Lebih 60 Persen Calon Kepala Daerah Terlibat Korupsi
Lebih dari 60 persen calon kepala daerah yang akan mengikuti pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung diduga terlibat praktik tindak pidana korupsi.
Menariknya, sebagian besar nama kandidat kepala daerah didominasi oleh para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPR), para mantan bupati atau wali kota, dan para birokrat yang sebelumnya terindikasi melakukan tindak pidana korupsi.
Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) tidak bisa mendiskualifikasi nama calon-calon tersebut karena belum ada keputusan hukum tetap dari pengadilan atau pihak yang berwenang.
Demikian Sekretaris Jenderal (Sekjen) Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Sebastian Salang, kepada Pembaruan di Jakarta, Selasa (29/3), tentang hasil penelitian lembaga tersebut di 17 kabupaten/kota di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur (NTT).
Menurut Sebastian, hasil penelitian lembaganya mengindikasikan bahwa pilkada di satu pihak sangat positif sebagai inovasi dalam berdemokrasi, tapi di pihak lain menjadi bencana yang akan menambah terpuruknya bangsa ini.
Lebih dari 80 persen masyarakat tertarik dengan pilkada langsung. Mereka berharap, pilkada langsung bisa mengubah kondisi daerah mereka yang selama ini terabaikan dalam hal pembangunan baik fisik maupun nonfisik.
Sayangnya, harapan rakyat itu tidak seiring dengan kerja keras pemerintah dalam menyosialisasikan pilkada langsung tersebut.
Pasalnya, lebih dari 60 persen masyarakat di 17 daerah kabupaten/kota yang diteliti mengaku belum mendapat informasi yang memadai tentang pelaksanaan pilkada secara jelas.
Tugas KPUD untuk memberikan sosialisasi pilkada belum dilakukan sama sekali. Alasannya dana sosialisasi belum cair. Tapi ironisnya, yang ramai di daerah-daerah saat ini bukan sosialisasi seperti diharapkan, tetapi perebutan kendaraan politik oleh masing-masing calon, kata Sebastian.
Dari pemantauan Formappi, perebutan kendaraan politik para calon kepala daerah ini membuat suhu politik meninggi.
Para elite politik daerah bertarung sekuat tenaga mencari kekuasaan dan melepaskan kepentingan dan harapan rakyat banyak.
Di Sumatera Utara misalnya, spanduk-spanduk dipasang di mana-mana. Namun bukan untuk menyosialisasikan pelaksanaan pilkada langsung, tapi mempromosikan kepentingan Pemerintah Daerah (Pemda) dan orang-orang yang dijagokannya.
Mereka-mereka yang bertarung sebagian besar adalah pejabat dan mantan pejabat pemerintahan yang nota bene diindikasi terlibat berbagai praktik tindak pidana korupsi. Mereka sangat terkenal di daerah pemilihannya bukan karena telah melakukan sesuatu yang positif untuk daerahnya, tapi karena nama mereka sering muncul di koran-koran lokal sebagai para pelaku tindak pidana korupsi dan berbagai praktik tidak terpuji lainnya yang merugikan keuangan negara.
Ancaman
Menurut Sebastian, fenomena tersebut menjadi ancaman sangat besar untuk masa depan bangsa dan negara ini, mengingat pilkada adalah pengalaman pertama sejarah demokrasi di Indonesia. Tapi tidak akan bermakna jika orang-orang yang dipilih nantinya adalah para koruptor.
Sulit dibayangkan bagaimana nasib bangsa ini ke depan. Karena setelah pilkada nantinya, bangsa ini telah memiliki para pemimpin korup yang membuat masalah di daerah-daerah. Kondisi tersebut menjadi tantangan tersendiri buat Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam memberantas korupsi.
Jika Presiden Yudhoyono menepati janjinya memberantas korupsi di segala bidang, maka ia harus mengeluarkan instruksi bahwa semua pejabat atau mantan pejabat yang terindikasi melakukan tindak pidana korupsi tidak boleh mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau wali kota, katanya. (L-8)
Sumber: Suara Pembaruan, 30 Maret 2005