Lobi DPR di Hotel Dinilai Rawan Penyimpangan

"Lobi itu kan tanpa sepengetahuan publik, sehingga susah dipantau. Rawan penyimpangan," katanya saat dihubungi kemarin.

Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia Teten Masduki menilai pertemuan informal dan lobi-lobi para wakil rakyat di luar gedung Dewan rawan penyimpangan. "Lobi itu kan tanpa sepengetahuan publik, sehingga susah dipantau. Rawan penyimpangan," katanya saat dihubungi kemarin.

Dia menambahkan, dalam banyak kasus, lobi-lobi semacam itu telah berujung pada kasus suap dan kesepakatan yang merugikan kepentingan publik. "Terbukti lebih banyak mudaratnya," kata Teten. Dia mengusulkan agar DPR membuat aturan tegas mengenai lobi. "Badan Kehormatan juga harus lebih tegas menindak," katanya. "Perlu juga ada komitmen partai, karena ini terkait citra mereka."

Persoalan lobi dan pertemuan antara wakil rakyat dan mitranya dari pemerintah maupun swasta jadi sorotan lagi setelah terungkapnya kasus suap terhadap Abdul Hadi Djamal, anggota Komisi Perhubungan Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam pemeriksaan, Hadi menyebut sebuah pertemuan di Hotel Ritz Carlton, Jakarta, pada pertengahan Februari 2009, sebagai bagian dari rangkaian kasus suap ini.

Ketua Badan Kehormatan DPR M. Irsyad Sudiro mengaku pihaknya mengalami kesulitan mengawasi dan mengontrol lobi serta pertemuan para anggota Dewan dengan mitra kerjanya. Sebab, katanya, masalah ini tidak diatur dalam Undang-Undang Susunan Kedudukan, Tata Tertib, maupun Kode Etik.

"Lobi biasanya merupakan upaya menyatukan persepsi dan pematangan konsep," kata Irsyad. "Itu hak politik, kami tidak bisa campur tangan."

Dia mengakui ada potensi penyimpangan dalam pertemuan lobi. Namun, Irsyad menjelaskan, hanya pertemuan bersifat formal yang diatur dalam Tata Tertib DPR.

Irsyad menjelaskan, selama ini merupakan hal biasa bila para anggota Dewan bertemu membahas hal tertentu di luar gedung DPR. Misalnya di rumah makan, lobi hotel, dan tempat lain yang lebih nyaman.

"Mereka ingin menghilangkan kesan formal dan lebih santai bertukar pikiran," katanya. "Di negara lain, hal seperti ini justru dilegalisasi. Hanya saja lebih terbuka." EKO ARI WIBOWO | TOMI ARYANTO

Sumber: Koran Tempo, 19 Maret 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan