KPK Tutup Akses Publik
Kekayaan Penyelenggara Negara Tak Terbuka Lagi
Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK menutup akses masyarakat terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara atau LHKPN. Ini dilakukan menyusul pertanyaan sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR terhadap wewenang komisi ini dalam memublikasikan data harta pejabat.
”Menurut Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999, Komisi Pemberantasan Korupsi hanya berhak memeriksa. DPR bertanya mengapa (KPK) juga memublikasikannya,” kata Wakil Ketua KPK Haryono Umar, Senin (8/9) di Jakarta.
UU No 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme menyatakan, penyelenggara negara wajib melaporkan kekayaannya sebelum dan setelah menjabat kepada sebuah komisi pemeriksa, yang sekarang diserahkan ke KPK.
Setelah laporan diverifikasi, selama ini KPK mengundang pelapor untuk memublikasikan hartanya. KPK menjadi moderator saja. Publikasi dilakukan sendiri oleh pelapor.
KPK biasanya juga memberikan data LHKPN kepada masyarakat yang membutuhkan asal mereka memiliki alasan yang dapat dipertanggungjawabkan dan identitas jelas. Selama ini KPK juga memfasilitasi penyampaian laporan itu ke Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI).
Namun, dalam UU No 28/1999, lanjut Haryono, KPK ternyata hanya berhak memeriksa kekayaan penyelenggara negara. ”Data di LHKPN baru menjadi milik publik jika ada di PNRI sehingga jika membutuhkan data itu, dapat ke PNRI,” ucapnya.
Catatan Kompas, pada Agustus 2004 KPK pernah menutup data LHKPN. Alasannya saat itu, adanya kevakuman hukum menyusul dicabutnya kewenangan publikasi yang sebelumnya dimiliki Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) seperti yang ada dalam UU No 28/1999 (Kompas, 24/8/2004).
Namun, kebijakan itu dicabut setelah Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan menegaskan, publikasi LHKPN adalah wewenang KPKPN untuk mengoptimalkan peran serta masyarakat.
Langkah mundur
Sekretaris Jenderal Transparansi Internasional Indonesia (TII) Rizal Malik menilai, keputusan KPK untuk menutup akses publik terhadap data LHKPN adalah langkah mundur dalam pencegahan korupsi. Sebab, data itu baru efektif jika dibuka untuk masyarakat. Ini akan membuat penyelenggara negara berpikir untuk menyembunyikan hartanya jika bertambah secara tidak wajar dalam waktu singkat.
Pelimpahan publikasi LHKPN ke PNRI dinilai juga membuat pemanfaatan data itu makin tidak efektif. Sebab, selain aksesnya diduga tidak semudah di KPK, pencatatan di PNRI juga akan membutuhkan waktu lebih lama.
Adnan Topan Husodo dari Indonesian Corruption Watch (ICW) juga mengingatkan, keterbukaan publik dalam proses pencegahan korupsi mutlak diperlukan. Data LHKPN itu diperlukan untuk mengontrol dan mengukur tingkat kejujuran pejabat. Karena itu, keterbukaan tetap diperlukan. (nwo/jos)
Sumber: Kompas, 9 September 2008