KPK Jilid Dua
Sejak semangat anti-KKN mewarnai reformasi yang dipicu krisis ekonomi 1997, Indonesia memasuki dua dekade melawan korupsi.
Hasilnya boleh kecewa, karena siapa yang berani bilang korupsi telah menyusut? Apalagi jika memakai ukuran perbaikan ekonomi dan sosial, yang kerap dipakai lembaga dana multilateral dalam mengukur keberhasilan melawan korupsi.
KPK jilid pertama
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jilid pertama selesai tahun ini. Publik berharap dan menaruh kepercayaan besar, meski dalam waktu bersamaan ada berbagai upaya hukum dan politik untuk mengurangi kewenangan KPK.
Hingga Juni 2007, KPK dipenuhi 19.901 laporan dari masyarakat, 6.213 di antaranya berindikasi korupsi. Tidak semua kasus ditangani KPK. Sebagian kasus dikembalikan ke kantor-kantor kejaksaan, di antaranya 59 kasus sudah diputus pengadilan. Semua dijatuhi hukuman.
Meski demikian, banyak orang belum puas dengan kinerja KPK, terutama dalam jumlah dan level korupsi yang ditangani. Dari jumlah perkara yang ditangani, upaya KPK tidak perlu dimasalahkan karena lembaga ini kecil, hanya dengan 88 aparat penindak (2005). Ia berbeda dengan kejaksaan yang memiliki 6.000 jaksa, dan 400 kantor lebih di Tanah Air. Namun, ditilik dari kasus yang sudah diadili, 90 persen menyangkut pengadaan barang dan penyuapan, yang bisa digolongkan korupsi konvensional.
Mengingat kecilnya aparat, mungkin KPK terjebak laporan masyarakat, yang mungkin bukan kasus strategis tetapi harus ditangani. Atau, mungkin KPK menghadapi masalah paradigma dan metode pembuktian.
Sementara itu, dalam waktu singkat KPK didesak masyarakat untuk segera bertindak. Padahal, tugas utama KPK jilid pertama adalah membangun kapasitas kelembagaan, jangan dulu dituntut macam-macam. Apalagi, upaya melawan korupsi di sini memerlukan fondasi kokoh.
Tidak ada resep efektif untuk mengatasi korupsi, tetapi Konvensi Antikorupsi PBB (UNCAC) memberi cara dan metode baru dalam melawan korupsi. Kini semua tergantung keadaan governance dan tipologi korupsi (level korupsi politik dan birokrasi).
Dengan pendekatan yang dikembangkan Huther dan Sah (2000), ada empat hal yang direkomendasikan untuk mengatasi korupsi di Indonesia, yang ditandai lemahnya kemauan politik dan rendahnya keinginan memperbaiki diri. Empat hal itu ialah (1) perubahan kebijakan ekonomi, (2) penyederhanaan birokrasi, (3) penegakan hukum, dan (4) perluasan partisipasi masyarakat. Menu program antikorupsi yang lain dianggap tidak relevan.
Dalam hal ini, penegakan hukum harus menjadi prioritas KPK. Dan, pimpinan KPK harus berani mengambil pilihan itu meski mandat KPK cukup luas, meliputi pencegahan, pendidikan masyarakat, dan pengawasan terhadap kejaksaan dan kepolisian.
KPK jilid dua
Program pencegahan dalam bentuk aneka perubahan kebijakan dan birokrasi seharusnya didorong menjadi agenda pemerintah. Sayang alokasi dana untuk penindakan cuma sekitar 11 persen (2005) dan 8 persen (Juni 2006) dari total anggaran. Padahal, pada awal berdirinya KPK di Hongkong, yang dinilai paling berhasil, justru menyerap 70 persen anggaran. Wajar, selama tiga tahun KPK, kerugian negara yang bisa disetorkan ke kas negara senilai Rp 50,04 miliar (18 persen) dari realisasi anggaran sebesar Rp 247,68 miliar.
Mestinya sosok pimpinan KPK jilid dua yang mau diburu sudah selesai dirumuskan oleh panitia seleksi dalam menjaring calon- calon pimpinannya. KPK ke depan tidak cukup dikelola pimpinan yang bersih, punya nyali, imparsialitas, tapi juga kesanggupan menakhodai KPK dalam mendorong efek perubahan yang bersifat struktural.
Sejumlah harapan terhadap KPK barangkali bisa didaftar untuk kepentingan ini. Saya sendiri mengharapkan KPK memprioritaskan korupsi dalam wilayah state capture corruption (kolusi pebisnis dan pejabat) dan hukum, yang menjadi mother of corruption di sini, sehingga terjadi efek perubahan yang besar dalam skala luas.
Dalam penegakan hukum perlu diingatkan KPK sejatinya tidak didesain untuk menyubstitusi fungsi kejaksaan dan kepolisian. Itu karena KPK dengan postur yang kecil tidak akan pernah mampu mengambil alih semua kasus korupsi.
Meski kehadiran KPK signifikan, saat ini banyak kasus korupsi yang tidak disentuh kejaksaan dan bisa dijebloskan ke penjara. Maka membersihkan kejaksaan dan kepolisian yang tidak fungsional mengatasi korupsi perlu jadi prioritas, seperti strategi KPK di Hongkong pada awal- awal berdirinya yang fokus pada membersihkan kepolisian dari polisi-polisi kotor.
Upaya itu berdampak terhadap menyusutnya secara signifikan segala bentuk kejahatan di sana. Sayang di sini tidak ada aparat penegak hukum yang diciduk KPK, dan upaya mereka menyentuh hakim-hakim kotor di MA gagal, bahkan membuahkan perlawanan sengit.
Konsisten dengan pilihan-pilihan strategis memang tidak mudah. Dalam era otonomi daerah sekarang ini, masyarakat antikorupsi di berbagai daerah lebih peduli terhadap kasus-kasus penyimpangan anggaran daerah yang menggila belakangan ini. Belum lagi perlawanan koruptor terhadap KPK, baik melalui saluran politik maupun hukum, dengan bantuan para intelektual dan advokat ternama, serta para simpatisan koruptor yang menyebar luas mulai dari kalangan agamawan, tokoh masyarakat, hingga organisasi pemuda.
Korupsi adalah gejala dari kegagalan manajemen negara, dan lemahnya masyarakat dalam relasinya dengan negara dan sektor bisnis. Dan tujuan melawan korupsi, sekali lagi, adalah untuk membawa kemakmuran bagi masyarakat luas, bukan sekadar mengirim koruptor ke penjara.
Kita membutuhkan pimpinan KPK dengan pikiran-pikiran besar seperti itu. Sedikit bopeng mungkin tidak peduli, karena negeri ini memang sakit.
Teten Masduki Koordinator ICW
Tulisan ini disalin dari Kompas, 12 Juli 2007