Lobi Pejabat, Pelanggeng Korupsi
Bagir Curhat pada Jakgung
Bagir Curhat pada Jakgung. Demikian headline salah satu harian yang terbit di Jakarta (Jumat, 14/10). Judul berita itu bisa dengan mudah ditebak merupakan sentilan atas gerak dan upaya Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan yang bertemu dengan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh. Mereka membicarakan kasus mafia peradilan di MA yang kini sedang mencuat dan Bagir Manan dikabarkan sebagai salah satu orang yang menerima dana suap dari pengusaha dan adik mantan presiden Soeharto, Probosutedjo.
Bagir Manan niscayalah akan terus berupaya menjelaskan posisinya dalam kasus itu kepada publik dan pihak tertentu yang terkait dengan penegakan hukum dan penguasa politik di negeri ini. Pada saat yang sama, dia ingin memperoleh dukungan moral pembelaan pada dirinya. Apalagi Jaksa Agung sendiri adalah bekas koleganya di MA. Dengan demikian, Jaksa Agung bisa dengan mudah memahami perasaan dan/atau berbagi rasa sehingga diharapkan tak sampai berakibat penderitaan terhadap Bagir Manan.
Upaya yang dilakukan guru besar ilmu hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, itu jelas bukanlah hal baru dalam proses penyelesaian masalah hukum, termasuk pemberantasan korupsi, di negeri ini. Lobi dilakukan dengan berbagai cara, dari pendekatan hubungan antarjabatan, jaringan organisasi, kekerabatan, sampai momentum spiritual seperti bulan suci Ramadan sekarang ini.
Buka puasa bersama memang banyak dilakukan pejabat negara dalam suasana penderitaan rakyat akibat kenaikan harga bahan bakar minyak, sehingga dengan sendirinya para pejabat itu menunjukkan ketidakpedulian mereka. Dalam konteks ini, acara tersebut bisa digunakan sebagai upaya untuk meluluhkan hati sang pejabat penyidik dan/atau pihak yang terkait lainnya sehingga proses hukum kasusnya bisa diabaikan atau diendapkan saja.
Maka tidak perlu heran kalau banyak kasus korupsi atau terindikasi kuat korupsi yang melibatkan pejabat atau keluarga pejabat atau orang kaya menghilang begitu saja akibat efektifnya lobi yang mereka lakukan kepada para penegak hukum (jajaran kejaksaan, kehakiman, dan kepolisian). Setidaknya, pemeriksaan kasusnya bisa dihentikan (di-SP3-kan) seperti yang terjadi pada banyak kasus yang menimpa pejabat negara atau mantan penjabat negara selama ini.
Berbagai alasan bisa dibuat untuk menguatkan posisi pejabat yang bermasalah. Semua itu dilakukan tanpa mempertimbangkan dimensi keadilan seperti yang diimpikan masyarakat bahwa hukum harus berlaku dan diberlakukan sama untuk semua, tak terkecuali pejabat.
Hubungan sesama pejabat terkadang melampaui batas-batas solidaritas mekanis yang terjadi dan sekaligus menjadi salah satu watak masyarakat tradisional homogen. Satu sama lain saling menjaga perasaan karena pejabat yang sedang bermasalah itu dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dalam sebuah sistem penyelenggaraan pemerintahan.
Apalagi para pejabat itu berada dalam suatu koridor saling bergantung, baik secara politik maupun fungsional. Maka, dalam pembicaraan antarpejabat, baik secara informal maupun formal, satu sama lain akan selalu menjaga perasaan sehingga tak akan pernah menyinggung kasus yang pernah atau sedang menimpa pejabat itu.
Soalnya, ada anggapan, dan ini sudah menjadi watak dominan para pejabat kita hingga saat ini, proses penyelenggaraan negara akan bisa berjalan baik apabila terjadi sikap saling mengerti antara sesama pejabat negara. Sudah pasti, semuanya akan mengabaikan noda hitam yang mencoreng muka pejabat bersangkutan yang pernah atau tengah ditonton oleh masyarakat luas.
Praktek seperti ini pun tak hanya berada pada hierarki atau level lembaga negara yang sama (di tingkat nasional atau daerah). Hal ini juga terjadi secara vertikal ke bawah. Para pejabat di daerah memperoleh semacam proteksi politik dari para pejabat di atasnya. Pejabat yang berada di level daerah umumnya juga memiliki jaringan lobi dengan pejabat penegak hukum di tingkat nasional.
Terlebih lagi mereka yang berada dalam wadah jaringan politik yang sama. Sudah pasti sang patron di Jakarta akan selalu mengupayakan perlindungan terhadap orang-orangnya di daerah dalam bentuk mencoba mengamankan berbagai kasus (penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, dan semacamnya) yang menimpa pejabat daerah itu.
Kondisi seperti itu tampaknya diperkuat dengan kenyataan bahwa masyarakat kita bisa dikategorikan sebagai masyarakat pelupa atau pura-pura lupa. Betapa tidak. Demikian banyak kasus korupsi, terindikasi korupsi, atau pemilikan harta akibat penyalahgunaan jabatan yang dipublikasikan oleh media massa, baik di tingkat nasional maupun daerah, tapi itu hanya bisa bertahan beberapa hari atau minggu, lalu kembali menghilang dari permukaan dan ingatan publik.
Catat saja, misalnya, beberapa waktu lalu mencuat kasus rekening yang aneh-aneh yang dimiliki oleh sejumlah perwira tinggi kepolisian yang mengindikasikan ketidakwajaran, tapi kini seolah-olah tenggelam atau terlupakan oleh publik. Demikian juga banyaknya kasus korupsi yang dilaporkan oleh masyarakat di dan dari berbagai daerah selama ini perlahan-perlahan tak terdengar lagi atau diabaikan untuk diproses.
Kita pun kemudian lupa atas kasus itu dan selanjutnya penyidik mendiamkannya. Barangkali saking banyaknya kasus korupsi yang dilaporkan kepada pihak penyidik, kasus-kasus itu tertimbun menjadi arsip di kantor penyidik. Berbagai alasan pun dikemukakan oleh para pejabat penyidik sehingga kasus itu tidak atau lambat diproses, antara lain terbatasnya sumber daya manusia, terbatasnya dana untuk menindaklanjutinya, atau adanya skala prioritas dalam penyelesaian kasus korupsi itu.
Para pencari keadilan pun kemudian jenuh dan frustrasi menghadapi kenyataan itu. Sementara itu, media massa juga tak lagi memberitakan kasus yang dilaporkan masyarakat.
Fenomena menunda, mengendapkan, dan/atau melupakan kasus korupsi yang menimpa pejabat, pada hemat saya, sebenarnya merupakan bagian dari skenario yang direkayasa. Sejak seorang pejabat mengetahui kasusnya dilaporkan, dia akan segera mencari jaringan untuk bisa melobi pihak yang terkait dan berpengaruh.
Itu akan sangat mudah bagi pejabat yang pernah atau sedang berkuasa karena jalur-jalurnya sudah diketahui dan dikuasai. Apalagi yang memiliki kekuatan materi (uang) hasil penyalahgunaan kekuasaan atau korupsi. Mereka akan dengan mudah menggunakan uangnya untuk melumpuhkan proses hukum yang terkait dengan masalah yang dihadapinya. Proses-proses lobi untuk melumpuhkan hukum jelas menjadi sebuah media-instrumental yang paling efektif dalam melanggengkan mafia peradilan yang menjebak negeri kita sekarang ini. Para pelobi atau secara langsung pejabatnya sendiri (baik yang melobi maupun yang dilobi) sadar betul bahwa watak bangsa kita yang perasa, penuh solidaritas, dan pelupa ini bisa dieksploitasi untuk menjadikan mereka terbebas dari kejahatan yang pernah atau tengah diperbuat.
Dan barangkali mereka sadar betul pula bahwa presiden kita, Susilo Bambang Yudhoyono, adalah serang perasa dan penuh solidaritas sehingga para pejabat yang bermasalah itu semakin yakin akan tiadanya desakan politik untuk menyingkirkan mereka dari panggung jabatan dan arena lobi. Inilah yang menjadikan praktek korupsi yang dilakukan para pejabat di Indonesia tetap langgeng adanya.
Oleh: La Ode Ida
Sosiolog dan Wakil Ketua DPD RI
Koran Tempo, 17 Oktober 2005