Ladang Korupsi Pejabat
Proyek pengadaan barang dan jasa pemerintah, baik di daerah maupun pusat, dijadikan ”ladang” korupsi. Hal itu terlihat dari data kasus korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi sepanjang 2004-2010. Dari hampir 200 kasus yang ditangani, pengadaan barang dan jasa merupakan kasus yang terbesar, yaitu lebih dari 40 persen.
Wakil Ketua KPK M Jasin mengungkapkan hal itu dalam diskusi ”Korupsi Pengadaan Barang atau Jasa dan Strategi Pemberantasannya” di Jakarta, Rabu (9/2). ”Mereka bilang, ’Ah sedang sial saja kalau tertangkap’. Cara termudah mendapatkan uang untuk membayar utang biaya pemilihan kepada pihak swasta memang dari mark up pengadaan barang dan jasa,” kata Jasin.
Dalam diskusi yang menandai peluncuran Program CLEANING antara Siemens dan Kemitraan itu, Jasin menyebutkan, dari 196 kasus yang ditangani KPK sejak 2004 hingga 2010, 86 di antaranya adalah kasus korupsi pengadaan barang dan jasa (43 persen). Kasus terbesar kedua adalah penyuapan, yang mencapai 57 kasus (29 persen), disusul penyalahgunaan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah yang mencapai 31 kasus (15 persen). Sisanya adalah kasus perizinan dan pungutan.
Kasus-kasus itu melibatkan semua instansi, mulai dari DPR, pemerintah provinsi, kementerian atau lembaga, badan usaha milik negara atau daerah, komisi-komisi, hingga pemerintah kabupaten/kota. Menurut Jasin, korupsi pengadaan barang itu terjadi mulai dari barang yang terlihat remeh-temeh hingga barang-barang yang bernilai tinggi.
”Kami menangani mulai kasus sarung hingga helikopter. Dalam berbagai proyek, yang terjadi bukan bocor, tetapi ambrol. Misalnya, nilainya mencapai Rp 400 triliun, Rp 100 triliun bisa bocor buat pesta orang-orang di sekitar pengadaan barang,” tutur Jasin.
Contoh kasus yang ditangani KPK pada 2004 adalah kasus pengadaan helikopter yang dibeli dari Rusia di Aceh. Kemudian pada 2005 kasus berupa pengadaan bus pada proyek busway di Jakarta, pada 2006 kasus pengadaan kotak suara pemilu, serta tahun 2007 di antaranya berupa kasus pengadaan alat automatic fingerprint identification system (AFIS) pada Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Hukum dan HAM.
Jasin menambahkan, maraknya korupsi pengadaan barang dan jasa itu bisa terjadi lantaran kolusi antara panitia lelang dan rekanan, antara sesama rekanan, monopoli dan premanisme, serta kurangnya akses publik ke pasar pengadaan barang. Selain itu, juga karena kurangnya integritas panitia, tidak transparan dan akuntabel, serta penyalahgunaan wewenang.
Djimanto, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), mengakui, pengusaha terkadang harus menjamu pejabat atau panitia lelang pengadaan barang di daerah untuk memenangi tender. ”Terkadang harus memberi, untuk mengakalinya kadang dimasukkan ke dana CSR (corporate social responsibility),” katanya.
Jasin menyatakan, masyarakat atau pengusaha yang merasa diperas pejabat saat mengikuti lelang pengadaan barang dan jasa tidak perlu takut untuk melaporkan ke KPK. (RAY)
Sumber: Kompas, 10 Februari 2011