga terdapat satu isu krusial, yakni pelanggaran etik oleh salah satu majelis hakim persidangan Tumenggung, Syamsu Rakan Chaniago. Dapat dibayangkan, dua pekan sebelum putusan lepas itu dibacakan, Hakim majelis itu justru berhubungan, bahkan bertemu langsung dengan kuasa hukum Tumenggung, yakni Ahmad Yani. Padahal seorang hakim tidak dibenarkan untuk berhubungan langsung atau tidak langsung dengan pihak-pihak yang sedang berperkara.

Kemudian, untuk SP3 kepada Sjamsul dan Itjih sendiri mesti dilihat bahwa tiap pelaku melakukan tindakan berbeda satu sama lain. Perbuatan melawan hukum Tumenggung lebih menitikberatkan pada tindakan yang bersangkutan saat mengeluarkan SKL terhadap obligor BLBI. Sedangkan Nursalim sendiri karena menjaminkan aset yang seolah-olah senilai Rp 4,8 triliun, akan tetapi setelah dilakukan penjualan tahun 2007 hanya bernilai Rp 220 miliar. Lagi pun, hingga saat ini KPK juga belum berhasil mendeteksi atau pun menangkap Nursalim. Semestinya KPK terlebih dahulu mendapatkan keterangan dari Sjamsul atau pun Itjih untuk kemudian melihat kemungkinan meneruskan penanganan perkara ini. Sehingga, dapat disimpulkan keputusan untuk mengeluarkan SP3 ini terlalu dini dan terkesan hanya ingin melindungi kepentingan pelaku.

Namun, daripada itu, penting untuk ditekankan bahwa penghentian ini bukan berarti menutup kemungkinan untuk menjerat Nursalim kembali pada waktu mendatang. Sebab, Pasal 40 ayat (4) UU KPK menjelaskan bahwa SP3 dapat dicabut tatkala ditemukan adanya bukti baru dan putusan praperadilan.

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan

 

Tags