Kriminalisasi Pemantau Pemilu Bungkam Demokrasi
Jakarta, antikorupsi.org (06/11/2015) – Pegiat antikorupsi di Semarang Jawa Tengah, Ronny Maryanto ditetapkan menjadi tersangka pencemaran nama baik atas pelaporan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon ke Bareskrim Mabes Polri. Pelaporan pencemaran nama baik ini terkait dugaan money politic yang dilakukan pelapor saat pemilu presiden (Pilpers 2014). Saat ini koalisi kawal pemilu meminta dukungan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk berkomunikasi dengan penegak hukum terkait, agar kasus tersebut dihentikan.
Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz, mengatakan, kasus ini berawal saat Ronny saat menjadi pengawas lembaga independen yang mendapatkan informasi dari seorang wartawan adanya dugaan transaksi politik uang yang dilakukan oleh Fadli Zon saat berkampanye untuk pilpers 2014 di Pasar Bulu, Semarang. Selanjutnya temuan tersebut disampaikan kepada Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Semarang guna ditelesuri kebenarannya.
“Panwaslu tidak menindaklanjuti laporan Ronny karena tidak ditemukan saksi penerima uangnya. Namun justru 4 Juli 2014 Fadli Zon melaporkan Rony dan sejumlah wartawan ke Bareskrim dengan mengenakan Pasal 310 dan 311 KUHP dan Pasal 27 UU ITE,” ujar Donal saat memberikan keterangan kepada wartawan di Kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) di Jakarta, Kamis (05/11/2015).
Donal menegaskan, disaat pelaporan tersebut koalisi juga berkoordinasi dengan Kabareskrim saat itu, Komjen Pol Suhardi Alius dan beliau juga merasa heran atas tuduhan yang dikenakan kepada Ronny.
Setelah ada rotasi pejabat kepolisian, kasus yang sempat terhenti, saat ini malah terus dilanjutkan.
“Akhirnya Ronny ditetapkan sebagai tersangka, dan dengan cepat kasus ini sudah dilimpahkan ke kejaksaan dan berstatus P21, yang artinya siap disidangkan,” tegas Donal.
Permintaan dukungan tersebut direspons baik oleh komisioner Bawaslu Nasrullah. Dirinya menegaskan akan segera menindaklanjuti dan memberikan bantuan hukum kepada Ronny atas kegigihannya untuk menciptakan pemilu yang bersih, jujur, dan adil.
“Ronny adalah anggota panwas di Kota Semarang, tepatnya di Kecamatan Candi Sari, maka kita akan berikan bantuan hukum dan semaksimal mungkin serta menjalin komunikasi dengan penegak hukum terkait,” ujarnya.
Nasrullah menyatakan, menjelang pilkada bulan Desember 2015 ini dirinya akan lebih sering melakukan komunikasi dan koordinasi dengan Sentra Penegak Hukum (Gakum) yang dibentuk Bawaslu bersama kepolisian dan kejaksaan. Pasalnya ada potensi sentra Gakum tidak memahami apa dilaporkan masyarakat.
“Masalah seperti ini bukanlah masalah pidana pemilunya namun pidana umumnya,” tegas Nasrullah.
Kooridinator Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KP2KKN) Semarang Rofiuddin, menyatakan Ronny Maryanto juga menjadi anggota KP2KKN Semarang. Terkait kasus anggotanya, dirinya menyesalkan bahwa penyidik Bareskrim Polri tidak pernah melakukan mediasi antara pelapor dengan terlapor. Padahal mediasi merupakan salah satu upaya untuk menyelesaikan kasus tuduhan pencemaran nama baik tersebut.
“Herannya kasus ini masih dilanjutkan, padahal panwas tidak menemukan bukti materiil si penerima uangnya,” kata Rofiuddin.
Dirinya juga menyayangkan atas tuduhan pasal yang berbeda. Awalnya Ronny dikenakan Pasal 27 UU ITE dan saat berkas pelimpahan ke kejaksaan ternyata pasal yang dituduhkan adalah Pasal 310 dan 311 KUHP.
“Ronny memang tidak ditahan tetapi diminta wajib lapor setiap Senin dan Kamis. Tentu ini menggangu aktivitasnya sebagai kepala keluarga dan panwas di Semarang,” tegasnya.
Presden Buruk Menjelang Pilkada
Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Sunanto mengatakan, kasus Ronny hanya akan menjadi preseden buruk bagi proses demokrasi yang sedang dibangun saat ini. Terlebih sebentar lagi masyarakat akan menghadapi pesta demokrasi dalam pemilihan kepala daerah (pilkada).
“Ini seolah-olah menunjukan kepada masyarakat agar jagan melapor jika ditemukan indikasi kecurangan dalam pilkada,” katanya.
Sementara itu peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramdhani, mengatakan pelaporan atas kejanggalan merupakan bentuk nyata dari pastisipasi masyarakat dalam mengawal proses pemilu. Apa yang dilakukan Ronny dirasa sudah tepat karena ditemukan ketidakbenaran dalam penyelenggaraan pemilu.
“Ketika partisipasi publik ditafsirkan sebagai pelanggaran hukum dan menjadi pencemaran nama baik maka hal ini menjadi salah,” kata Fadli.
Insiden ini merupakan bentuk pembungkaman prosedural demokrasi dalam menciptakan ruang partisipasi publik. Karena itu, jika penegak hukum terus menindaklanjuti proses hukum Ronny, maka hal ini merupakan upaya melemahkan iklim demokrasi yang sedang dibangun.
“Penegak hukum harus dapat memilah proses hukum mana yang ditindaklanjuti. Jangan jadikan pasal pencemaran nama baik menjadi disalahgunakan,” tegasnya. (Ayu-Abid)