Laporan Akhir Tahun 2007; Penegakan Hukum yang Masih Redup
Menyimak berbagai drama penegakan hukum sepanjang tahun 2007, lagi-lagi publik dibuat kecewa. Proses hukum sering kali harus tunduk pada arus kepentingan elite penguasa dan tersamarkan dalam spekulasi politik serta kepentingan pemilik kapital.
Banyak kasus yang berlangsung dari tahun-tahun sebelumnya tak kunjung juga selesai tertangani tahun ini. Penyelesaian kasus pembunuhan aktivis hak asasi manusia (HAM), Munir, sepertinya buntu mengungkapkan aktor intelektual di baliknya. Hiruk-pikuk penanganan korupsi pun masih banyak mewarnai wacana penegakan hukum dengan berbagai spekulasi politik di belakangnya. Bahkan, penghujung tahun ini pun ditutup dengan kontroversi proses pemilihan anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dituding sarat dengan kepentingan politik menjelang Pemilu 2009.
Selain itu, proses penyelesaian kasus luapan lumpur di Sidoarjo, Jawa Timur, yang berlangsung lebih dari tiga tahun pun masih menjadi sorotan dalam wacana hukum tahun 2007. Hasil jajak pendapat Kompas yang diselenggarakan pada 12-13 Desember menunjukkan kekecewaan mayoritas publik atas kinerja lembaga hukum di negeri ini.
Kosmetik
Semangat pemberantasan korupsi sering kali dituding hanya dijadikan sebagai kosmetik penegakan hukum. Upaya yang dilakukan lembaga penegak hukum tak dapat memuaskan harapan masyarakat ketika hukum harus dihadapkan pada kekuatan politik. Drama penyelesaian perkara korupsi kasus pengumpulan dana nonbujeter di Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), misalnya, terhenti pada aktor di jajaran DKP.
Klimaks dari kasus itu terhenti melalui vonis terhadap mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri. Rokhmin dihukum tujuh tahun penjara dan denda Rp 200 juta. Sejumlah aktor politik, seperti mantan calon presiden pada Pemilu 2004, sejumlah anggota DPR, serta sejumlah mantan menteri, yang terseret dalam skandal kasus ini bisa bebas dari penyidikan.
Mantan Ketua MPR Amien Rais mengakui menerima kucuran dana itu. Dia bahkan menyatakan siap menjadi tersangka dan dihukum. Saat itu Amien mengimbau calon presiden dari partai lain pada Pemilu 2004 agar jangan berkelit karena mereka juga menerima dana tersebut. Ini tentu saja menyulut kegelisahan elite, termasuk Presiden Yudhoyono yang langsung menolak tuduhan Amien itu.
Alih-alih penyidikan lebih lanjut, kasus ini justru menjadi perselisihan antarindividu yang terselesaikan dalam pertemuan 12 menit di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, akhir Mei lalu. Amien dan Yudhoyono pun sepakat untuk mengakhiri konflik politik dan meneruskan silaturahim.
Kasus lain adalah perkara korupsi alat sidik jari di Departemen Hukum dan HAM. Reaksi mantan Menhuk dan HAM Yusril Ihza Mahendra atas kasus yang menyeret namanya itu adalah dengan melakukan serangan balik terhadap KPK. Yusril berargumen, jika ia dinilai korupsi dalam skandal alat sidik jari, proyek pengadaan alat sadap oleh KPK pun dianggap korupsi.
Kasus ini pun tuntas di ruang lobi ketika Presiden Yudhoyono mempertemukan Yusril dengan Ketua KPK Taufiequrachman Ruki dalam rapat kabinet koordinasi terbatas. Penyelesaian hukum atas kasus itu berakhir dengan vonis dua tahun penjara terhadap mantan Sekjen Dephuk dan HAM Zulkarnain Yunus dan Pemimpin Proyek Apendi yang divonis tiga tahun.
Upaya penyelesaian dengan memanfaatkan ruang politik telah mencabut substansi permasalahan, yaitu penuntasan perkara korupsi. Perjuangan menegakkan hukum seolah pupus di tengah lobi politik antarelite yang bekerja demi pelanggengan kekuasaan. Kepentingan kekuasaan seolah-olah menjadi lebih utama ketimbang pembuktian hukum atas berbagai kasus itu.
Ini seolah menguatkan paradigma, politik cenderung memusatkan kekuasaan di tangan segelintir elite dengan memonopoli alat kekuasaan demi tercapainya kepentingan-kepentingan politik mereka. Tak heran jika kemudian terjadi penyelewengan prinsip hukum dalam proses mencapai dan mewujudkan kepentingan politik.
Masalah korupsi yang menggurita di negeri ini memang membuat frustrasi sebagian pihak. Nyaris sepuluh tahun setelah reformasi, upaya modernisasi dan pelengkapan lembaga hukum terbukti tidak mampu memberantas korupsi. Pencurian uang negara bukannya dapat ditebang habis, tetapi malah semakin parah.
Masih banyak lagi drama politik yang melingkupi upaya penyidikan kasus korupsi yang melibatkan elite yang memegang kekuasaan. Kasus itu tidak jelas akhir penyelesaiannya, di antaranya skandal aliran dana Bank Indonesia (BI) ke sejumlah anggota DPR dan kasus korupsi dana ASABRI yang diduga melibatkan sejumlah mantan perwira tinggi TNI.
Menyaksikan berbagai drama penyelesaian kasus korupsi menggiring apatisme masyarakat atas kinerja penegak hukum. Dalam jajak pendapat Kompas, tercatat 70,2 persen menyatakan tidak puas dengan upaya pemerintah dalam menangani kasus korupsi.
Empati semu
Pada 24 Juni 2007 Presiden Yudhoyono menangis saat mendengar paparan mengenai masalah yang dialami korban lumpur Lapindo. Saking terharunya, Presiden berjanji untuk turun gunung. Dua hari kemudian, janji ini ditepati dengan memindahkan ruang kerjanya ke Wisma Perwira Pangkalan Udara Angkatan Laut Juanda, Surabaya. Alasan Presiden saat itu adalah agar bisa meninjau langsung lokasi lumpur panas.
Pertunjukan empati Presiden kepada korban seolah tak bermakna apa-apa jika dihadapkan pada realitas keputusan hukum atas kasus ini berseberangan dengan harapan mereka yang telah tercerabut hak hidupnya.
Dalam kasus Lapindo, terbit Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007. Dalam peraturan itu, korban Lapindo dipaksa menerima 20 persen pembayaran transaksi jual beli harta dan sisanya dibayarkan dua tahun kemudian tanpa bunga. Melalui peraturan ini juga ditegaskan, biaya penanggulangan dibebankan pada negara. Namun, dalam kasus ini negara dianggap gagal menegakkan supremasi hukum dengan tidak menyeret aktor korporat yang menjadi sumber bencana di Sidoarjo itu.
Sekali lagi masyarakat harus menghadapi empati semu dari elite politik tatkala interpelasi yang awalnya diusung 226 anggota dari sembilan fraksi di DPR gagal dalam rapat Badan Musyawarah DPR. Di akhir sidang tinggal fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) dan Fraksi Kebangkitan Bangsa (F-KB) yang tetap bersikukuh mengajukan interpelasi.
Begitulah, publik masih belum bisa berharap banyak. Penegakan hukum sepanjang tahun ini tersamar di ruang gelap politik. (Litbang Kompas)
Suwardiman
Sumber: Kompas, 24 Desember 2007