KPK Segera Ambil Alih Kasus BLBI
Mencari sosok penuntasan kasus BLBI ibarat waiting for Godot. Penantian panjang yang penuh kesia-siaan dan tanpa ujung kenyataan. Godot yang dilakonkan sebagai simbol penantian yang akan mendorong ke arah perbaikan, tak jelas apa dan tak kunjung datang. Godot hanya dibicarakan terus-menerus, tetapi tak pernah tampak. Akhirnya Godot -dalam lakon terkenal karya Samuel Beckett itu- hanyalah khayalan.
Mencari sosok penuntasan kasus BLBI ibarat waiting for Godot. Penantian panjang yang penuh kesia-siaan dan tanpa ujung kenyataan. Godot yang dilakonkan sebagai simbol penantian yang akan mendorong ke arah perbaikan, tak jelas apa dan tak kunjung datang. Godot hanya dibicarakan terus-menerus, tetapi tak pernah tampak. Akhirnya Godot -dalam lakon terkenal karya Samuel Beckett itu- hanyalah khayalan.
Ide khayalan ala Godot itulah yang ditayangkan ulang oleh teater aparat hukum di Kejaksaan Agung dalam teatrikal Menunggu Godot penuntasan kasus BLBI. Pesannya sama. Anda boleh berharap akan penuntasan kasus BLBI, tetapi itu adalah kesia-siaan. Itu kemustahilan. Itu khayalan. Rakyat boleh menunggu tuntasnya kasus BLBI, tetapi itu penantian tanpa kenyataan.
Sudah lebih dari satu dekade dan melewati empat era pemerintahan, kasus BLBI hingga kini tidak kunjung terselesaikan secara tuntas. Padahal, kasus yang melibatkan persekongkolan jahat antara pengusaha, banyak pihak penyelenggara pemerintahan, dan perbankan itu telah merugikan negara -setidaknya menurut audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)- Rp 138,4 triliun.
Angka itu belum lagi memperhitungkan kerugian dari kebijakan pengucuran obligasi rekapitulasi perbankan yang memakan biaya sekitar Rp 425,5 triliun, program penjaminan Rp 73,8 triliun, dana talangan Rp 4,9 triliun, dan dana rekening Rp 53,8 triliun.
Lembaga legislatif setali tiga uang dengan eksekutif. Sikap tidak tegas rezim eksekutif dari satu pemerintahan ke pemerintahan yang lain juga dialami lembaga legislatif. Dalam kurun waktu 10 (sepuluh) tahun, relatif tidak ada gebrakan dari lembaga perwakilan rakyat ini.
Potret buruknya penegakan hukum BLBI diperparah oleh kiprah lembaga yudikatif. Mahkamah Agung (MA) dalam putusannya terlihat tidak berpihak pada rasa keadilan masyarakat. Hal itu tecermin dalam rangkaian putusan hukum yang diberikan MA kepada obligor BLBI.
Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), hukuman yang dijatuhkan kepada obligor BLBI bervariasi, mulai hukuman seumur hidup hingga ada yang dibebaskan. Namun, banyak yang mendapat hukuman ringan, yaitu berkisar satu tahun dan di bawahnya. Sebagian besar obligor yang telah divonis pun melarikan diri ke luar negeri melalui fasilitas izin berobat yang diberikan Kejaksaan Agung.
KPK Ambil Alih?
Ditutupnya penyelidikan kasus BLBI I dan II oleh Kejaksaan Agung membuat banyak pihak mendesak agar kasus itu diambil alih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Apalagi, setelah tertangkap basahnya ketua tim jaksa yang bertugas mengusut kasus BLBI oleh KPK yang diduga kuat menerima suap dari salah satu obligor BLBI.
Pertanyaannya adalah, apakah KPK dapat mengambil alih kasus BLBI? Secara normatif, ketentuan pengambilalihan sebuah perkara korupsi oleh KPK diatur dalam ketentuan peralihan UU No 30/2002 (UU KPK) pasal 68 bahwa semua tindakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang proses hukumnya belum selesai pada saat terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, dapat diambil alih KPK Korupsi berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9.
Pasal 9 mengatur tentang beberapa alasan pengambilalihan kasus korupsi. Yaitu, laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti, proses penanganan tindak pidana korupsi berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Atau penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya, penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi, hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif, atau legislatif.
Atau keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan.
Ketentuan tersebut dengan jelas memberikan kewenangan bagi KPK untuk mengambil alih perkara korupsi yang proses hukumnya belum selesai pada saat KPK dibentuk. Pengambilalihan itu tidak bersifat limitatif hanya pada tahap tertentu, melainkan terhadap semua proses hukum, mulai penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, dapat diambil alih KPK.
Terkait kasus BLBI, berdasarkan penjelasan di atas, KPK tidak perlu ragu menggunakan intervensi positif melalui pengambilalihan penanganan kasus BLBI. Tidak ada alasan bagi KPK untuk menolak mengambil alih dengan dalih tidak mempunyai kewenangan.
KPK juga harus membongkar kasus itu dari hulu hingga hilir yang terbagi atas tiga wilayah. Wilayah pertama, yaitu regulator atau pembuat kebijakan BLBI yang melibatkan aparat pemerintah dan perbankan, termasuk pejabat pemerintah pembuat kebijakan yang selama ini menyebabkan berlarut-larutnya penuntasan kasus BLBI.
Kedua pelaksana yang mengalirkan dana tersebut dan yang ketiga para obligor, baik yang kooperatif maupun yang tidak kooperatif.
Selain itu, penting bagi KPK untuk mengusut cara Kejaksaan Agung menyelidiki kasus BLBI. Pasca ditangkapnya jaksa UTG yang diduga menerima suap terkait kasus BLBI, sangat wajar jika KPK mengusut cara-cara yang digunakan Kejagung dalam mengusut kasus BLBI.
Jangan-jangan, selama ini jaksa menggunakan cara yang salah yang justru memberikan celah hukum serta perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang terlibat kasus BLBI.
Pengalaman membuktikan bahwa kasus-kasus korupsi yang ditangani KPK selalu berakhir dengan sucess story. Selama periode 2004-2007, KPK tercatat telah berhasil mengambil alih tiga kasus korupsi besar yang terjadi di daerah. Karena itu, kasus BLBI sebaiknya diambil alih KPK supaya penantian panjang publik selama ini tidak seperti nukilan Samuel Beckett, penantian Godot yang tak kunjung datang.
Oce Madril, peneliti pada Pusat Kajian Anti (Pukat) Korupsi Fakultas Hukum UGM Jogjakarta (Email: ocemadril@yahoo.com)
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 12 Maret 2008