KPK Terancam Dilemahkan
Kewenangan KPK terancam dilemahkan terkait belum selesainya pembahasan draf RUU Pengadilan Tipikor. Waktu yang tersedia untuk menyelesaikan RUU ini tinggal lima bulan ke depan. Beberapa kalangan menilai, waktu itu tidak akan mencukupi untuk membahas draf RUU ini, apalagi hingga saat ini Panitia Khusus (Pansus) RUU Pengadilan Tipikor DPR belum juga memulai pembahasan.
Ketua Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) Firmansyah Arifin mengatakan, KPK dan Pengadilan Tipikor memiliki kewenangan lebih untuk menindak kasus pidana korupsi. Sejak berdirinya KPK dan Pengadilan Tipikor, ujar dia,sudah banyak pejabat baik dari legislatif maupun eksekutif bermasalah yang merasakan dampaknya.
”KPK dan Pengadilan Tipikor membuat mereka yang berkuasa baik legislatif ataupun eksekutif merasa terancam,” kata Firmansyah di Jakarta kemarin. Karena itu,ujar dia,ada indikasi perlawanan balik terhadap KPK dan Pengadilan Tipikor salah satunya dengan menunda-nunda pembahasan RUU Pengadilan Tipikor tersebut.”
Pansus RUU Pengadilan Tipikor sangat lengang, artinya semangat mereka lebih besar untuk mendelegitimasi KPK,”paparnya. Firmansyah menilai,DPR tidak memiliki komitmen dalam upaya pemberantasan korupsi sebab lambannya pembahasan RUU Pengadilan Tipikor berakibat pada bubarnya Pengadilan Tipikor.
”Seharusnya DPR bergerak cepat jika ingin memperkuat peran lembaga pemberantasan korupsi,”jelasnya. Koalisi ini, lanjut Firman, seharusnya menuntut DPR mengintensifkan tahap pembahasan dan memprioritaskan materi yang penting. ”Kini, mendekati lima bulan sisa usia Pengadilan Tipikor, tapi DPR belum mampu menetapkan UU baru,” katanya.
Kenyataan ini, ujar Firmansyah, merupakan ironi sebab Mahkamah Konstitusi (MK) telah memberikan waktu tiga tahun kepada DPR untuk menetapkan UU tersebut. Dalam jangka tiga tahun itu, ujar dia, justru disia-siakan oleh DPR dengan tidak memulai membahas RUU ini. Hal senada diungkapkan peneliti hukum Indonesia Corruption Watch (ICW) Febri Diansyah.
Menurut dia, ada indikasi skenario yang sedang dijalankan DPR untuk menunda pembahasan RUU Pengadilan Tipikor.Ada kesan DPR lebih mementingkan pembahasan RUU lainnya dibandingkan RUU ini. Dia mencontohkan, pembahasan RUU Mahkamah Agung (MA) yang juga seiring dengan RUU Pengadilan Tipikor.
Saat membahas RUU MA,ujar Febri, Pansus DPR sangat bersemangat. Pembahasan RUU MA ini bahkan cepat diselesaikan. Namun, ada kesan Pansus DPR tidak semangat saat akan membahas RUU Pengadilan Tipikor. “Ada kesan pansus lebih memprioritaskan penyelesaian UU MA terkait usia jabatan hakim agung,” ujarnya.
Jika sampai batas waktu pada Desember 2009 RUU Pengadilan Tipikor belum juga diselesaikan, rencananya ICW akan memberikan label khusus bagi anggota DPR periode 2004-2009 sebagai institusi antipemberantasan korupsi.“Kalau memang tidak juga selesai, label sebagai institusi antipemberantasan korupsi akan diberikan kepada DPR periode saat ini,”tandasnya.
Label tersebut,ujar Febri,akan menjadi catatan sejarah bagi anggota DPR 2004-2009 yang akan terus diingat oleh publik. Dengan begitu, masyarakat akan mengetahui bagaimana tingkat keseriusan mereka dalam pemberantasan korupsi. Meski demikian, Febri menyatakan, pihaknya akan terus mendorong penyelesaian RUU itu guna tetap menjaga eksistensi Pengadilan Tipikor dan KPK.
Sebelumnya Ketua DPR Agung Laksono berjanji akan berusaha maksimal menyelesaikan penyusunan RUU Pengadilan Tipikor meski dia mengaku ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam penyusunan RUU tersebut. ”Kita berusaha menyelesaikan secara maksimal,”ujar Agung Laksono.
Ketua Pansus RUU Pengadilan Tipikor Dewi Asmara menyatakan, ada tiga hal yang memicu keterlambatan pembahasan RUU Pengadilan Tipikor. Pertama, ada keterlambatan penyusunan draf RUU ini di tangan pemerintah. DPR, ujar dia,baru menerima draf RUU Pengadilan Tipikor dari pemerintah pada November 2008.
Kedua, perlu ada harmonisasi antara substansi UU Pengadilan Tipikor dan perundangan lainnya. Ketiga, pembahasan RUU ini terikat mekanisme yang diatur dalam Tata Tertib DPR.“Kami tidak pernah menghentikan kerja (pembahasan). Jadi, tidak ada kata dihentikan atau distop,”tegas Dewi.
Pada Desember 2006 MK membatalkan Pasal 53 UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mengatur Pengadilan Tipikor. Dengan begitu, Pengadilan Tipikor tidak lagi mempunyai kekuatan hukum, padahal seluruh hasil penyidikan KPK disidangkan di pengadilan ini.
Jika Pengadilan Tipikor dibubarkan, perkara yang disidik KPK akan dilimpahkan ke pengadilan umum. Sementara banyak kalangan menilai, pengadilan umum tidaklah setangguh Pengadilan Tipikor dalam memutuskan perkara.
Namun, MK juga masih memberikan waktu tiga tahun pada Pengadilan Tipikor untuk beroperasi sembari menunggu UU baru yang melandasi adanya Pengadilan Tipikor. Batas waktu pengesahan UU Tipikor hingga 19 Desember 2009. (m purwadi/adam prawira)
Sumber: Seputar Indonesia, 22 Mei 2009