KRHN: Keliru Besar Pilih Bagir Lagi; Hari Ini, Pemilihan Ketua MA Digelar
Mahkamah Agung (MA) memilih ketua baru hari ini. Pemilihan itu terkait dengan berakhirnya masa tugas Bagir Manan yang sudah memasuki lima tahun. Tapi, Bagir masih berpeluang dipilih kembali, meski bakal pensiun dua tahun lagi.
Pemilihan tersebut justru ditanggapi dingin oleh para hakim agung. Saya cuek karena merasa tidak berkepentingan dalam pemilihan itu, ujar Artidjo Alkostar, salah seorang hakim agung, kepada wartawan kemarin.
Menurut dia, MA merupakan lembaga profesional, bukan lembaga politik. Karena itu, jabatan ketua pun tidak bersifat politis. Hakim agung relatif mandiri dalam urusan perkara. Misalnya, ketua MA tidak bisa memengaruhi hakim level terbawah sekalipun dalam putusan perkara.
Semua orang di MA gitu-gitu aja. Orang yang masuk MA standar. Tidak ada perbedaan siapa pun yang menjadi ketua, ungkapnya.
Artidjo menyebutkan, tidak ada kriteria khusus yang harus dimiliki ketua baru. Sebab, pedoman menyangkut visi dan misi MA sudah termuat dalam blueprint. Fungsi ketua hanya mengarahkan ke tujuan, katanya. Setiap hakim agung, lanjut dia, berpeluang terpilih, termasuk Bagir. Tidak ada aturan yang mengharuskan menjabat lima tahun, tegasnya.
Hakim agung lain, Arbijoto, berpendapat senada. Dia mengaku tidak peduli pada pemilihan ketua MA hari ini. Milih atau tidak, saya tidak tahu, ujarnya. Tetapi, dirinya berharap ketua baru mengetahui sejauh mana wewenangnya. Dalam lembaga peradilan, tidak ada yang bisa disebut pemimpin. Semua hakim itu bebas, katanya.
Lain sikap hakim agung, lain pula tanggapan pihak luar. Menurut Ketua Badan Pengurus YLBHI Munarman, pendapat masyarakat bahwa ketua MA adalah penguasa peradilan harus direkonstruksi. Dia menilai, ketua MA tak boleh diposisikan politis, namun hanya memastikan bahwa urusan administratif berjalan baik.
Meski demikian, lanjut dia, ketua MA harus memiliki integritas tinggi untuk menjadi figur bersih serta jujur. Apalagi, posisinya rentan terhadap isu suap. Bagaimanapun, ketua MA merepresentasikan lembaga di mata publik, ujarnya.
Soal peluang Bagir terpilih kembali, Munarman menyatakan tidak masalah. Toh semua hakim sama saja, ujarnya. Masyarakat diminta tidak terlalu berharap pada figur ketua MA dalam memperbaiki kebobrokan lembaga peradilan di Indonesia.
Alasannya, masalah tersebut tak selesai pada persoalan figur ketua, tapi harus sepaket dengan reformasi lembaga peradilan. Pemilihan ketua MA itu hanya formalitas. Buat pantes-pantesan saja, ujarnya pesimistis.
Ketua Komisi Reformasi Hukum Indonesia (KRHN) Firmansyah Arifin berpendapat sebaliknya. Menurut dia, ketua MA menentukan pilihan di level internal maupun eksternal, termasuk menentukan strategi manajerial sistem peradilan yang cepat, mudah, serta murah bagi masyarakat.
Yang tidak kalah penting adalah keputusan meningkatkan kualitas sumber daya manusia di level peradilan terbawah sampai tertinggi. Ironis kalau ada yang menganggap ketua tidak penting. Apalagi, jika datang dari hakim agung, tegasnya.
Hakim agung, kata dia, memiliki tanggung jawab moral untuk memberikan suara kepada orang yang berintegritas dan punya kapasitas. Jangan salah pilih. Apalagi sampai tidak mau menggunakan hak pilih, ungkapnya.
Soal peluang Bagir Manan, Firmansyah berpendapat, sebaiknya MA melakukan regenerasi pucuk pimpinan. Keliru besar bila Bagir terpilih kembali, ujarnya.
Menurut dia, Bagir pernah menggunakan UU No 5/2004 untuk memperpanjang usia pensiun 10 hakim agung, termasuk dirinya. Usia pensiun para hakim agung itu diperpanjang dari 65 tahun menjadi 67 tahun. Tidak salah kalau orang mengira itu manuvernya untuk terpilih lagi. Apalagi, pemilihan ini terkesan mendadak, jelasnya.
Tetapi, dia menilai wajar bila Bagir terpilih kembali. Siapa sih hakim agung yang berani mengambil risiko memimpin lembaga yang menjadi sorotan? katanya. (ein)
Sumber: Jawa Pos, 2 Mei 2006