Kuncinya Mendengar Keinginan Rakyat
Tema besar Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memberantas korupsi dan kemiskinan itu terasa nyata di Indonesia. Begitu banyak anggaran dikucurkan, begitu beragam program pengentasan orang miskin diluncurkan. Akan tetapi, jumlah orang miskin tidak berkurang signifikan.
Kalau sebelum krisis ekonomi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di bawah Rp 100 triliun dengan kasus kemiskinan 22 juta orang, saat ini APBN mencapai 12 kali lipatnya—Rp 1.200 triliun— dengan kasus kemiskinan 31 juta orang. Bahkan, jika menggunakan kriteria lain jumlahnya lebih besar lagi: 70 juta orang penerima beras untuk rakyat miskin dan pengguna jaminan kesehatan masyarakat.
Meskipun kajian literatur tak menunjukkan adanya hubungan langsung antara korupsi dan kemiskinan, korupsi memengaruhi upaya pengentasan orang miskin. Selain berkonsekuensi terhadap pertumbuhan ekonomi sehingga akhirnya terkait dengan tingkat kemiskinan, korupsi membuat alokasi anggaran tidak seluruhnya sampai ke sasaran.
Paling tidak temuan Indonesia Corruption Watch (ICW) bisa menjadi buktinya. Pada periode Januari-Juni 2010 saja ditemukan 176 kasus korupsi di pusat dan daerah dengan jumlah tersangka 411 orang dari berbagai latar belakang: pejabat negara, pegawai negeri, pengusaha, dan masyarakat umum. Semua ini berpotensi merugikan negara Rp 2.102.910.349.050 atau Rp 2 triliun ditambah Rp 102 miliar ditambah lagi Rp 910,3 juta!
Pemicu kemiskinan
Namun, korupsi bukanlah satu-satunya faktor penghambat penanggulangan kemiskinan. Berbagai studi menunjukkan ada faktor budaya dan struktural yang turut berperan, selain strateginya sendiri yang sering tidak efisien dan efektif.
Masyarakat desa dengan karakter komunal, yang masih memegang teguh kebersamaan, kolektivisme, dan relasi sosial, membuat budidaya pertanian lebih merupakan usaha kolektif untuk memenuhi kebutuhan hidup bersama. Akibatnya, mereka tidak memiliki modal kultural menghadapi sistem perekonomian modern seperti disiplin, etos kerja, dan asketisme duniawi.
Apa boleh buat, kemajuan petani memang bak evolusi: berlangsung
lambat sekali. Ditambah ketimpangan struktur, baik sosial, ekonomi, politik, maupun budaya, yang membuat petani tak dapat ikut memanfaatkan sumber-sumber pendapatan yang ada, lengkap sudah keterpurukan petani dalam belenggu kemiskinan.
Memang pemerintah tak kurang-kurang membuat berbagai kebijakan, tetapi upaya pengentasan orang miskin menjadi tidak efektif karena strateginya bias kota, jender, dan elite. Bias kota, karena sebagian besar pembangunan berlangsung di kota. Jika menggunakan ukuran produk domestik regional bruto (PDRB), tampaklah bahwa 11 dari 35 kabupaten-kota di Jawa Tengah yang PDRB-nya di atas rata-rata berlokasi di jalur beridentitas kota.
Penelitian lembaga analisis sosial Akatiga menunjukkan,
dalam Program Nasional Pemberdayaan masyarakat (PNPM)—upaya pemerintah menanggulangi kemiskinan secara masif—masih bias jender karena terbatasnya partisipasi kelompok perempuan. Mereka hanya terlibat dalam proses pembentukan kelompok simpan-pinjam perempuan, meski PNPM sudah diupayakan bisa mengakomodasi kepentingan perempuan.
Selanjutnya banyak program bias elite dan karitatif karena memang hanya dilandasi kepentingan pragmatis seperti kampanye pemilihan pemimpin. Tidaklah mengherankan bila kebanyakan program yang diluncurkan bersifat instan, jangka pendek, dan tidak memberdayakan penerimanya.
Program pemberdayaan
Selama ini pertumbuhan ekonomi dipercaya menjadi modal utama penanggulangan kemiskinan. Namun, pertumbuhan ekonomi saja ternyata tidak cukup. Dibutuhkan banyak unsur pendukung, terutama perubahan cara pandang, sehingga kendala kultural, struktural, dan segala bias yang menghambat upaya pemberdayaan orang miskin menjadi minimal.
Perubahan cara pandang yang paling mendasar adalah membuat program pengentasan yang mengakomodasi aspirasi masyarakat miskin itu sendiri. Sebagai konsekuensinya, maka pengkajian kebutuhan (need assessment) menjadi prosedur standar paling awal. Pengkajian harus melibatkan kelompok laki-laki maupun perempuan agar peluang usulan mereka sama besar.
Penelitian di sejumlah negara menunjukkan, partisipasi perempuan menentukan sukses tidaknya suatu program pemberdayaan. Usulan kredit mikro dari perempuan dan disalurkan kepada perempuan sebagai contoh, cenderung memiliki tingkat pengembalian yang lebih tinggi serta berkorelasi langsung dengan peningkatan kesejahteraan keluarga.
Meski demikian, tidak mudah menyiapkan masyarakat agar perempuan bisa menjadi subyek dalam pengambilan keputusan. Upaya pendampingan agar suara perempuan setara dalam rumah tangga saja, tak jarang menghadapi tantangan dari perempuan itu sendiri, keluarga, elite politik, maupun tokoh agama.
Bias kota bisa diatasi dengan pembangunan infrastruktur pedesaan. Hasil penelitian menunjukkan, ketersediaan infrastruktur—baik untuk jalan desa maupun pasar tradisional—berdampak nyata terhadap aktivitas ekonomi pedesaan.
Sedangkan bias elite dieliminasi dengan pemerataan pendidikan dan mendorong rakyat agar berani bersikap. Pendidikan juga berperan besar untuk mengubah hambatan kultural dan struktural agar bisa menangkap berbagai kesempatan.
Kunci sukses upaya pengentasan masyarakat miskin memang mendengarkan suara mereka kemudian mengaplikasikannya dalam program yang spesifik dan tidak masif. Tidak mudah, tetapi juga tidak mustahil dilaksanakan.
Sumber: Kompas, 10 Maret 2011