KPK Usut Utang Macet

KPK menyayangkan utang luar negeri yang salah sasaran, seperti yang terjadi di Badan POM.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah mengumpulkan data utang luar negeri yang macet di seluruh kementerian dan lembaga Negara untuk pengusutan. Sebab, pemerintah Indonesia harus menanggung beban sekitar Rp2 triliun setiap tahun akibat utang luar negeri yang macet.

Wakil ketua KPK Bidang Pencegahan, Haryono Umar, mengharapkan akhir Juni ini data tersebut dapat diumumkan dan akan dibawa ke Bappenas dan Departemen Keuangan sebagai pihak yang menangani pengelolaan utang luar negeri. “Utang luar negeri ini kalau dibiarkan akan terus membengkak. Makanya kita harus cari tahu dimana letak kesalahan manajemennya,” ujar Haryono saat ditemui di gedung KPK, Jakarta, Kamis (11/6).

Dia mengatakan, beban senilai Rp2 triliun tersebut dikeluarkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk membayar biaya serba-serbi atas perjanjian utang luar negeri seperti commitment fee, dana talangan atau pendamping, dan biaya konsultan yang menangani proyek kementerian dan lembaga negara. “Kita bukan antiutang, tapi yang macet harus dibenahi agar tidak terjadi biaya yang tak perlu. Uang triliunan itu lebih baik dipakai untuk pembangunan sekolah.”

Menurut Haryono, ada dua hal yang menyebabkan kemacetan utang kepada donor di luar negeri semisal Bank Dunia atau Bank Pembangunan Asia. Pertama, utang sudah disetujui tetapi ada syarat-syarat kepada lender yang belum dipenuhi sehingga tidak bisa dicairkan. Kedua, utang sudah disetujui dan bisa dicairkan namun saat pelaksanaan proyek tidak bisa dijalankan akibat pemenang tender belum siap.

Dia mencontohkan, utang luar negeri Departemen Kesehatan kepada Korea Selatan untuk pembangunan rumah sakit di daerah senilai US$30 juta. Untuk menyetujui perjanjian utang itu, US$6 juta dana APBN sudah dikeluarkan untuk dana pendamping. “Kita masih mengkaji berapa kerugian APBN yang digunakan untuk dana talangan. Kita juga akan mencari tahu apakah dana tersebut sudah tepat sasaran, kalau ada tindak korupsi tentunya harus diusut,” kata Haryono kepada Jurnal Nasional.

KPK menyayangkan utang luar negeri yang salah sasaran, seperti yang terjadi di Badan Pengawasan Obat dan Makanan (POM). “Badan POM membutuhkan alat-alat laboratorium untuk pengecekan boraks atau melamin, tapi utang yang diturunkan justru untuk capacity building yang kurang perlu,” kata Haryono.

Karena itu, KPK berharap kementerian dan lembaga menggarap visibility studies dan borrowing strategies dahulu sebelum mengajukan utang. Hal ini penting untuk mengetahui apakah utang tersebut benar-benar diperlukan atau tidak. “Jangan berutang hanya untuk menutup defisit saja.”

Haryono menilai mekanisme pengajuan utang sudah sangat jelas seperti yang terkandung dalam Peraturan Pemerintah No 2 Tahun 2006 tentang tata cara pengadaan pinjaman luar negeri. Karenanya, kementerian seharusnya sudah paham mengenai prosedur utang luar negeri.

Untuk pengajuan utang luar negeri, KPK menyarankan kementerian mencari donor yang tidak menimbulkan biaya semisal Bank Pembangunan Islam. “Jangan yang ada dana talangan-lah, itu kan membebani negara,” kata dia.[by : Melati Hasanah Elandis]

Sumber: Jurnal Nasional, 11 Juni 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan