KPK Mengimbau Pejabat Negara Segera Kirim LHKPN
Di Lingkungan BUMN Yang Ogah Serahkan Daftar Kekayaan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak hanya menyesalkan sikap pejabat negara yang enggan melaporkan gratifikasi. Lembaga antikorupsi tersebut juga terus mengimbau para pejabat negara agar mengirimkan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN). Sayangnya, imbauan itu juga sering tidak digubris.
Bukan hanya anggota dewan (DPR dan DPRD) yang tergolong bandel dalam hal pelaporan LHKPN. Para pejabat badan usaha milik negara (BUMN) juga perlu mendapat teguran karena tidak segera menyetorkan LHKPN.
Berdasar data pelaporan LHKPN per 21 Juli 2010 yang diperoleh dari Direktorat LHKPN, baru 4.280 dari total 6.478 pejabat BUMN atau sekitar 66 persen yang sudah melapor.
Mengenai tingkat kepatuhan para pejabat BUMN tersebut, Juru Bicara KPK Johan Budi Sapto Prabowo mengatakan bahwa pihaknya telah berkali-kali berkoordinasi dengan Men BUMN Mustafa Abubakar. Bahkan, Presiden SBY menginstruksi para pejabat BUMN untuk melaporkan harta kekayaan mereka.
''Men BUMN pernah mengumpulkan para pimpinan BUMN untuk koordinasi. Bahkan, mereka diberi batas waktu tertentu untuk wajib lapor. Ada yang patuh, tetapi ada yang bandel,'' tutur Johan ketika dihubungi Jawa Pos kemarin (25/7).
Menurut data dari Direktorat LHKPN, beberapa BUMN tergolong patuh dan bahkan berinisiatif menambah jumlah pejabat yang wajib lapor. Dalam hal ini, Bank Mandiri tercatat sebagai BUMN dengan tingkat kepatuhan tinggi. Dari 50 pejabat mereka yang wajib lapor, yang sudah melapor 49 orang (98 persen).
PT Jasindo juga memiliki tingkat kepatuhan yang tinggi. Dari 35 pejabat BUMN bidang asuransi itu yang wajib lapor, yang sudah melapor 34 orang atau 97,14 persen. Selanjutnya, PT Aneka Tambang termasuk BUMN yang patuh. Sebanyak 37 pejabat perusahaan pertambangan tersebut (93 persen) sudah melapor di antara 43 orang yang wajib lapor.
Sementara itu, PT Jasa Raharja justru berinisiatif menambah jumlah pejabat yang wajib lapor. Semula tujuh pejabat perusahaan asuransi kecelakaan itu yang wajib lapor. Kemudian jumlahnya ditambah menjadi 11 orang (171,4 persen).
''Inisiatif PT Jasa Raharja tinggi. Jadi, ada pejabat mereka yang sebenarnya tidak terdaftar sebagai wajib lapor, tetapi ikut menyerahkan LHKPN. KPK sangat mengapresiasi langkah tersebut,'' papar Johan.
Di luar BUMN yang terpatuh, tentu ada yang bandel. PT Balai Pustaka merupakan BUMN dengan tingkat pelaporan terendah, yakni 15,63 persen. Dari 32 pejabat BUMN bidang penerbitan tersebut yang wajib lapor, yang menyerahkan LHKPN baru lima orang.
Hal yang sama terjadi pada BUMN penerbangan PT Merpati Nusantara Airlines. Sejauh ini baru 20 persen atau enam orang pejabatnya yang melaporkan LHKPN dari 30 orang yang wajib lapor. Selanjutnya, PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) tercatat memiliki tingkat pelaporan cukup rendah. Dari 140 pejabat BUMN telekomunikasi itu yang wajib lapor, yang melapor baru 33 orang atau sekitar 23,5 persen.
Untuk PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), dari 156 pejabat yang wajib lapor, yang melapor baru 55 orang (35 persen). Pejabat yang wajib lapor LHKPN di PT Pertamina sebanyak 243 orang, tetapi yang melapor 115 orang (47 persen).
Ditanya soal perbedaan jumlah pejabat yang wajib lapor di setiap BUMN, Johan menuturkan bahwa hal itu ditentukan oleh BUMN yang bersangkutan. Yang jelas, wajib lapor tersebut didasarkan UU No 28 Tahun 1999 tentang Pemerintahan yang Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme serta UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK soal penyelenggara negara yang wajib lapor.
''Hal itu juga diperkuat dengan keputusan tentang perluasan wajib lapor, ditambah keputusan dari Kementerian BUMN,'' papar Johan. Sayangnya, tidak disinggung apa sanksi atau tindakan terhadap para pejabat BUMN yang tidak menyerahkan laporan harta kekayaan mereka.
Sebelumnya, KPK merilis data bahwa masih ada 64 anggota DPR yang belum menyerahkan LHKPN. Rinciannya, delapan orang dari PDIP, 20 Demokrat, 5 Gerindra, 19 Golkar, 3 Hanura, 4 PKS, 2 PKB, dan 3 PPP.
Selain itu, KPK menyatakan, banyak pejabat negara yang belum mematuhi keharusan melaporkan setiap gratifikasi yang mereka terima. Berdasar data, mulai Januari hingga April 2010 hanya 92 pejabat negara di Indonesia yang mau melaporkan gratifikasi. Sebanyak 45 di antara 92 laporan gratifikasi tersebut telah ditetapkan statusnya. Seluruh laporan gratifikasi itu berasal dari 14 provinsi. Sementara itu, di 19 provinsi lain, belum ada pejabat yang melaporkan gratifikasi. (ken/c2/dwi)
Sumber: Jawa Pos, 26 Juli 2010