KPK: Terjadi Politisasi Korupsi

Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan, ada usaha-usaha untuk menghalangi atau bahkan melumpuhkan pemberantasan tindak pidana korupsi. Salah satunya, menurut Taufiequrachman Ruki, ketua komisi itu, berusaha meninjau kembali landasan yuridis pemberantasan korupsi.

Mereka yang merasa terpotong keuntungannya, kepentingannya tersampingkan, (dan) popularitasnya hancur, melakukan berbagai cara untuk melemahkan, melumpuhkan, dan bahkan mematahkan upaya korupsi, kata dia kemarin di Jakarta.

Ruki mencontohkan putusan Mahkamah Konstitusi dalam uji materiil terhadap Undang-Undang KPK yang diajukan Bram H.D. Manoppo, terdakwa perkara korupsi pengadaan helikopter oleh pemerintah Aceh. Meski menolak permohonan ini, Mahkamah dalam pertimbangannya menyebutkan bahwa KPK hanya mempunyai kewenangan setelah undang-undangnya disahkan pada 27 Desember 2002.

Usaha menghambat pemberantasan korupsi, menurut Ruki, juga dilakukan dengan tidak memprioritaskan anggarannya. Kita bisa lihat hakim ad hoc korupsi belum digaji. Gaji pegawai KPK juga masih uang muka saja, ujarnya.

Para koruptor, kata dia, juga melakukan upaya konsolidasi untuk mengalihkan perhatian terhadap isu pemberantasan korupsi ke hal-hal lain. Ia menunjuk rapat kerja antara Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh dan DPR pekan lalu yang berakhir ricuh. Para koruptor, kata dia, berusaha mengalihkan usaha pemberantasan korupsi menjadi masalah politik. Inilah yang dinamakan politisasi korupsi, ujarnya.

Di Istana Negara, Komisi Hukum Nasional (KHN) mengusulkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar tidak menggunakan peraturan pemerintah pengganti undang-undang untuk mempercepat pemberantasan korupsi. Ketua KHN J.E. Sahetapy mengatakan, aspek politik dari perpu sangat besar karena mengandung sifat darurat.

Pencatatan perpu nanti terlalu politis. Bagaimana kalau Presiden mempertimbangkan hanya pasal-pasal tertentu, baik dari hukum acara maupun hukum materiil, itu saja yang digarap, kata Sahetapy setelah bertemu dengan Presiden Yudhoyono.

Anggota KHN lainnya, Fajrul Muhammad Falaakh, menambahkan, komisinya mempertanyakan soal ini mengingat adanya perdebatan di luar. Kenapa harus perpu? Seolah-olah DPR-nya sedang tidak bekerja. Nanti malah ada komplikasi politiknya, kata Fajrul. KHN pun mengusulkan untuk menggunakan mekanisme lain melalui amendemen atau rancangan undang-undang baru. edy can/abdul manan

Sumber: Koran Tempo, 22 Februari 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan