KPK Sorot Aset BUMN; Hampir Semua Bermasalah
Bukan hanya instansi pemerintah yang bermasalah dengan aset, tapi juga jajaran BUMN. Agar aset perusahaan pelat merah itu tidak menjadi sasaran korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berkoordinasi dengan BUMN kemarin (13/5).
Bukan hanya instansi pemerintah yang bermasalah dengan aset, tapi juga jajaran BUMN. Agar aset perusahaan pelat merah itu tidak menjadi sasaran korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berkoordinasi dengan BUMN kemarin (13/5).
Hadir memenuhi undangan KPK Dirut Perum Bulog Mustafa Abubakar, Kepala BKKBN Sugiri, Dirut PT Telkom Renaldy Firmansyah, serta utusan dari PLN, Pertamina, BP Migas, PT Pusri, PT Pos, Inhutani, Pegadaian, PTPN III Medan, dan PT PGN.
Dalam pertemuan itu terungkap, hampir semua aset BUMN bermasalah. Ada aset negara yang dikuasai sesama BUMN atau masyarakat. Ini yang akan kita tertibkan, ungkap Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan M. Jasin di gedung KPK. Karena itu, Jasin mengatakan, KPK dan BUMN sepakat membentuk tim internal. Jangan sampai masalah aset ini berubah jadi konflik di kemudian hari, tuturnya.
Temuan mengejutkan adalah merosotnya nilai aset besar-besaran di Badan Pengolahan Migas (BP Migas). Wakil Ketua KPK Haryono Umar mengungkapkan, ada penurunan aset dari Kontraktor Production Sharing, dari nilai buku USD 24,6 miliar atau setara dengan Rp 225 triliun menjadi hanya USD 3 miliar atau Rp 27 triliun.
Ini yang harus kita telusuri, di mana dan siapa yang menggunakan sekarang, tegas Haryono, lantas menjelaskan, aset-aset tersebut dibeli dengan uang milik negara dan harus ditertibkan.
Kadiv Pengendalian Finansial BP Migas Ingrid P.L. Tobing mengungkapkan, aset-aset tersebut sebagian berada di luar daerah dan sudah dipakai 30 tahun. Tidak ada yang jatuh nilainya, tetapi secara bertahap dibebankan kepada biaya operasi. Dan nilai yang tersisa adalah nilai buku sebanyak USD 3 miliar. Jadi, nilai perolehan tetap USD 24 miliar, jelasnya.
Sementara itu, Direktur Utama PTPN III Medan Amri Siregar mengungkapkan, permasalahan aset tanah jadi kendala di lembaganya, khususnya soal sertifikasi 14 lahan yang tak kunjung selesai oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Padahal, kita hanya perpanjangan. Perpanjangan saja hampir dua tahun, belum selesai-selesai, ini ada apa? ujarnya.
Pengambilalihan masyarakat terhadap aset perkebunan juga marak dan jadi permasalahan. Jika tak segera diselesaikan, permasalahan itu bakal jadi pemicu konflik. Apalagi sebentar lagi pemilu. Ini bisa menjadi embel-embel politik, jualan parpol di situ bisa cepat, kata suami Tetty Suryani Harahap itu.
Soal sertifikasi juga jadi persoalan di Perum Pegadaian. Menurut Kepala Bagian Logistik Yuda Sismande, pihaknya punya 34 lokasi tanah bermasalah karena tanah-tanah tersebut tidak dipakai. Tanah seluas 86 ribu meter persegi itu tak besertifikat. Kami hanya memiliki bukti penyerahan tahun 1954, ujarnya.
Meski sertifikat sudah diurus, bukan berarti persoalan beres. Kami punya kendala, yaitu pihak BPN tidak meloloskan sertifikat. Sebab, tanah tersebut sudah ditempati berbagai pihak. Ada yang dari pemda, kepolisian, militer, dan penduduk. Bahkan, ada dua yang hilang, yaitu di Nias, yang sampai saat ini belum ditemukan, paparnya.
Deputi Direktur Pendayagunaan Aset dan TI Pertamina Dwi Martono mengungkapkan, pihaknya telah bekerja sama dengan BPN sejak Januari 2008. Banyak aset tanah yang belum mempunyai sertifikat. Jadi, kita bekerja sama dengan BPN untuk menyelesaikan sertifikasi, khususnya di Jakarta, tambahnya.
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) memilih menyelesaikan perkara aset melalui jalur hukum. Khususnya rumah di Pondok Indah Gedung Hijau I No 32 senilai Rp 6 miliar yang ditempati (mantan) Wakil Kepala BKKBN periode 1993-1995 Peter Patasumbung. Dia sudah pensiun sejak 12 tahun lalu, ujar Kepala BKKBN Sugiri Syarif.
Dirut Telkom Reynaldi Firmansyah juga menyampaikan keluhan. Menurut dia, 95 persen aset Telkom merupakan perangkat operasional. Kami menghadapi masalah, khususnya vandalisme. Karena kabel agak mahal, di daerah banyak kabel kita yang dicuri, ujarnya lantas menambahkan, jumlah kerugian antara Rp 36 miliar sampai Rp 40 miliar tiap tahun.
Yang juga jadi persoalan, menurut dia, adalah tidak adanya asuransi yang mau meng-cover asset.(ein/kim)
Sumber: Jawa Pos, 14 Mei 2008