Lagi, Empat Anggota DPR Tersangka Suap

Terima Rp 500 Juta karena Memilih Miranda Goeltom

Dugaan adanya suap di balik terpilihnya Deputi Gubernur Senior (DGS) Bank Indonesia (BI) Miranda Swaray Goeltom lima tahun lalu terus ditelusuri Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga superbodi itu telah menaikkan status penanganan perkara tersebut menjadi penyidikan. Hasilnya, kemarin mereka menetapkan empat tersangka.

Mereka adalah para anggota DPR periode 2004-2009 dan mantan anggota DPR periode 1999-2004. Ketika kasus suap itu terjadi, mereka sama-sama duduk di Komisi IX DPR yang membidangi keuangan dan perbankan. Empat orang tersebut, pertama, Hamka Yandhu. Kader Partai Golkar itu saat ini sedang menjalani hukuman tiga tahun penjara atas kasus aliran dana BI Rp 100 miliar.

Kedua, Dudi Makmun Murad dari FPDIP yang saat ini duduk di Komisi XI DPR. Ketiga, Endin A.J. Sofihara dari FPPP yang saat ini juga duduk di Komisi XI DPR. Tersangka keempat adalah Uju Djuhaeri. Ketika kasus itu terjadi, dia anggota Fraksi TNI-Polri dan kini dia menjadi anggota BPK (Badan Pemeriksa Keuangan).

Penetapan empat tersangka baru itu sebenarnya dilakukan Senin lalu (8/6). Namun, KPK baru mengumumkan ke publik kemarin (9/6). Mereka harus bertanggung jawab karena diduga menerima traveler's check dalam pemilihan DGS Bank Sentral Miranda Swaray Goeltom.

Wakil Ketua KPK M. Jasin mengungkapkan bahwa peningkatan status tersebut disebabkan penyidik telah menemukan dua alat bukti yang cukup kuat. "Berdasar alat bukti traveler's check dan keterangan beberapa orang saksi," kata Jasin kemarin. KPK mengungkapkan, keempat tersangka itu masing-masing menerima Rp 500 juta.

Mereka, lanjut Jasin, dituding melanggar pasal 5 (2), pasal 11 dan 12 b UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Aturan ini mengatur sanksi bagi penyelenggara negara yang menerima hadiah dari pihak lain terkait dengan jabatan atau kewenangannya.

"Kalau semua penerima suap ditotal, jumlahnya sekitar Rp 24 miliar," ungkap alumnus Universitas Brawijaya, Malang, tersebut. Nilai Rp 24 miliar itu diwujudkan dalam bentuk 400 lembar lebih traveler's check, masing-masing bernilai Rp 50 juta.

Lantas, siapa saja tersangka lainnya? Ini yang masih ditelusuri lebih lanjut oleh KPK.

Seperti diberitakan sebelumnya, pemilihan DGS BI dilakukan oleh Komisi IX DPR pada 2004. Saat itu, di antara 50 anggota komisi IX, 41 orang memilih Miranda. Miranda pun lantas menjabat DGS BI.

Agus Condro dari FPDIP-lah yang pertama mengungkap adanya suap di balik terpilihnya Miranda tersebut. Bahkan, dia sendiri mengaku mendapat Rp 500 juta. Agus pun saat itu melapor ke KPK.

Tapi, penindaklanjutan laporan Agus terkesan lambat. KPK tidak segera menentukan pihak yang harus bertanggung jawab dalam kasus tersebut. Ketua KPK yang saat itu dijabat Antasari Azhar pun mengaku kesulitan menemukan motif pemberian cek dalam skandal tersebut.

Ketua PPATK (Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan) Yunus Husein saat itu sampai melontarkan protes terhadap KPK. Dia menilai ada conflict of interest dalam penanganan kasus itu, yakni benturan penegakan hukum dan kepentingan yang lain.

Ternyata, KPK tidak tinggal diam dalam merespons nyanyian Agus Condro itu. Setidaknya, mereka kemarin sudah menetapkan empat tersangka.

Selain menjaring para penerima cek perjalanan tersebut, KPK tak mendiamkan pemberi dana. Dia berinisial N dan sudah pernah diperiksa penyidik terkait kasus itu. "Duit dari dia (N). Sebagaimana biasa, KPK pasti menangani penerima dan pemberi," ungkapnya. Namun hingga kini, N masih sebatas saksi. "Kalau bisa dijerat, tentu akan dikenakan pasal 5 (1) UU Pemberantasan Tipikor," ujarnya. Soal siapa N, KPK masih menyimpan rapat nama tersebut.

Terkait kasus itu, KPK sebenarnya sudah pernah memeriksa Nunun Nurbaiti Daradjatun September tahun lalu. Dia adalah istri mantan Wakapolri Adang Daradjatun. Nunun dianggap mengetahui aliran cek tersebut. Pertanyaan penyidik kala itu menyangkut penyerahan-penyerahan cek.

Bukan hanya itu, jauh sebelumnya, komisi juga telah mencekal Direktur Utama PT First Mujur Budi Santoso dan Direktur Utama Bank Artha Graha Internasional Andy Kasih. Pencekalan juga dilakukan terhadap pihak swasta Hidayat Sulaiman. Pencekalan berlaku setahun sejak 28 September 2008 hingga 25 September tahun ini.

Bagaimana dengan penyedia dana? Jasin mengungkapkan, semua hal tersebut akan terungkap dalam pemeriksaan di KPK. "Pasti semuanya terungkap di persidangan," jelasnya. Termasuk, anggota DPR lain yang harus bertanggung jawab.

Jasin juga menepis anggapan bahwa berlarutnya penanganan kasus itu disebabkan KPK kesulitan menemukan alat bukti. "Yang terang, selama ini tidak ada masalah," ucapnya.

Di bagian lain, Agus Condro ketika dikonfirmasi soal penetapan empat tersangka itu mengaku senang. Menurut dia, penetapan empat tersangka itu menjadi pintu gerbang bagi KPK untuk masuk dan mengungkap kasus tersebut sampai tuntas. (git/fal/pri/kum)

Sumber: Jawa Pos, 10 Juni 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan