KPK Vs BPK
Saturday, 18 June 2016 - 00:00
Terkait pembelian lahan Yayasan Kesehatan Sumber Waras, terdapat perbedaan pendapat secara diametral antara Komisi Pemberantasan Korupsi dan Badan Pemeriksa Keuangan.
Dalam pemeriksaan auditnya, BPK menemukan indikasi kerugian keuangan negara Rp 191,3 miliar dalam pembelian lahan Yayasan Kesehatan Sumber Waras, sedangkan penyelidikan yang dilakukan oleh KPK tidak menemukan adanya unsur korupsi dalam kasus itu (Kompas, 16/6/2016).
Audit yang dilakukan oleh BPK didasarkan pada Peraturan Presiden No 71/2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah, sementara KPK dalam melakukan penyelidikan merujuk pada Perpres No 40/2014 tentang perubahan keempat atas Perpres No 71/2012. Jika terjadi demikian, pendapat manakah yang dapat dijadikan rujukan?
Dalam konteks pemberantasan tindak pidana korupsi, di mana kerugian keuangan negara merupakan salah satu unsur yang terdapat dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), bila terjadi perbedaan pendapat antara KPK dan BPK mengenai suatu peristiwa hukum, yang harus dijadikan pegangan adalah penyelidikan oleh KPK. Ada beberapa argumentasi hukum yang memperkuat pendapat KPK terkait suatu peristiwa hukum.
Pertama, audit yang dilakukan oleh seorang auditor pada hakikatnya menguji kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, prosedur atau sistem dan kepatutan. Jika ditemukan penyimpangan, maka dapat dilanjutkan dengan audit investigasi. Audit investigasi dilakukan untuk mendalami temuan yang diduga suatu penyimpangan, menemukan dan mengumpulkan bukti serta menyerahkan bukti kepada pihak yang berwajib untuk ditindaklanjuti.
Sementara penyelidikan yang dilakukan oleh penyelidik adalah serangkaian tindakan untuk menemukan dan mengumpulkan bukti dalam rangka menentukan ada-tidaknya suatu tindak pidana. Artinya, penyelidikan yang dilakukan terhadap suatu peristiwa tentunya lebih mendalam bila dibandingkan dengan audit yang dilakukan terhadap suatu peristiwa hukum.
Kedua, adanya indikasi kerugian keuangan negara berdasarkan temuan BPK pada hakikatnya hanyalah berupa fakta. Apakah kerugian negara tersebut berada dalam ranah administrasi ataukah ranah perdata ataukah ranah pidana, harus dilakukan klarifikasi lebih lanjut. Klarifikasi atas temuan tersebut bukanlah kewenangan BPK, bahkan BPK tidak memiliki preknowledge untuk menjustifikasi apakah kerugian negara tersebut berada dalam ranah administrasi, ranah perdata, ataukah ranah pidana.
Ketiga, haruslah dipahami bahwa tidak selamanya kerugian keuangan negara identik dengan tindak pidana korupsi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor. Pasal 32 UU Tipikor membuka kemungkinan adanya kerugian keuangan negara, akan tetapi dalam ranah perdata. Oleh karena itu, ketika KPK berpendapat berdasarkan hasil penyelidikan terhadap suatu peristiwa hukum tidak memenuhi unsur korupsi, maka penyelidikan tersebut sudah dilakukan secara komprehensif, tidak hanya dari sudut pandang auditor semata, tetapi juga pendapat ahli lainnya, termasuk ahli hukum terkait.
Keempat, dalam konteks pembuktian, bukti berdasarkan perspektif seorang auditor berbeda dengan bukti berdasarkan perspektif juris. Pembuktian dalam hukum-terlebih hukum pidana-bersifat rigid yang didasarkan pada enam parameter pembuktian: (1) dasar-dasar pembuktian (bewijs gronden); (2) alat-alat bukti (bewijs middelen); (3) cara menemukan, memperoleh, mengumpulkan, dan menyampaikan bukti di depan persidangan (bewijsvoering); (4) beban pembuktian (bewijslast); (5) minimum bukti (bewijs minimmum); (6) dan kekuatan pembuktian (bewijs kracht). Perbedaan persepsi yang demikian mengakibatkan perbedaan pendapat mengenai suatu peristiwa hukum.
Kelima, hasil audit bukanlah satu-satunya parameter adanya indikasi tindak pidana korupsi. Namun tidak berarti sebaliknya, bahwa jika hasil audit tidak menemukan adanya penyimpangan, bukanlah berarti bahwa tidak ada tindak pidana korupsi. Banyak kasus korupsi yang kemudian diungkap penegak hukum, baik oleh KPK, kejaksaan, maupun kepolisian, padahal berdasarkan hasil audit tidak ditemukan adanya penyimpangan.
Keenam, in casu a quo, dengan asumsi pemberitaan yang dilansir oleh berbagai media adalah benar bahwa dasar aturan yang digunakan oleh BPK untuk mengaudit sudah tidak lagi berlaku, maka telah terjadi error juris dalam menganalisis suatu peristiwa hukum. Dalam hukum berlaku adagium lex posteriori derogat lege priori, yang berarti bahwa aturan hukum yang baru mengesampingkan aturan hukum terdahulu.
Seandainya jika pada saat audit dilakukan terjadi perubahan peraturan perundang-undangan, maka dalam konteks yang demikian berlaku prinsip lex favor reo. Artinya, jika terjadi perubahan perundang-undangan, maka harus digunakan aturan yang lebih menguntungkan.
Eddy OS Hiariej, guru besar hukum pidana Fakultas Hukum UGM
------------
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 Juni 2016, di halaman 7 dengan judul "KPK Vs BPK".