KPK Minta Presiden Peringatkan Instansi Bandel
Rencana kenaikan gaji pejabat negara sebesar 20 persen pada tahun ini disayangkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga antikorupsi itu meminta kenaikan tersebut dilandasi kajian mendalam. Menurut Wakil Ketua KPK M. Jasin, sebaiknya kenaikan gaji para pejabat dikemas dalam satu program reformasi birokrasi.
Salah satunya, penekanan remunerasi gaji dengan alasan peningkatan produktivitas, perbaikan manajemen, perbaikan sistem, perbaikan manajemen SDM (rekrutmen, pola karir, pengukuran kinerja), dan perubahan budaya kerja. "Kalau sekadar naik tentu sangat tidak siginifikan," katanya kemarin.
KPK juga mengkhawatirkan kelak saat reformasi birokrasi itu benar-benar diterapkan, pejabat yang bersangkutan juga mendapat kenaikan gaji melalui remunerasi. "Jadi, kenaikannya akan berkali-kali," katanya.
Tanpa acuan program, kata Jasin, rencana kenaikan gaji justru menimbulkan kesenjangan di birokrasi tingkat bawah. Sebab, kenaikan tersebut hanya untuk pejabat. "Kalau yang di bawah naiknya sedikit, sementara yang di atas kenaikannya besar, ini bisa memicu kecemburuan," kata alumnus Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) Universitas Brawijaya itu. Jasin berharap pemerintah mematangkan kajian terlebih dahulu. Misalnya, urgensi kenaikan gaji tersebut bagi produktivitas pejabat dalam bekerja. "Jangan asal naik. Harus ada alasan juga yang bisa diterima publik. Ini era transaparansi ke publik," ungkapnya.
KPK sendiri akan membahas rencana kenaikan gaji itu di internal lembaga. "Tentu kami juga akan mengkaji itu," ucapnya. Apakah KPK tidak pernah dilibatkan dalam membahas kenaikan gaji tersebut? Dia mengungkapkan, selama ini KPK memang dilibatkan sebagai tim reformasi birokrasi. Namun, kenaikan gaji pejabat pada 2010 itu tidak masuk dalam paket reformasi birokrasi. Karena itu, peran KPK ditinggalkan.
"KPK masuk tim reformasi birokrasi pemerintah. Tapi, soal ini kami tak diajak," terangnya.
Seperti diberitakan, DPR bersama pemerintah sepakat menaikkan gaji para pejabat negara. Itu dilakukan dengan alasan prediksi inflasi lima persen pada 2010. Ternyata, prediksi itu meleset. Jumlah inflasi hanya 2,75 persen. Akibat kenaikan itu, pemerintah harus menanggung Rp 158 triliun, naik dari belanja anggaran gaji pada 2009 yang mencapai Rp 132 triliun. (git/iro)
KPK Minta Presiden Semprit Instansi Bandel
Rekomendasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) soal pencegahan korupsi belum direspons sebagian lembaga pemerintah. Karena itu, komisi mengirimkan surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) agar instansi-instansi ''bandel'' itu diperingatkan.
Wakil Ketua KPK M. Jasin mengungkapkan, setidaknya ada tiga lembaga yang belum mau melirik hasil kerja KPK. Lembaga tersebut adalah Departemen Dalam Negeri, Badan Pertanahan Nasional, dan pelayanan imigrasi di bawah Departemen Hukum dan HAM. ''Kami mau mengirimkan surat ke presiden. Tentunya agar lembaga-lembaga itu diperingatkan secara internal,'' jelas M. Jasin kemarin.
Selain kepada SBY, surat pemberitahuan itu bakal dikirim ke DPR dan Badan Pemeriksa Keuangan. ''Tujuannya agar mereka mengetahui,'' kata Jasin.
Penilaian respons lembaga itu, kata Jasin, berdasar satu kajian yang mendalam. ''Kami mengkaji dulu baru bisa bicara,'' katanya.
Jasin kemudian membeberkan keluhan-keluhan terkait sepak terjang lembaga-lembaga tersebut. KPK sudah beberapa kali melayangkan surat ke Depdagri agar mengkaji lebih dalam pelaksanaan nomor identitas kependudukan (NIK). Komisi mengkhawatirkan pemberlakuan program itu menimbulkan pemborosan keuangan negara.
Sebab, data yang digunakan untuk pembuatan E-KTP tersebut bukan data bersih. KPK berharap, pembuatan E-KTP berbasis sidik jari sehingga nanti amat sulit digandakan. Depdagri juga diminta menyiapkan grand design pemberlakuan program itu. Sebab, proyek tersebut akan menelan anggaran cukup besar, hingga Rp 6,7 triliun. ''Tapi, kenyataannya, rekomendasi itu belum dilaksanakan,'' jelas Jasin. (git/aga/iro)
Sumber: Jawa Pos, 1 Februari 2010