Kuning Tidak Transparan!
Dewan Perwakilan Daerah Partai Golkar Nusa Tenggara Barat menggugat aktivis Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) NTB Suhardi dan Komisi Informasi Daerah NTB pasca FITRA memenangkan sengketa informasi keuangan partai politik. Golkar juga menggugat ganti rugi Rp 1,053 miliar akibat merasa “harga dirinya diinjak-injak”.
Artinya, partai politik harus membuka laporan keuangannya karena termasuk informasi yang berhak diketahui publik.Pemohon Informasi Keuangan Parpol Dengan Ganti Kerugian Sebesar Rp 1,053 miliar.
Padahal, jika partai masih ingin mengklaim suara partai suara rakyat, sudah seharusnya partai memperbaiki diri. Salah satunya, dengan menumbuhkan pertanggungjawaban keuangan yang terbuka dan bisa mudah dilihat publik.
Golkar melawan balik
Gugatan ini cerminan perlawanan balik Golkar yang kalah di sidang sengketa informasi. Namun, lucunya gugatan yang di pengadilan negeri ini bukan hanya meminta pembatalan putusan komisi informasi, tapi menuntut ganti rugi uang dari aktivis FITRA dan KID NTB.
Sebagaimana diketahui, maraknya korupsi di negeri ini sebenarnya berakar dari pendanaan partai. Misal, keterlibatan kader-kader partai politik dalam sejumlah kasus korupsi yang diproses Komisi Pemberantasan Korupsi, sullit untuk tidak dikaitkan dengan upaya pengumpulan duit bagi partai.
Tertutupnya pengelolaan pendanaan partai juga memicu partai menjadi kanal praktek koruptif. Maka, upaya mendorong partai politik berbenah agar lebih transparan dan dapat dipercaya adalah langkah mencegah korupsi sejak awal.
Publik punya peran yang sangat strategis untuk membuat partai politik meningkatkan integritasnya. Salah satunya, meminta partai menyediakan laporan keuangan yang baik dan mencerminkan kondisi asli keuangan partai.
Kronologi
FITRA NTB berinisiatif melakukan permintaan informasi kepada seluruh partai politik yang ada di NTB. FITRA melakukannya untuk mendorong partai menjadi lebih bersih sekaligus mengukur sejauh mana partai membangun keterbukaan pada konstituennya.
Seluruh partai secara formal disurati untuk memberikan informasi keuangan, termasuk Partai Golkar. Informasi yang diminta terdiri dari:
1) Rincian laporan keuangan partai tahun 2011 dan 2012 (yang bersumber dari iuran anggota, sumbangan yang sah menurut hukum dan bantuan APBD).
a. Rincian neraca dan laporan realisasi anggaran
b. Rincian laporan arus kas dan catatan atas laporan keuangan
2) Rincian laporan program umum dan kegiatan partai tahun 2011 dan 2012
3) Struktur dan kepengurusan partai
Dalam proses permintaan tersebut, partai Golkar tampak enggan untuk menyerahkan informasi yang diminta. Padahal informasi tersebut merupakan informasi yang termasuk terbuka bagi publik. Hasilnya, FITRA NTB mengirimkan penyelesaian permintaan informasi kepada Komisi Informasi Daerah NTB.
Setelah proses mediasi tidak menemui titik temu, maka proses selanjutnya diteruskan kepada tahapan sidang ajudikasi.
Pada 23 Desember 2013, Komisi Informasi Daerah NTB lewat putusan bernomor 014/XII/KI-NTB/PS-A/2013 mengabulkan seluruh permohonan FITRA (pemohon) dan memerintah Partai Golkar untuk menyerahkan informasi yang diminta pemohon.
Pada tanggal 07 Januari 2014, DPD Golkar NTB menyerahkan informasi kepada pemohon. Informasi yang diberikan hanya terdiri atas 2 lembar dokumen. Isinya adalah daftar kegiatan Partai Golkar Tahun 2011 dan 2012, dan ringkasan penerimaan dan pengeluaran untuk pembiayaan kegiatan Partai Golkar NTB.
Setelah ditelaah, dokumen tersebut tidak sesuai dengan permintaan FITRA. Bukannya melengkapi, DPD Golkar NTB justru menggugat Suhardi dan KID NTB ke Pengadilan Negeri Mataram. Dalam gugatannya, penggugat merasa “harga dirinya telah diinjak-injak, nama baiknya telah dicemarkan, dan kehilangan kepercayaan publik sehingga menuntut ganti rugi semiliar lebih.
Salah kaprah
ICW dan FITRA mengungkapkan gugatan Golkar salah kaprah. Publik punya hak publik untuk meminta informasi kepada badan publik, dan partai politik termasuk dalam badan publik. Hak ini dijamin oleh Undang-undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, sebagaimana undang-undang ini mengamanatkan partai politik dikategorikan sebagai badan publik.
Sikap Golkar yang meminta ganti kerugian ini dipandang sebagai ketidaksiapan untuk terbuka dan transparan kepada publik, khususnya terkait pendanaan.
“Partai Golkar boleh jadi tidak paham hak-hak publik yang dijamin konsititusi untuk mendapatkan informasi dari badan publik. Langkah menggugat pemohon informasi merupakan sikap menolak keterbukaan informasi,” tutur Abdullah Dahlan, peneliti ICW pada konferensi pers di ICW kemarin (10/2).
Selain itu, ICW dan FITRA menilai Partai Golkar terkesan arogan atas kekuasaannya, dengan tidak menjalankan putusan komisi informasi sepenuhnya.
Oleh karena itu, ICW dan FITRA mendesak:
1. DPD Golkar NTB Bersikap transparan dan terbuka atas laporan keuangan partainya dengan menghormati putusan Komisi Informasi. Mereka harus transparan atas sumber pendanannya.
2. Gugatan DPD Golkar kepada pemohon informasi adalah salah alamat (error in persona). Upaya setiap masyarakat mendorong transparansi harus dihormati bukan justru dilawan.
3. Ketua Umum Partai Golkar, Aburizal Bakrie memerintahkan kadernya untuk mencabut gugatan kepada Pemohon Informasi dan Komisi Informasi.
Jika desakan ini tak dipenuhi, ICW dan FITRA akan menempuh langkah hukum atas gugatan yang mengancam kebebasan publik untuk mengakses informasi. Baik ICW dan FITRA meyakini “perlawanan dalam perjuangan mendorong transparansi badan publik harus akan kami lawan”.