KPK Minta Soeharto Tetap Diproses Hukum; Pemaafan Tak Sepenuhnya Hak Negara
Langkah Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan atau SKPP atas diri mantan Presiden Soeharto terus memicu reaksi. KPK meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk memproses Soeharto secara hukum.
Sementara itu, Selasa (16/5), sejumlah tokoh sipil, di antaranya Chairul Imam, jaksa yang ikut memeriksa mantan Presiden Soeharto, ikut menandatangani deklarasi Gerakan Masyarakat Adili Soeharto. Turut menandatangani deklarasi itu antara lain Mochtar Pabottingi, Todung Mulya Lubis, dan Asmara Nababan.
Seusai bertemu Presiden, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Taufiequrahman Ruki (Taufik) mengatakan, KPK meminta Presiden agar tidak menyelesaikan kasus mantan Presiden Soeharto secara politik, tetapi tetap menempuh jalur hukum. Penyelesaian melalui jalur hukum itu sesuai dengan isi Ketetapan MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN.
Menurut Taufik, yang datang bersama Wakil Ketua KPK Erry Riyana Hardjapamekas, permintaan KPK disetujui Presiden Yudhoyono. Beliau sependapat dengan apa yang disampaikan KPK dan menyatakan, karena ini sudah menyangkut masalah hukum, maka penyelesaiannya dilakukan dengan jalur hukum, katanya.
Taufik menambahkan, jika Presiden Yudhoyono bersikap sesuai dengan keputusan hukum, hal tersebut akan berdampak besar bagi pemberantasan korupsi. Sekarang ini sedang diperlukan semangat dan nuansa yang positif dalam pemberantasan korupsi. Karena itu, jangan pernah diintervensi kasus hukum secara politik, ujarnya.
Harus dilanjutkan
Sejumlah tokoh sipil dalam deklarasinya menyampaikan resolusi, yaitu menolak dihentikannya proses hukum terhadap Soeharto dan menuntut agar Soeharto dan kroninya diadili. Mereka menuntut negara untuk menyita seluruh kekayaan Soeharto dan kroninya yang diperoleh dari hasil kejahatan. Mereka juga mengajak masyarakat untuk siap mengambil tindakan bersama agar negara tidak gagal mengadili Soeharto dan kroninya.
Asmara Nababan menegaskan, sebagaimana disebutkan dalam konstitusi, setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di depan hukum. Dengan dasar itu, tidak ada seorang warga negara pun yang dapat diperlakukan istimewa di depan hukum.
Asmara juga mengatakan, pemaafan terhadap Soeharto tidak sepenuhnya merupakan hak negara, tetapi juga merupakan hak korban. Alasan kemanusiaan yang dikemukakan untuk memaafkan Soeharto, menurut Mochtar Pabottingi, dinilai tidak tepat sebab kerusakan bangsa yang ditimbulkan Soeharto jauh lebih besar dibandingkan dengan jasa yang dibuatnya. Seusai deklarasi, mantan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Chairul Imam menilai langkah Jaksa Agung mengeluarkan SKPP sebagai langkah fatal dan bukan kewenangan Kejaksaan Agung untuk melakukan hal itu.
Soeharto yang saat ini masih dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta, masih berada dalam masa kritis pascaoperasi pemotongan usus seminggu lalu. Kondisi Soeharto masih cukup lemah.
Selasa siang, mantan Panglima Kostrad Prabowo Subianto menjenguk Soeharto. Prabowo tidak banyak bicara. Ia mengatakan, hanya sekitar 10 menit menjenguk Soeharto. Berkaitan dengan penerbitan SKPP, Prabowo berpendapat, langkah itu tentu didasari berbagai pertimbangan. Ia justru mengajak sesama warga bangsa bersatu dan menghormati pemimpin. (SUT/JOS/DWA/HAR)
Sumber: Kompas, 17 Mei 2006