Kriminalisasi BW Berlanjut ke Kejaksaan
Jakarta, antikorupsi.org (18/09/2015) - BareskrimMabes Polri akan menyerahkan perkara mantan komisioner pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto (BW) ke Kejaksaan Agung (Kejagung) hari ini. Pelimpahan kasus ini akan menjadi babak baru pada proses kriminalisasi BW.
Melalui siaran pers yang dikirim oleh salah satu tim kuasa hukum BW, Abdul Fickar Hadjar kepada antikorupsi.org menyebutkan bahwa, Tim Advokasi Antikriminalisasi (TAKTIS) menilai ada sembilan poin kejanggalan dalam proses lanjut penanganan perkara BW ini.
Pertama, Proses penanganan perkara BW bukanlah murni penegakan hukum. Jika melihat bukti Kejagung telah menetapkan kelengkapan berkas sejak bulan Mei. Namun baru ditindaklanjuti oleh Bareskim dengan penyerahan tersangka dan barang bukti pada pertengahan September 2015. Maka lambatnya penyerahan kasus dan berkas tahap II disinyalir sebagai upaya mengulur waktu perkara BW, setidaknya hanya memastikan BW tidak lagi menjabat sebagai wakil ketua KPK.
Kedua, terdapat penambahan pasal dalam surat pemanggilan BW. Terdapat pasal baru yang dituduhkan kepada BW yaitu Pasal 266 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang nenerangkan soal perintah pemberian keterangan palsu dalam akta otentik yang menjelaskan suatu fakta. Tujuan instruksi tersebut agar orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran. Ancaman pidana untuk sangkaan pasal ini adalah tujuh tahun pnjara.
Sebelumnya saat diperiksa Bareskrim, BW tidak sekalipun diperiksa dengan tuduhan Pasal 266 KUHP. Pasal ini muncul saat berkas akan dilimpahkan ke Kejagung.
Ketiga, Bareskrim menambah panjang daftar kebohongan. Sejak awal menetapkan BW, Bareskrim sesumbar memiliki bukti yang cukup. Nyatanya, penyidikan Bareskrim berkali-kali dimentalkan oleh Kejagung karena berkasnya belum lengkap.
Keempat, Perkara Zulfahmi Arsad (ZA) –tersangka lain dalam kasus dugaan pemberian keterangan palsu dalam persidangan sengketa pemilu Kotawaringin Barat di Mahkamah konstitusi– gagal menjembatani kriminalisasi BW. Bareskrim berniat menyambungkan Z dengan perkara BW. Faktanya, dalam persidangan membuktikan ketidakprofesionalan penyidik dalam menyidik kasus ZA, terlebih dalam kasus BW. Hal ini diperkuat dengan putusan hakim dalam dalam persidangan ZA yang tidak bulat.
Kelima, Kabareskrim dan Dirtipideksus yang baru tidak tahu hasil penyidikan. Sepatutnya Kabareksrim dan Dirtipideksus baru harus lebih cermat dalam mengevaluasi kinerja penyidik sebelum kembali melanjutkan kasus.
Keenam, Pembangkangan terhadap rekomendasi ORI. Ombudsman Republik Indonesia (ORI) telah menyatakan mal administrasi. Karena itu, ORI kemudian telah merekomendasikan untuk memeriksa dan memberi sanksi mal administrasi yang dilakukan Bolly Tifaona dan Viktor E. Simanjuntak (penyidik Bareskrim mabes Polri). Namun sampai saat ini rekomendasi ORI belum dijalankan.
Ketujuh, Pengabaian surat Komnas HAM. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah menyampaikan temuan terkait proses penanganan BW. Yaitu adanya penyalahgunaan wewenang yang dilakukan Bareskrim dalam proses penangkapan. Karena proses penangkapan tersebut melanggar DueProcess of Low.
Kedelapan, Pengabaian Surat Peradi. Pengabaian atas surat Perhimpunan Advokad Indonesia (Peradi), yang intinya menyatakan bahwa (Bambang Widjojanto) BW tidak bersalah karena dalam menjalankan profesinya sebagai advokat. Dia telah melakukannya dengan cara yang benar, patut, dan bisa dipertanggungjawabkan secara moral dan hukum. Sebelumnya Peradi telah menyatakan sikap bahwa apa yang dilakukan Bareskrim telah melanggar MoU antara Peradi dan Bareskrim Mabes Polri.
Terakhir, Bareskrim telah menolak transparansi penanganan perkara melalui forum gelar perkara. TAKTIS sejak awal telah minta Bareskim untuk melakukan forum gelar perkara seperti yang diamanatkan dalam Perkap No 14 Tahun 2002. Namun sampai sekarang Bareskrim enggan membuat forum gelar perkara tersebut. Padahal sebelumnya, telah digembar-gemborkan telah memiliki bukti yang cukup. (Ayu-Abid)