KPK v Kepala Daerah (Koruptor), Tangkap 23 Orang, Rp 1, 6 T Raib
Selama tiga tahun terakhir ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah menangkap sedikitnya 23 kepala daerah koruptor. Ada gubernur, wali kota, hingga bupati.
JIKA uang yang dikorupsi para kepala daerah itu dikumpulkan, jumlahnya mencapai Rp 1,6 triliun (selengkapnya para kepala daerah yang ditangkap KPK itu, baca grafis di halaman 6). Sebuah angka yang tidak sedikit. Sekitar tiga kali jumlah itu bisa digunakan membangun Suramadu, jembatan terpanjang di Indonesia.
Angka Rp 1,6 triliun juga bisa digunakan menyantuni 5,3 juta orang miskin, jika mengacu pada nilai BLT (bantuan langsung tunai) Rp 300 ribu per orang miskin. Nilai Rp 1,6 triliun kerugian negara tersebut belum termasuk yang ditangani institusi penegak hukum lain, kejaksaan dan kepolisian.
Riset oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) selama 2008 menunjukkan, 36 kepala daerah diduga bertindak pidana korupsi. Potensi kerugian negara mencapai Rp 442,77 miliar.
Modus yang digunakan para kepala daerah menggerogoti uang negara itu sebenarnya mirip satu sama lain. Yang paling rawan adalah pengadaan barang dan jasa. Modus lain adalah korupsi kebijakan. Yakni, karena menjabat kepala daerah, mereka berwenang memberikan izin-izin tertentu.
''Mayoritas terkait dengan anggaran. Misalnya, menyetujui proyek-proyek tertentu yang dalam pelaksanaannya ada markup (penggelembungan dana, Red),'' kata Wakil Koordinator ICW Emerson Yuntho. Selain itu, ada penerimaan suap atau gratifikasi kepada kepala daerah karena telah memberikan izin tertentu.
Di antara sejumlah kepala daerah yang ditangkap KPK, nilai kasus korupsi yang melibatkan Bupati Pelalawan, Riau, Tengku Azmun Jafar merupakan yang paling besar, yakni mencapai Rp 1,2 triliun. Kasus tersebut terkait dengan pemberian izin pengelolaan hutan.
Selain ada penyalahgunaan izin, dalam kasus tersebut ada penerimaan hadiah (gratifikasi). ''Jadi, modelnya, selain uang masuk ke kroni, bisa juga berbentuk suap,'' ungkap Emerson.
Penyalahgunaan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) dalam beberapa kasus justru menunjukkan keterkaitan dengan pemerintah pusat. Hal itu tampak dari kasus pengadaan mobil pemadam kebakaran. Dalam kasus tersebut, empat kepala daerah, yakni wali kota Medan, wali kota Makassar, gubernur Riau, dan gubernur Jawa Barat (semua kini mantan) harus berurusan dengan KPK karena kasus yang berhubungan dengan Departemen Dalam Negeri.
Ada juga model lain dengan dalih peningkatan pendapatan asli daerah (PAD). Dalam kasus itu, Bupati Situbondo Ismunarso berusaha menginvestasikan sisa lebih penggunaan anggaran (silpa) Rp 43 miliar ke pihak swasta. Tampaknya, keuntungan yang didapatkan justru menjadi sumber pendapatan baru bagi sejumlah pejabat di kota pesisir tersebut. Kasus itu memang belum rampung. Ismunarso kini sedang menjalani sidang di Pengadilan Tipikor.
Soal korupsi kepala daerah tersebut, Wakil Ketua KPK Bibit Samad Riyanto mengibaratkan sungai di pedalaman Kalimantan. ''Sungai di sana itu banyak ikannya. Begitu menepuk air, dapat ikan. Sama halnya dengan korupsi. Ke mana pun KPK masuk, pasti dapat kasus,'' ujarnya.
Maraknya kepala daerah yang terbelit kasus korupsi ditengarai terkait dengan melubernya kekuasaan karena penerapan otonomi daerah. Desentralisasi memungkinkan kewenangan begitu tinggi, sehingga godaan untuk menyalahgunakannya juga tinggi.
Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta, Zainal Arifin Muchtar mengakui hal tersebut. Proses pemekaran, misalnya. Menurut dia, hal itu justru menjadi ladang baru bagi praktik-praktik korupsi.
Padahal, idealnya, dengan pemekaran tersebut, pelayanan kepada publik bisa meningkat karena faktor kedekatan dan ruang yang tidak begitu luas. ''Alih-alih melayani publik, (pemekaran) itu justru menjadi ruang baru untuk korupsi,'' tegasnya.
Jika sebelumnya praktik korupsi banyak terjadi di level pemerintah pusat, kini bergeser ke daerah. Masing-masing kepala daerah memiliki kewenangan untuk membangun daerahnya. Selain itu, mereka memiliki kewenangan penuh dalam mengelola keuangan.
Zainal mengungkapkan, tumbuh suburnya praktik korupsi di daerah juga dipengaruhi lemahnya pengawasan pemerintah. Pemerintah dinilai gagal menciptakan sistem pengawasan yang bisa meminimalkan praktik kotor itu. ''Akibatnya, korupsi yang sudah mengakar itu masih ada,'' katanya.
Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), sering ditemukan adanya kebocoran atau penyimpangan dalam penggunaan APBD. Bagaimana mengatasinya?
Zainal mengungkapkan, dibutuhkan suatu gebrakan dari pemerintah untuk bisa menekan berkembangnya tindak pidana korupsi. Awalnya, dia mengapresiasi positif adanya Inpres Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Sayangnya, pelaksanaannya tidak sesuai harapan.
Menurut dia, pelaksanaan koordinasi, monitoring, dan evaluasinya tak maksimal. ''Padahal, poinnya jelas dalam inpres itu. Beberapa bupati malah tidak tahu inpres tersebut. Itu kan lucu,'' ungkap Zainal. Dia lantas menyebutkan bahwa persoalan itu menjadi tanggungan pemerintahan SBY-JK yang perlu ditagih.
Persoalan lain penegakan hukum yang melibatkan kepala daerah adalah dalam hal perizinan untuk memeriksa mereka. Prosedur itu memang tidak berlaku jika kasus ditangani KPK. Lain ceritanya bila kasus tersebut ditangani kejaksaan. Sebab, mereka harus memiliki izin pemeriksaan dari presiden untuk bisa ''menyentuh'' para ''raja kecil'' di daerah yang bermasalah. Prosedur tersebut mengacu pada UU No 32/2004 tentang Pemerintah Daerah.
''Problemnya adalah regulasi dan birokrasi,'' jelas Emerson Yuntho. Mata rantai yang terlampau panjang sering menjadi kendala penyelesaian kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah.
Dia mencontohkan, kasus yang melibatkan seorang bupati dan ditangani kepolisian. Mulai penyidikan yang harus melalui polda, Bareskrim Polri, Sekkab, hingga presiden. Begitu pula dengan kembalinya, dari presiden hingga polda. Hal yang sama terjadi jika kasus ditangani kejaksaan. ''Prosedur yang panjang itu sangat mungkin berpotensi menimbulkan kebocoran,'' tegasnya. (fal/git/kum)
Sumber: Jawa Pos, 16 Juni 2009