Laks Bantah Rugikan Negara; Soal Penjualan Dua Tanker Pertamina
Temuan KPPU (Komisi Pengawasan Persaingan Usaha) bahwa penjualan dua kapal tanker Pertamina kepada Frontline Ltd merugikan negara hingga USD 56 juta dibantah Laksamana Sukardi. Menurut Laks, penjualan tanker raksasa jenis VLCC (very large crude carrier) itu sudah sesuai prosedur karena telah mendapat persetujuan menteri keuangan yang ketika itu dijabat Boediono.
Penjualan tanker itu sesuai prosedur. Sudah ada persetujuan dari menteri keuangan, terang Laks di Kantor Balitbang PDIP, Jakarta, kemarin.
Pernyataan bernada bantahan ini kali pertama disampaikan Laks kepada publik sejak KPPU merilis temuannya pada 2 Maret lalu.
Laks mengatakan, temuan KPPU yang menyebutkan adanya kekurangan pembayaran dari pihak Frontline Ltd USD 13,1 juta karena KPPU belum memahami prosedur pembayaran yang disepakati Pertamina dengan Frontline. Yaitu, Frontline melakukan pembayaran secara bertahap. Mekanisme ini adalah inovasi saat pengambilalihan pesanan.
Seperti kalau kita indent mobil Kijang, kita udah bayar down payment. Setelah ada DP, kan bisa dibayar dengan kredit, kata Laks. Itu saja sudah dinilai salah. Jadi, kalau dikatakan ada kerugian negara, kerugian negara yang mana? Tidak bisa hanya berdasar pada asumsi-asumsi dengan harga patokan tertentu. Sebab itu sudah ditenderkan, lanjut mantan menteri yang juga politikus PDIP itu.
Menurut temuan KPPU, hingga kini Frontline Ltd belum membayar secara penuh kepada Pertamina atas pembelian dua unit VLCC tersebut. Padahal, sesuai perjanjian dalam Sales and Purchase Agreement (SPA) antara Pertamina dan Frontline Ltd, total pembayaran adalah USD 184 juta untuk dua tanker tersebut. Frontline hanya membayar USD 170,9 juta, atau masih terdapat sisa pembayaran USD 13,1 juta.
Laks menilai ada misinformasi antara pihak Pertamina yang melakukan penjualan tanker dengan KPPU sebagai pihak yang punya otoritas memeriksa. Untuk menyelesaikan kesalahpahaman ini, Laks siap membahas sekaligus mengklarifikasi dengan KPPU dan KPK. Kita memang harus duduk bersama. Saya siap diklarifikasi atau diperiksa KPK dan KPPU. Tidak masalah, saya siap, tuturnya.
Seperti diketahui, KPPU memutuskan Pertamina telah bersalah dan melanggar pasal 19 huruf d dan pasal 22 dari UU No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Putusan tersebut terkait proses divestasi dua tanker kepada Frontline.
Pertamina juga dianggap telah melakukan persekongkolan dengan menunjuk Goldman Sachs (Singapore) Pte, guna memenangkan Frontline sebagai pemenang tender penjualan dua unit VLCC yang dipesan di Hyundai Heavy Industries, Korsel, tersebut. Goldman Sachs sendiri ditunjuk sebagai penasihat keuangan (financial advisor) dan arranger tanpa melalui proses tender.
Menurut Majelis Komisi KPPU, terdapat tiga bukti adanya persekongkolan itu. Yakni, keduanya memberi kesempatan kepada Frontline melalui brokernya, Equinox, yang merupakan perusahaan pelayaran, untuk memasukkan penawar ketiga ketika batas waktu penawaran telah ditutup.
Akibat persekongkolan tersebut, menurut Majelis Komisi KPPU, telah terjadi kerugian sekitar USD 20 juta - USD 56 juta. Sebab, hasil penjualan 2 VLCC yang masing-masing memiliki bobot 260 ribu DWT itu hanya mencapai USD 184 juta, sementara harga pasar untuk keduanya saat itu USD 204 juta - USD 240 juta.
Laks siap memberikan keterangan kepada KPK dan KPPU soal ini. Dia berpendapat, selama menjabat komisaris utama Pertamina, dirinya sudah melakukan corporate action yang benar. Pertama, meminta jajaran direksi dan komisaris Pertamina kembali kepada bisnis inti Pertamina. Ini sesuai dengan amanat UU Migas baru
Kedua, penjualan tanker itu untuk membantu keuangan Pertamina. Ini karena saat itu cash flow Pertamina dan pemerintah ada masalah, apalagi subsidi minyak semakin meningkat. Jadi, kita putuskan tanker kita jual saja. Apalagi, saat itu tanker Pertamina mau diambil oleh lawyer-nya KBC (Karaha Bodas). Rencana pengambilan tanker oleh KBC itu ada suratnya, ungkap mantan banker Citibank itu.
Ketiga, penjualan tanker untuk mendapatkan keuntungan. Dari keuntungan itu, Pertamina bisa membuat hingga enam kapal. Tapi, kalau ada dua tanker besar, siapa yang mau mengelola? Nah, inilah satu kebijakan korporasi. Jadi, keputusan penjualan itu justru menguntungkan Pertamina, paparnya.
Soal adanya kerugian negara, mantan bendahara PDIP ini menjelaskan, sebenarnya harga pasar yang USD 204 juta - USD 240 juta itu harga untuk tanker standar yang berbobot 300 ribu DWT. Padahal, tanker Pertamina (yang dijual) itu bobotnya di bawah 300 ribu DWT. Gitu lho, jelasnya. Laks juga menyanggah bahwa kontrak bisa dibatalkan. Sebab, saat itu menkeu mengizinkan penjualan tanker diteruskan. (arm/yun)
Sumber: Jawa Pos, 13 Maret 2005