Legalistik dan Mengambang
Dua hal saya sampaikan dalam pertemuan dialog Presiden dan para pemimpin media di Istana Negara, Minggu (22/11) malam, yaitu pola pikir legalistik formal yuridis dan sikap mengambang.
Sejak kasus ”cicak lawan buaya” menjadi isu nasional, amat jelas, kita telah disandera pikiran legalistik. Kita menjadi tawanan legalistic mind. Sikap dan tindakan kita dipengaruhi secara kaku dan berlebihan.
Akibatnya, kecil ruangan bagi hal yang lebih utama, yakni kehidupan dengan nilai-nilainya yang berharga seperti keadilan dan kebenaran. Makin jelas bila mengamati perseteruan di kalangan lembaga penegakan hukum, bagaimana pikiran legalistik dinomorsatukan atas kerugian keadilan sosial. Kebenaran menjadi korban.
Mengapa sampai begitu? Bangsa Indonesia sebetulnya kurang punya bakat untuk legalistic mind, dibandingkan dengan bangsa Jerman atau Jepang yang memperlihatkan sifat legalistiknya dalam urusan dagang, investasi, kontrak, dan sebagainya. Bukti gejala legalistik kita ialah ramainya diucapkan istilah seperti: supremasi hukum, fakta hukum, proses hukum, koridor hukum, prosedur, mekanisme, sistem, dan lain-lain. Kita menafsirkannya dengan subur dan keadaan ini menyesakkan dada.
Mengambang
Ada pemeo berbunyi, ”12 ahli hukum (pengacara), 13 pendapat (opini)”. Apabila gejala legalistik dibiarkan berlanjut, kita bisa masuk jalan buntu, suatu cul-de-sac. Karena itu, perlu ada orang yang muncul untuk mengucapkan kata yang membebaskan kita dari penyanderaan legalistik.
Belakangan, istilah yang banyak digunakan adalah mengambang. Media menulis misalnya: Presiden SBY mengambang. Setelah rapat dengar pendapat Komisi III DPR dengan Kepala Polri, media memberitakan: Kepolisian mengambang. Menyusul Kejaksaan mengambang. Kemudian DPR mengambang. KPK mengambang. Setelah Tim Delapan menyelesaikan perumusan yang berkata: Ya, juga media mengambang! Kalau ini terus berjalan demikian, sampailah kita pada keterangan: Indonesia mengambang.
Gejala ini jelas tidak bagus dan harus dihentikan. Maka, perlu dibuat jangkar, di mana bahtera bangsa berteduh saat ombak besar untuk kemudian melanjutkan pelayaran bila badai berlalu.
Harapan
Siapakah orang yang akan mengucapkan kata yang memerdekakan kita dari penyanderaan legalistik? Siapakah yang bisa menghentikan gejala mengambang, membuat kita terapung- apung tanpa arah, pasrah pada tiupan angin musim? Jawabnya, Presiden. Tidak ada orang lain yang bisa mengatasi gejala pola pikir legalistik kaku serta gejala mengambang itu, tetapi Presiden Yudhoyono.
Harapan inilah yang saya sampaikan dalam pertemuan silaturahim Presiden dengan para pemimpin redaksi media, Minggu malam. Keesokan malamnya, (23/11), Presiden memberi respons atas rekomendasi Tim Delapan dalam sebuah tayangan TV secara nasional. Reaksi publik beragam. Mulai dari kecewa, sebagaimana dikatakan generasi muda yang menonton bareng pidato SBY, melalui penilaian pidato jurus tanpa bentuk menurut pendapat para aktivis, terus melalui ketua Tim delapan yang mengatakan, meski berputar-putar, tetapi arahnya jelas, sampai kepada advokat penguasa hukum yang bilang masih bingung, atau kata Chandra tunggu satu dua hari lagi bagaimana pelaksanaannya oleh pihak Polri dan Kejaksaan Agung, atau pernyataan Bibit yang jelas, yaitu kembalikan kami ke pimpinan KPK.
Pertanyaan timbul, apakah masih relevan kesan pengamatan saya mengenai tersanderanya kita oleh pikiran legalistik berlebihan dan sikap mengambang setelah respons Presiden tadi?
Kendati bisa timbul kesan bahwa Presiden tidak berbicara secara eksplisit, tidak menyebutkan tegas tentang beberapa hal yang tertera dalam rekomendasi Tim-8, saya belum kecewa dan tetap punya kepercayaan terhadap Presiden. Ada peribahasa Belanda: Een goed verstaander heeft maar een half woord nodig (Orang yang pandai memahami, membutuhkan separuh perkataan), artinya tahu berbuat apa yang diharapkan dari dia.
Di dalam ini termasuk mengambil aneka tindakan sanksi, memberkahi keadaan internal institusi masing-masing, membasmi mafia hukum di peradilan dan para makelar kasus yang berkeliaran, demi meningkatkan usaha pemberantasan korupsi dan memperkokoh daya gempur KPK, bahkan secara bertaat asas kalau perlu melaksanakan pembersihan terhadap diri serta posisi sendiri, demi mengembalikan kepercayaan rakyat kepada lembaga-lembaga yang telah dipandang rendah.
Semua itu untuk melaksanakan creative destruction, sebuah istilah dari Prof Muladi dalam seminar hukum The Habibie Center yang saya tidak tahu apa maknanya, tetapi secara harfiah saya artikan ”penghancuran yang kreatif”.
Demikianlah adanya bila kita ingin menghancurkan isu ”cicak lawan buaya”.
Rosihan Anwar Wartawan Senior
Tulisan ini disalin dari Kompas, 25 November 2009