KPU dan Genealogi Korupsi
Ditahannya Mulyana W Kusumah oleh Komisi Pemberantas Tindak Pidana Korupsi (KPTPK), Jumat lalu (8/4) sungguh mengejutkan. Mengejutkan karena sosok seorang Mulyana yang dikenal luas sebagai figur publik yang memiliki integritas tinggi menjadi tersangka tindak pidana korupsi yang notabene adalah virus maut yang telah memerosotkan keadaban bangsa. Kalau tuduhan itu betul, hal ini tentu memalukan karena ternyata virus korupsi telah merongrong integritas moral kaum intelektual seperti Mulyana yang diyakini selama ini sebagai garda-depan dalam mempertahankan moralitas.
Sejak Agustus 2004 dugaan korupsi di KPU memang sudah diangkat ke publik oleh sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM). Dalam temuannya, secara rinci koalisi LSM mencatat dugaan korupsi seperti Rp 170,04 miliar (distribusi logistik), Rp 56,468 miliar (surat suara), Rp 2,775 (pengadaan mobil operasional KPUD), Rp 31,207 (pengadaan kotak suara), Rp 80,10 miliar (pembengkakan kotak suara), Rp 6,2 miliar (pengadaan bilik suara), Rp 28,554 miliar (pembengkakan bilik suara). Semua temuan itu sebelumnya telah dilaporkan ke KPTPK untuk dilakukan penyidikan lebih lanjut.
Jelas bahwa penangkapan Mulyana adalah buntut dari kerja panjang KPTPK selama hampir setahun ini meskipun tentang penangkapan itu sendiri terkuak kontroversi. Ada yang bilang bahwa telah terjadi konspirasi antara BPK dan KPTPK untuk mematikan manuver para aktivis sekelas Mulyana. Tuduhan itu dikuatkan oleh adanya surat perintah penahanan yang diduga sudah dipersiapkan sebelumnya. Tetapi ada juga yang bilang bahwa konspirasi itu adalah bagian dari wewenang kerja KPTPK untuk memberantas korupsi sehingga tidak ada masalah dengan surat perintah penahanan itu.
Saya pikir, ada atau tidaknya konspirasi tidak menghilangkan substansi masalah yakni tuduhan korupsi. Hanya, yang perlu ditelusuri lebih jauh adalah apakah itu korupsi kolektif ataukah personal supaya Mulyana tidak dikambing-hitamkan secara konyol. Bagaimanapun, sebagai bangsa, kita patut berduka karena hal ini menandakan hilangnya keteladanan moral dalam praktek kekuasaan di negeri ini. Lebih jelasnya, kejadian ini memunculkan skeptisisme baru bahwa jabatan publik yang semestinya dipertanggungjawabkan kepada kebaikan publik, kini didagangkan untuk ambisi dan keuntungan diri. Ini pratanda buruk tentang kebangkrutan moral para pejabat publik di negeri yang demokrasinya prematur.
Genealogi korupsi
Jika terbukti secara hukum, dengan tetap berpegang pada asas praduga tak bersalah (presumption of innocent), kasus ini mendesak kita untuk berpikir ulang tentang genealogi korupsi di bangsa ini: Apa sebetulnya akar korupsi di bangsa ini? Ada yang bilang bahwa penyakit korupsi berkembang dalam tiga tahap yaitu elitis, endemik, dan sistemik. Pada tahap elitis, korupsi masih menjadi patologi sosial yang khas di lingkungan para elite/pejabat. Pada tahap endemik, korupsi memwabah menjangkau lapisan masyarakat luas. Lalu di tahap yang kritis, ketika korupsi menjadi sistemik, setiap individu di dalam sistem terjangkit penyakit yang serupa. Boleh jadi bangsa ini telah mencapai tahap sistemik itu.
Suatu studi yang mendalam tentang akar korupsi, agaknya urgen dilakukan agar kita bisa merumuskan suatu solusi pemberantasan dan pencegahan yang efektif. Ide Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) tentang pemberantasan korupsi melalui strategi detektif dan strategi represif sebetulnya sudah berjalan dengan adanya KPTPK. Tetapi ternyata, adanya KPTPK dan sejumlah LSM yang menangani isu yang sama, korupsi justru semakin tersistematisasi dan meluas. Mengapa? Barangkali karena mekanisme pemberantasan korupsi yang dijalankan selama ini ibarat memangkas dahan duri tanpa mencabut akarnya.
Tiga wilayah akar korupsi
Lebih jelasnya, ada tiga wilayah penting yang menjadi locus bertumbuhnya akar korupsi. Pertama, wilayah individu. Di wilayah ini, perilaku korup tidak hanya ditautkan dengan moralitas personal yakni menyangkut nilai-nilai yang diserap seseorang, tetapi juga menyangkut hal situasional seperti adanya peluang korupsi atau juga faktor kemiskinan. Dalam konteks ini barangkali kita bisa menemukan titik terang mengapa korupsi bisa meluas di negeri yang tidak begitu menghargai kaum intelektualnya dan mengapa jabatan publik seringkali dipandang sebagai ajang mencari keuntungan ekonomis. Jelas sebetulnya bahwa ketika jabatan publik hanya ditakar secara ekonomis, seluruh harapan luhur tentang moral jabatan dan etika politik menjadi sirna. Perilaku korupsi persis berkembang subur dalam iklim yang demikian.
Kedua, wilayah sistem. Kredo dasar kaum institusionalis adalah bahwa perilaku individu ditentukan oleh sistem. Implikasi dari paradigma institusionalisme ini adalah bahwa korupsi dipahami sebagai konsekuensi dari kerja sistem yang tidak efektif. Mekanisme kontrol yang lemah dan kerapuhan sebuah sistem memberi peluang bagi terjadinya pelanggaran seperti korupsi. Selain itu, hubungan pengawasan antarlembaga yang kurang efektif turut memproduksi peluang terjadinya pelanggaran.
Boleh jadi, tidak adanya lembaga lain yang memiliki kewenangan khusus untuk mengawasi secara langsung proses kerja KPU selama mengatur penyelenggaraan pemilu, terutama menyangkut urusan logistik, memberikan peluang adanya praktik penyimpangan. Tidak hanya di KPU, di lembaga lain pun, termasuk DPR, mekanisme kontrol itu masih lemah sehingga membuka peluang bagi terjadinya praktek konspirasi, suap-menyuap, atau tender fiktif. Hal itu juga diakui anggota DPR, Djoko Soesilo dari fraksi PAN, dalam sebuah seminar di Universitas Indonesia (29 April 2005).
Itu artinya, pemberantasan korupsi mesti dijalankan secara sinergis dengan pembenahan sistem dan pengaturan tentang fungsi kontrol antarlembaga. Ini menjadi otokritik juga terhadap kampanye anti-korupsi yang dicanangkan pemerintahan Yudhoyono-Kalla. Bahwa ketika pemberantasan korupsi dipahami secara ad hominem (mengacu pada pelaku saja), maka kebijakan itu selain tidak produktif untuk jangka panjang juga niscaya gagal memahami genealogi korupsi itu sendiri.
Ketiga, wilayah irisan antara sistem dan individu. Kaum Hobbesian mengatakan bahwa sistem yang kuat menciptakan kepatuhan yang tinggi dari anggota-anggota di dalamnya sehingga yang dibutuhkan adalah negara leviathan. Sebaliknya, Kaum Minimalis mengatakan bahwa sistem tidak perlu terlalu kaku karena individu di dalamnya juga memiliki kesadaran untuk konform terhadap sistem. Tidak mudah menentukan keyakinan mana yang benar. Tapi yang pasti bahwa upaya membangun negara (state building) terkait dengan upaya membangun sistem yang kokoh agar terjadi harmoni antara sistem dan individu di dalamnya. Dengan begitu, upaya penegakan hukum dan penguatan demokrasi bisa berlangsung secara utuh dan holisitik. Kegagalan penegakan hukum kita selama ini terkait persis dengan gagalnya upaya state-building itu.
Jika betul terbukti bahwa Mulyana telah melakukan tindak pidana penyuapan yang berbuntut korupsi, maka masalahnya bukan hanya menyangkut hukuman maksimal 5 tahun sesuai bunyi pasal 5 UU 31/1999, tetapi menyangkut bagaimana menata lembaga publik seperti KPU. Itu yang menjadi pelajaran penting bagi upaya state-building yang belum tuntas.(Boni Hargens, Peneliti di Pusat Kajian Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia)
Tulisan ini diambil dari Republika, 15 April 2005