Kualitas Pengadilan Tipikor Rendah; Seleksi Hakim Terburu-buru
Jaksa Tipikor Harus Dievaluasi
Rendahnya kualitas Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) bermula sejak dari hulunya, yakni dimulai dari sistem perekrutan hakim yang terburu-buru.
Akibatnya, banyak hakim ad hoc terpilih yang kurang memahami substansi hukum. Kondisi itulah yang salah satunya menyebabkan banyak pelaku korupsi divonis bebas oleh hakim Pengadilan Tipikor.
Padahal, Pengadilan Tipikor sangat strategis dalam upaya pemberantasan korupsi. Jika banyak tersangka korupsi divonis bebas, kepercayaan masyarakat kepada pengadilan otomatis merosot.
Demikian penilaian Komisioner Komisi Yudisial (KY) Suparman Marzuki, menanggapi desakan pembubaran Pengadilan Tipikor, kemarin.
“Kompetensi para hakim ini dipertanyakan. Bahkan ada laporan dari masyarakat, mereka (hakim) ada yang job seeker, daftar ke sana ke mari tidak diterima, dan ternyata akhirnya lolos menjadi hakim ad hoc Pengadilan Tipikor,” ujar Suparman di Gedung KY.
Menyikapi hal ini, menurut Suparman, penting dilakukan pertemuan antara Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga peradilan tertinggi pemegang kuasa kehakiman dengan KY, untuk membicarakan perekrutan hakim bersama-sama, khususnya hakim Pengadilan Tipikor.
“Kalau yang hakim ad hoc, kami dan MA akan bicarakan lagi,” katanya.
Seperti diketahui, Pengadilan Tipikor daerah belakangan ini menjadi sorotan publik akibat maraknya vonis bebas terhadap beberapa terdakwa kasus korupsi.
Pengadilan Tipikor Bandung secara beruntun memvonis bebas Eep Hidayat (Bupati Subang nonaktif), Ahmad Rukyat (Wali Kota Bogor nonaktif), dan Mochtar Mohammad (Wali Kota Bekasi nonaktif). Eep menjadi terdakwa kasus korupsi dana pungutan pajak, Rukyat diduga mengorupsi dana penunjang kegiatan DPRD, dan Mochtar menyuap auditor BPK.
Pengadilan Tipikor Surabaya bahkan mencatat rekor dengan membebaskan 21 terdakwa korupsi dalam 95 sidang. Yang paling menonjol adalah dibebaskannya terdakwa kasus lift Pemkot Surabaya, yakni Nur Wahyudi, Haryanto, Gatot Suryanto, Aulia Fitriati, dan Ananto Sukmono.
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Busyro Muqoddas, juga menilai bahwa sistem perekrutan hakim Pengadilan Tipikor daerah kurang memperhatikan bibit, bobot, dan bebet.
“Seperti mencari menantu, bibit, bobot, bebet ini penting,” ujar Busyro ketika memberikan kata sambutan dalam acara peluncuran buku biografinya di Gedung Komisi Yudisial (KY) Jakarta, Selasa (8/11).
Bibit, menurut Busyro, berarti menyangkut kualitas dasar seorang calon. Sementara bobot menggambarkan integritas seorang calon hakim.
Sedangkan bebet, ujarnya, adalah kapastias yang dimiliki seorang calon untuk melaksanakan tugas dan fungsinya. “Untuk rekrutmen hakim, terutama Pengadilan Tipikor, itu kurang diperhatikan,” katanya.
detail
Busyro menilai perlunya dirumuskan secara detail mengenai rekrutmen hakim yang baik di dalam UU Pengadilan Tipikor.
“UU Pengadilan Tipikor perlu direvisi, termasuk eksistensi Pengadilan Tipikor yang akhir-akhir ini menimbulkan banyak kontroversi. Yang terpenting adalah bagaimana rekrutmen penegak hukum itu,” paparnya.
Dia juga membandingkan perlu tidaknya perubahan UU Nomor 30/2002 tentang KPK dengan UU Nomor 46/2009 tentang Pengadilan Tipikor. Menurutnya, UU KPK tidak perlu direvisi, UU Tipikor yang harus dibenahi.
Busyro juga menyatakan, kasus korupsi di daerah yang sensitif bisa ditarik ke Pengadilan Tipikor Jakarta untuk mengantisipasi vonis bebas.
“Kasus sensitif, bisa ditarik ke Pengadilan Tipikor Jakarta,” kata Busyro.
Selain itu, menurutnya, pembentukan Pengadilan Tipikor dilakukan secara terburu-buru karena tuntutan UU Tipikor. Dampaknya, sumber daya hakim yang direkrut hasilnya buruk.
Akibatnya, ketika menjatuhkan putusan sering tidak cermat. “Sumber daya manusia Pengadilan Tipikor buruk karena ketidakjelasan konsep,” ungkap Busyro.
Untuk menghentikan kontroversi terhadap Pengadilan Tipikor, pihaknya menyarankan otoritas tertinggi, yakni Mahkamah Agung (MA), segera melakukan evaluasi. Tujuannya agar tidak semakin banyak putusan bebas dalam kasus korupsi yang menimbulkan kontroversi.
Meski begitu, pihaknya menyarankan MA duduk bersama dengan KY, KPK, Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM, dan Indonesia Corruption Watch (ICW) untuk mengkaji secara komprehensif sehingga eksistensi Pengadilan Tipikor tidak dipertanyakan lagi. “Semuanya harus duduk bersama merumuskan konsep evaluasi. Ini momentumnya tepat,” ujar Busyro.
Terpisah, Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso meminta, jaksa-jaksa yang menangani kasus korupsi di Pengadilan Tipikor daerah juga harus dievaluasi.
Menurutnya, sangat tidak adil jika vonis bebas terhadap terdakwa koruptsi hanya ditimpakan kepada hakim-hakim Pengadilan Tipikor. Sebab, kesalahan bisa jadi dari jaksa, seperti tuntutannya yang sengaja diperlemah atau melemahkan diri.
Priyo meminta Mahkamah Agung (MA) dan Kejaksaan Agung dengan upaya yang luar biasa mencari orang-orang terbaik untuk ditempatkan di provinsi yang terdapat Pengadilan Tipikor.
‘’Jadi, kekurangan di Pengadilan Tipikor saat ini, jangan kemudian membuat kita gelap mata dan menentang UU untuk membubarkan Pengadilan Tipikor,’’ ujar Priyo di Gedung DPR, Jakarta.
Sementara anggota Komisi III DPR, Bambang Soesatyo menyatakan, faktor penentu keberhasilan Pengadilan Tipikor di daerah adalah kemampuan institusi-institusi terkait dalam menempatkan dan menugaskan para hakim dan jaksa untuk menangani kasus-kasus Tipikor.
Politikus dari Fraksi Golkar ini menilai, gagasan membubarkan Pengadilan Tipikor daerah sebagai indikasi ada pihak tertentu yang ingin cuci tangan dari kegagalan mereka menempatkan hakim dan jaksa yang kredibel di daerah.
Ketua DPR RI Marzuki Alie menyatakan, wacana pemindahan Pengadilan Tipikor daerah ke Jakarta tidak diperlukan. Langkah seperti itu tidak mesti dilakukan hanya karena menurunnya kepercayaan masyarakat. “Kalau daerah kehilangan kepercayaan, apakah semua harus dikerjakan oleh pusat?” ujar Marzuki.
Menurut dia, semua pihak harus menghargai kinerja lembaga lain. Jika ada kesalahan, harus dicari pokok permasalahannya dulu.
“Kita harus menghargai semua profesi di republik ini. Kalau muncul masalah seperti di Pengadilan Tipikor itu, coba dicari di mana kesalahannya,” jelasnya.
Marzuki mengaku terkejut dengan desakan pembubaran Pengadilan Tipikor daerah hanya lantaran banyak terdakwa korupsi yang divonis bebas oleh hakim Tipikor.
Namun dia juga merasa heran mengapa hakim bisa memiliki standar berbeda dalam menerapkan undang-undang. “Saya tidak paham mengapa hakim punya standar berbeda dalam menerapkan hukum,” katanya.
“Yang penting adalah mencari solusinya. Jangan selalu menganggap daerah tidak becus atau selalu bermain uang. Bisa saja daerah yang benar, tapi bisa saja pusat yang benar. Yang pasti, tidak mungkin dua-duanya benar,” tegasnya.
Wacana pembubaran Pengadilan Tipikor daerah dilontarkan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD. Pekan lalu, Mahfud mengatakan, banyaknya vonis bebas terdakwa korupsi di daerah menjadi alasan kuat untuk membubarkan lembaga peradilan itu.
Sebelum Pengadilan Tipikor daerah dibentuk akhir 2010, tindak pidana korupsi yang ditangani KPK hanya diadili di Pengadilan Tipikor Jakarta, sementara kasus-kasus di daerah disidang di pengadilan umum. (D3,J22,H28-43)
Sumber: Suara Merdeka, 9 November 2011