Krisis BPPN dan Posisi Konglomerat
Sang waktu tampaknya tidak terlalu bersahabat dengan ‘Badan Penyehatan Perbankan Nasional’ (BPPN) dewasa ini. Hanya tinggal sedikit waktu yang tersisa bagi lembaga itu untuk merampungkan seluruh tugasnya. Sejauh ini setelah berjalan lebih kurang empat tahun, BPPN hanya mampu merestrukturisasi (menjual) 20% dari total nilai aset yang sebesar 66 miliar dolar. Jadi, adalah sangat wajar kalau BPPN diragukan kemampuannya merestrukturisasi sisa 80% dari aset tersebut dalam waktu hanya dua tahun yang masih dimilikinya. Hal ini membuat kita bertanya-tanya mengapa dan bagaimana BPPN dapat jatuh ke jurang kekacau-balauan seperti ini? Selanjutnya juga kita perlu memahami hambatan apa saja yang menjadi permasalahan bagi BPPN dalam menyelesaikan tugasnya dengan baik.
BPPN harus menyelesaikan amanat yang diberikan kepadanya hanya sampai Januari 2004. Pada 27 Januari 1998, pemerintah mendirikan BPPN untuk menangani masalah restrukturisasi dan rehabilitasi anak-anak perusahaan konglomerat beserta bank-banknya, untuk mengembalikan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang telah dipinjamkan kepada mereka.
Ternyata, kebanyakan konglomerat yang bersangkutan telah menyalahgunakan dana BLBI tersebut. Penyalahgunaan dana BLBI ini menjadi skandal keuangan terbesar dalam sejarah Indonesia. Walaupun dana ini sangat dibutuhkan untuk memantapkan sektor keuangan dan menggerakkan sektor riil, penyelewengan yang terjadi pada akhirnya akan berakibat pula pada terhambatnya pemulihan perekonomian baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Tanggung jawab terhadap pengembalian hutang dan restrukturisasi dilimpahkan ke tangan BPPN, yang sekarang di bawah Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi. BPPN melakukan pengembalian secara besar-besaran dan pengelolaan perusahaan dan aset yang sebelumnya dimiliki oleh “obligor nakal” atau para konglomerat Orde Baru (Orba).
Mengingat bahwa dewasa ini ribuan perusahaan dan aset terlibat dalam proses restrukturisasi dan rehabilitasi, maka perlu ditekankan betapa pentingnya BPPN dalam proses pemulihan perekonomian Indonesia dan hal ini mempunyai dampak yang sangat penting bagi penentuan masa depan Indonesia.
Akar Permasalahan
Akhir-akhir ini banyak yang meragukan keakuratan nilai aset di tangan BPPN. Nilai aset yang pada awalnya diperkirakan Rp 660 triliun, sebenarnya telah menyusut menjadi sekitar Rp 160 triliun. Menurut Komisaris Utama BNI Arif Arryman, berbeda dengan pengalaman badan restrukturisasi dan rehabilitasi di negara lain seperti Thailand dan Amerika Latin, kinerja BPPN sangat rendah. Nilai aset yang kemungkinan telah digelembungkan (mark up) sejak awal, kini mengalami penyusutan yang hebat. Diperkirakan telah mengalami penurunan sebesar Rp 500 triliun dalam tiga setengah tahun terakhir. Maklum, karena situasi ini merupakan “tragedi nasional”, tidak mengherankan mengapa tidak ada seorangpun yang memiliki kewenangan berani mengakui hal ini sebagai “kegagalan nasional”.
Walaupun demikian, BPPN tetap merupakan lembaga pemerintah yang paling basah dan kaya. Karena lembaga ini bertanggung jawab atas bekas asset dari sekitar 300 konglomerat Orba dan ribuan perusahaan yang mendominasi sektor riil yang tersebar di seluruh Nusantara, yang…mencakup perindustrian, multifinansial, perhotelan, perniagaan, distribusi dan kontruksi…
Jelasnya, tugas BPPN jauh lebih rumit pada saat kita memperhitungkan permasalahan utamanya yaitu “Korupsi, Kolusi dan Nepotisme” (KKN). Jika kita melihat salah satu argumentasi pokok dari ekonom termasyur Mancur Olson—yaitu lebih banyak kelompok kepentingan yang mempengaruhi perumusan dan pelaksanaan kebijakan, semakin lambat perekonomian berjalan—, sejak permulaan krisis ekonomi yang parah menghantam Indonesia, banyaknya pihak-pihak yang berebut bagian aset BPPN membuat proses pemulihan semakin lambat.
Mari kita melihat situasi ini dengan lebih dekat. Perebutan kekuasaan yang sangat sengit berkaitan dengan BPPN dapat disederhanakan ke dalam lima kelompok kepentingan yang paling mencolok. Pertama-tama, orang-orang dekat presiden. Mirip dengan kondisi pada masa pemerintahan Soeharto, B.J Habibie dan Abdurrahman Wahid yang pada masa itu pilih kasih terhadap pengusaha elit tertentu dianggap lumrah, [dalam periode kepresidenan Megawati] dewasa ini “suaminya penguasa nomor wahid” [yaitu Taufiq Kiemas]- yang memiliki catatan masa lalu yang akrab dengan beberapa konglomerat Orba- menganakemaskan dan melindungi sekelompok kecil pengusaha elit seperti kelompok Texmaco dan Gajah Tunggal (Untuk penjelasan lebih lanjut lihat Dick dan Mulholland, 2011, hlm. 76-78 sebagai berikut -https://books.google.com.au/books?id=_e9jAAAAQBAJ&printsec=frontcover&dq=state+and+illegality+in+Indonesia&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwj4s4-JtoHkAhUv63MBHbQ6DHEQ6AEIKjAA#v=onepage&q=state%20and%20illegality%20in%20Indonesia&f=false). Yang dapat dipastikan di sini adalah ketidakmungkinan keunggulan kompetitif “faktor kedekatan” dengan “oknum ini” akan setangguh mantan Presiden Soeharto. Jadi, keberhasilan konglomerat secermerlang yang dialami kelompok usaha Salim dalam Orba, kemungkinan besar tidak dapat ditiru atau diraih oleh konglomerat setelah tahun 1998.
Kedua, banyak pengusaha elit yang tetap menggunakan cara-cara lama mereka yaitu dengan menyuap dan menggunakan koneksi untuk mengatasi masalah dan juga untuk meraih apapun yang mereka inginkan. Lebih terperinci lagi, tampaknya berbagai macam konglomerat telah “memarkirkan” sebagian besar aset kerajaan bisnisnya di bawah perlindungan payung BPPN. Sehingga, dapat ditarik kesimpulan bahwa konglomerat-konglomerat ini memainkan “peran menunggu” sampai kondisi ekonomi dan politik membaik kemudian mereka akan bergerak untuk mengambil alih kembali kepemilikan atas aset-aset tersebut yang mereka percaya sebagai “milik sah” mereka. Dipersenjatai dengan dana yang tersembunyi di tempat lain sejak BI menyalurkan BLBI, misalnya, kemungkinan besar konglomerat-konglomerat tersebut akan mencoba mengambil alih kembali perusahaan-perusahaan dan asetnya yang hilang. Pengambilalihan tersebut kemungkinan dengan cara mempergunakan “pertolongan” penanaman modal asing. Telah dicurigai bahwa kelompok Salim adalah salah satu konglomerat yang menggunakan strategi kolaborasi dengan pihak asing untuk menutupi, mengkonsolidasi dan bahkan menyusun kekuatan dalam perekonomian Indonesia. Sebagai contoh dapat kita lihat pada keinginan Salim mengambil alih kembali bukan saja Indocement, tetapi juga Bank Central Asia (BCA) sangatlah menonjol. Bahkan konglomerat-konglomerat ini berusaha keras menghalangi pengambilalihan kepemilikan perusahaan-perusahaan dan aset ini dari BPPN oleh konglomerat-konglomerat lain di luar kelompoknya.
Ketiga, anggota-anggota dari partai politik (parpol) yang telah menjadi “pemain baru” yang sedang mencoba memperrebutkan bagian-bagian dari BPPN. Para anggota parpol-parpol ini kelihatan terburu-buru dan tanpa perhitungan menekan BPPN untuk menjual aset-aset bekas konglomerat. Setelah penjualan dilakukan, seharusnya hasil penjualan akan dimasukan ke APBN. Namun, sebelum dana tersebut masuk ke APBN, telah disaring terlebih dulu oleh partai-partai politik. Tampaknya, parpol-parpol ini tidak peduli siapa yang akan menguasai aset-aset tersebut. Tidak ada alasan-alasan ideologi yang melatar belakangi tindakan mereka ini, tapi hanyalah masalah kerakusan dan kepentingan pribadi untuk memperkaya diri dan kubunya sebanyak-banyaknya dalam waktu sesingkat-singkatnya dengan memanfaatkan posisi yang mereka miliki saat ini.
Keempat, kehadiran beberapa reformis dan generasi muda ekonom Indonesia yang condong pada teori neoklasik, yang diharapkan mampu menolong BPPN untuk bekerja dengan baik ternyata sejauh ini masih menghadapi tantangan yang sangat sulit. Kelima, Kepala BPPN keenam IPG Ary Suta (sebelumnya Ketua Bapepam), sejak dilantik 25 Juni 2001 sampai sekarang tampaknya memiliki masalah kredibilitas karena adanya tuduhan kedekatan dengan keluarga Soeharto dan banyak konglomerat. Namun, menyadari implikasi jangka panjang dari penjualan asset-aset ini terhadap sektor ekonomi riil, tidak semestinya menuntut tanggung jawab hanya dari Kepala BPPN. Tetapi semestinya juga para menteri yang terlibat, tidak hanya dengan BPPN, tetapi juga badan-badan lain yang terkait penjualan aset. Seluruh pergulatan ini didasari oleh budaya elite Jawa baru yang telah melembaga, yang dicirikan sebagai paternalistik, hedonistik, feodalistik dan pro—KKN.
Posisi Konglomerat
Konglomerat, yang menjadi lokomotif perekonomian Indonesia pada era Orba, dewasa ini sedang dalam ketidakpastian yang sangat dahsyat. Setelah terjadinya musibah ekonomi dan keuangan pada akhir tahun 1997, kebanyakan bank-bank yang memiliki hubungan dengan konglomerat-konglomerat ini amblas. Kondisi pengusaha elite Orba serta kerajaan bisnisnya dalam era pasca Soeharto sangat menyedihkan. Kebanyakan dari pengusaha elite ini terjebak dalam pergualatan ketidakpastian kondisi politik dan perekonomian Indonesia. Sebelumnya, pada masa Orba, jika seseorang memiliki keunggulan kompetitif yaitu kedekatan dengan Soeharto, maka telah dapat dijamin pertumbuhan dan perkembangan kerajaan bisnisnya akan berjalan dengan sangat baik.
Tetapi saat ini, dengan tersebarnya kekuasaan di tangan penguasa-penguasa yang berbeda (dari sistem diktator ke oligarki), tidak seorangpun tahu siapa yang benar-benar berkuasa dan siapa yang tidak. Banyak pengamat menganggap Bob Hasan sebagai pengusaha elite Orba yang paling tidak beruntung, karena dia berakhir meringkuk di Nusakambangan. Akan tetapi, dilihat dari sisi positifnya, secara tidak langsung dia dapat menyelamatkan diri dari penagih utang dan musuh-musuhnya dengan membayar “semacam uang kemanan” kepada penjaga penjara dan juga tidak perlu terlalu khawatir masalah ketidakpastian baik di bidang social, ekonomi maupun politik!
Di samping itu, banyak pengusaha elite yang mungkin memiliki perusahaan-perusahaan yang dicap pailit secara teknis, tetapi ini tidak berarti mereka sudah keluar dari arena permainan bisnis. Perlu diingat bahwa konsep kepailitan di Indonesia berbeda dengan negara-negara lain, seperti Amerika Serikat (AS). Dalam kasus AS, ketika suatu perusahaan pailit, maka pemiliknya juga pailit. Akan tetapi untuk kasus di Indonesia, jika suatu perusahaan dilikuidasi, pemiliknya mungkin tetap kaya raya. Contoh yang paling mencolok dalam hal ini adalah Sudono Salim.
Dalam hubungan dengan kerajaan-kerajaan bisnis Orba, banyak dari bekas anak-anak perusahaan dan asetnya yang tetap berjalan baik. Ada tiga faktor yang menonjol yang perlu disoroti terkait dengan kondisi bekerjanya kerajaan-kerajaan bisnis tersebut. Pertama, perusahaan-perusahaan ini dapat terus beroperasi terutama karena didukung oleh pasar setempat dan dalam beberapa kasus ada permintaan dari pasar internasional terhadap produk mereka. Kedua, apa yang menjadi keprihatinan yang besar pada saat ini adalah terabaikannya produktivitas dari anak-anak perusahaan ini dikelola oleh BPPN. Masalah ini, dapat digambarkan dengan perumpamaan bahwa “BPPN adalah seperti kapal kecil yang membawa terlalu banyak muatan.” Ditambah rentang kendali yang terbatas adalah sangat jelas bahwa BPPN tidak memiliki kemampuan organisasi, sumberdaya dan orang-orang yang secara efisien mengelola perusahaan dan asset yang ada.
Oleh karena itu, sangat tidak masuk akal untuk mengharapkan BPPN mampu secara tepat dan teliti mengawasi perusahaan-perusahaan ini dan aset lainnya. Kewajiban utama BPPN adalah memenuhi tanggung jawab keuangan dalam hubungannya dengan APBN. Namun begitu, kita harus memperhitungkan pula bahwa aset-aset di bawah pengawasan BPPN ini dulu terlibat dalam gejolak mark-up yang terjadi di sektor swasta. Kalau dulu almarhum Prof. Sumitro Djojohadikusumo menekankan parahnya kebocoran ekonomi dalam sektor pemerintah (30%), kebocoran yang terjadi di sektor swasta mungkin jauh lebih besar dan pada gilirannya telah membuat sistem ekonomi Indonesia lebih rentan dan rapuh lagi sebelum diterpa krismon.
Ketiga, salah satu dampak krisis yang paling besar sampai saat ini adalah kepemilikan dari usaha-usaha konglomerat ini jatuh ke tangan pengusaha-pengusaha asing. Akhir-akhir ini istilah “asingisasi”, baru muncul dalam kosakata bisnis Indonesia untuk menggambarkan penjualan perusahaan-perusahaan tersebut kepada orang-orang asing, telah menjadi cara terbaik untuk restrukturisasi hutang nasional dan pemulihan ekonomi pada umumnya dan sistem perbankan nasional. Asingisasi menyiratkan bahwa pihak asing (konsorsium bisnis atau perusahaan-perusahaan multinasional) siap membeli aset-aset Indonesia yang masih produktif dengan harga yang sangat murah. Contohnya, akibat krisis, keluarga Bakrie yang dinahkodai oleh Aburizal Bakrie telah dipaksa untuk menyerahkan sebagian besar kepemilikan kelompok Bakrie kepada penanam modal asing, yang pada akhirnya mengakibatkan keluarga Bakrie sebagai pemilik saham minoritas dengan hanya 3-4 persen bagian. Contoh lainnya kerajaan bisnis besar seperti kelompok Salim dan Astra harus menjual saham anak-anak perusahaannya kepada mitra asing (spin-off). Spin-off tersebut tercermin pula kelompok-kelompok usaha ini aktif terlibat dalam proses rasionalisasi dan restrukturisasi struktur organisasinya, walaupun struktur konglomerat masih akan tetap paling dominan dalam perekonomian Indonesia.
Quo Vadis
Untuk tiga tahun pertama sejak munculnya krismon, dengan sangat disesali perlu diakui bahwa proses restrukturisasi dan rehabilitasi dapat dianggap sebagai suatu kegagalan yang sangat mengecewakan. Hal ini akan mempunyai dampak yang tragis terhadap masa depan Indonesia. Semakin lama Indonesia keluar dari masalah ekonomi dan keuangan ini, semakin besar biaya yang harus ditanggung oleh rakyatnya. Dengan besar lebih dari tiga perempat bagian dari ekonomi Indonesia dalam proses restrukturisasi dan rehabilitasi tidaklah mustahil merusak masa depan perekonomian Indonesia.
Pemerintah tampaknya tidak menganggapi masalah proses restrukturisasi dan rehabilitasi ini sebagai sesuatu yang serius. Jadi, pemerintah cenderung untuk menambah jumlah BUMN yang diswastanisasi—dengan jumlah keseluruhan 185 dan nilainya sekitar Rp 850 triliun atau 89,5 miliar dolar— ke dalam piring yang telah penuh dengan masalah yang belum terselesaikan. Apakah tidak lebih baik apabila kita menyelesaikan terlebih dahulu masalah-masalah yang ada dalam BPPN sebelum menghadapi tantangan hebat lain seperti swastanisasi BUMN setelah habis masa tugas BPPN 2004. Dengan melihat kinerja BPPN selama ini, tidak mungkin sesudah amanat BPPN selesai, tidak akan ada modifikasi dari instansi-instansi BPPN yang ada atau badan lain untuk menyelesaikan sisa-sisa tugas BPPN itu.
Dapat disimpulkan bahwa ada suatu keniscayaan terkait dengan bentuk organisasi usaha seperti konglomerat akan bangkit lagi di Indonesia pasca krismon, dengan sebagian mereka adalah pemain warisan dari orang-orang orba yang mampu bertahan hidup, dan secara umum jumlah penanaman modal asing akan meningkat secara mencolok. Dengan perkataan lain, konglomerat yang paling kuat akan tetap hidup, sedang konglomerat yang lebih lemah akan terkubur, yang pada gilirannya, tingkat konsentrasi ekonomi mungkin tumbuh. Dalam konteks ini yang semestinya dipersoalkan dalam wacana nasional sekarang ini adalah perdebatan normatif tentang landasan pemikiran yang melatarbelakangi sistem perekonomian Indonesia.
Ditulis oleh Jeremy Mulholland (University of Melbourne) dan Ken Thomas (La Trobe University)
Kompas 24 Januari 2002
*Catatan: Penerbitan ulang tulisan ini adalah untuk memperingati sumbangsih atas karya ilmiah dan riset dari pakar ilmu ekonomi Alm. Ken Thomas pada bangsa Indonesia termasuk kolaborasi panjang dia bersama Jusuf Panglaykim.