Kritik untuk KPK
DALAM sambutan peringatan Hari Antikorupsi Sedunia, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Abraham Samad menilai lembaga yang ia pimpin sudah cukup berhasil dalam memerangi korupsi (9/12). Apa ukurannya dan apakah keberhasilan KPK seorang diri saja? Dua pertanyaan ini menarik untuk diselisik.
Saat ini KPK sudah berumur lebih dari sepuluh tahun dan dipimpin tiga periode kepemimpinan yang berbeda. Dalam perjalanannya, komisi ini menemui pasang-surut perjuangan pemberantasan korupsi. Ada masa-masa gemilang dan ada pula masa-masa kelam, khususnya pada momen terjadinya kriminalisasi dua pimpinan mereka: Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah.
Pada saat itu KPK seolah berada pada titik terendah secara kinerja dan psikis. Energi mereka tersedot habis dalam melayani pertarungan dengan pihak kepolisian. Kasus yang fenomenal dengan sebutan ”Cicak versus Buaya” itu menjadi salah satu dokumen sejarah yang tidak dapat dihapus dari perjuangan pemberantasan korupsi di republik ini.
Masih ada ”PR” besar
Di balik persoalan, tentu saja ada pencapaian KPK yang tergolong luar biasa dalam pemberantasan korupsi. Tahun ini KPK dianugerahi Ramon Magsaysay Award. Selain itu, rekam jejak dalam penanganan kasus juga sempurna. Sepuluh tahun keberadaannya, KPK sudah menangani 385 kasus korupsi dengan conviction rate 100 persen alias tidak ada satu pun terdakwa kasus korupsi yang lepas dari jeratan KPK.
Jika dipilah dari latar belakang pelaku, KPK pun menangani kasus korupsi dengan aktor dan jabatan publik yang beragam. KPK telah masuk ke lorong kejahatan yang ”tabu” disentuh penegak hukum lain karena kuatnya intervensi. Sebutlah seperti parlemen, kementerian hingga lingkaran penegak hukum itu sendiri.
Dari gambaran tersebut, apabila dikaitkan antara pernyataan keberhasilan KPK di atas dan hasil akhir (result) yang mereka capai, tentu pernyataan Abraham Samad tersebut tepat. Data dan fakta menunjukkan capaian lembaga tersebut.
Namun, apabila pernyataan tersebut dikaitkan dengan proses penanganan kasus (legal process), tentu banyak perdebatan dan hal-hal yang harus dikritisi terhadap KPK sebelum memberikan kesimpulan mereka sudah berhasil atau tidak.
Jika dikaitkan dengan penanganan kasus, setidaknya ada dua hal utama yang harus disoroti. Pertama, tingkat penuntasan kasus. Ada banyak kasus korupsi yang hingga saat ini belum tuntas ditangani KPK. Sebut saja kasus BLBI yang semakin mendekati masa kedaluwarsa, kasus Bank Century yang sudah menginjak tahun kelima, kasus cek perjalanan yang belum sampai kepada aktor utama, hingga kasus pencucian uang oleh M Nazaruddin yang berjalan lambat.
Beberapa kasus di atas hanya sebagai contoh untuk mengingatkan ”PR” besar yang sudah cukup lama. KPK tentu harus sadar, semakin lama kasus ditangani oleh mereka tentu akan semakin pudar kepercayaan masyarakat. Ini adalah tesis umum yang berlaku terhadap semua lembaga penegak hukum.
Kedua, problem lemahnya fungsi koordinasi dan supervisi dengan penegak hukum lainnya. Dua fungsi tersebut sejatinya adalah pekerjaan utama bagi KPK. Tugas ini diamanatkan dalam Pasal 6 UU KPK. Namun, tugas ini masih terkesan sebagai tugas ”kelas dua”.
Sebagai salah satu contoh dapat dilihat dari pelimpahan sejumlah perkara yang menjerat M Nazaruddin kepada lembaga penegak hukum lainnya. KPK bersama penegak hukum lainnya membentuk MOU sebagai langkah koordinasi. Pelimpahan tersebut didasarkan pada pertimbangan KPK tidak mampu menangani kasus Nazaruddin yang tersebar di sejumlah kementerian dan instansi.
Jika dilihat kenyataan yang terjadi saat ini, penanganannya justru tidak terkontrol di penegak hukum lainnya. Nazaruddin sebagai simpul kejahatan dan otak perusahaan (directing mind) tidak kunjung diperiksa. Kepolisian dan kejaksaan justru seolah bersih-bersih di tepian saja dengan menjerat para staf perusahaan M Nazaruddin. Di titik ini KPK kehilangan kontrol dalam mengoordinasikan tindak pidana lain yang dilimpahkan kepada penegak hukum lainnya. Secara proses tentu hal ini harus dikoreksi.
Harus diingat, karena undang-undang mengamanatkan fungsi trigger mechanism kepada KPK, maka keberhasilannya diukur sejauh mana institusi kepolisian dan kejaksaan berhasil dalam penanganan sekaligus bersih dari praktik korupsi. Keberhasilan KPK tidak berdiri tunggal, tetapi justru dituntut untuk berhasil secara kolektif dengan institusi lainnya.
Tutup lubang
Maka, untuk menilai KPK sudah berhasil atau tidak dalam pemberantasan korupsi, harus dilihat utuh dari proses penanganan kasus hingga hasil akhir. Untuk dapat dianggap berhasil, keduanya harus sinkron. Sementara yang terjadi hari ini masih ada ”gap” antara proses dan hasil akhir. Semoga ini bisa diperbaiki KPK.
Faktor lain yang sangat menentukan kesuksesan pemberantasan korupsi adalah soal perbaikan sistem pasca-penindakan. Hal ini jarang menjadi diskursus, tetapi sesungguhnya amat penting.
Jamak kita lihat dan dengar penindakan-penindakan berupa penangkapan atau aksi hukum lainnya yang dilakukan oleh aparatus. Namun, sering kali setiap penindakan yang dilakukan tidak diikuti secara cepat dengan perbaikan sistem untuk menutup lubang. Analoginya, jika ada ban yang bocor tidak langsung ditambal.
Kita masih bertanya-tanya apa perbaikan yang sudah dan tengah dilakukan terkait business process migas pasca-tertangkapnya Rudi Rubiandini. Apa pula perbaikan di Korlantas Polri pasca-ditangkapnya Djoko Susilo. Pertanyaan yang sama juga muncul atas kasus lainnya.
Jika dibiarkan, kondisi demikian akan menciptakan reproduksi korupsi, dengan asumsi lahirnya pemain-pemain baru yang menggantikan aktor yang ditangkap oleh penegak hukum tadi. Ibarat peribahasa, ”patah tumbuh hilang berganti”.
Perbaikan sistem ini memang bukan tugas penegak hukum secara keseluruhan. Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintah adalah pihak yang punya otoritas untuk mengatur dan menciptakan hukum.
Namun, KPK sebagai agen utama pemberantasan korupsi tentu harus memulai untuk menutup lubang sekaligus merekomendasikan perubahan kepada pengambil kebijakan agar pemberantasan korupsi dapat berjalan efektif dan masuk kepada level ”berhasil”.
Catatan di atas merupakan kritik terhadap KPK agar tidak cepat puas diri dengan kerja-kerja pemberantasan korupsi yang sudah dilakukan selama ini. PR masih banyak.
Donal Fariz, Anggota Badan Pekerja ICW Divisi Korupsi Politik
Tulisan ini disalin dari Kompas, 11 Desember 2013