LSM dan Korupsi
Lembaga swadaya masyarakat (LSM) adalah anak haram Orde Baru. Memang benar cikal-bakal kekuatan civil society itu sudah ada di Tanah Air sejak dulu. Ia lahir untuk menghindari cengkeraman pemerintah dan berlindung di balik jubah yayasan atau perkumpulan yang lolos dari penataan struktur politik waktu itu. LSM merupakan pilihan yang netral guna menghindari istilah organisasi non-pemerintah (ornop), yang berkonotasi politis dan konfrontatif. Generasi tahun 1990-an, baju ornop mulai dipakai kembali karena istilah LSM dituding sebagai wujud tunduknya masyarakat terhadap penguasa.
Awalnya, LSM bergerak pada kegiatan karitatif (charity), pendampingan, dan pemberdayaan masyarakat marginal, lalu masuk dalam wilayah gerakan demokratisasi. Semasa Pemerintahan Soeharto, LSM tampil menjadi oposisi tulen terdepan menggantikan parlemen yang tidak fungsional.
Di belahan dunia lain, terutama di negeri-negeri berkembang, LSM juga menjadi kekuatan pembaharu yang signifikan di setiap sektor. Posturnya yang kecil dan visinya yang plural menjadikan geraknya lincah, vokal, dan kaya gagasan, mensubstitusi kelembagaan konvensional yang dogmatis dan lamban. Di negara maju, LSM menjadi partner pemerintah dalam kerja sama pembangunan internasional.
Ada dua ciri utama yang membedakan LSM dari outsider lainnya, yaitu mengusung independensi politik dan berorientasi pada perubahan sosial. Ciri lainnya adalah LSM tidak berorientasi pada kekuasaan politik atau profit. Inilah sesungguhnya magnet bagi aktivis mahasiswa idealis untuk memasuki dunia LSM. Ini pula yang membuat LSM mendapat tempat di hati masyarakat yang kecewa dengan wajah kotor Orde baru, yang kemudian menjadi kekuatan utamanya.
Tapi, kini wajah LSM tak semanis dulu. Di sana-sini mulai bopeng dengan noda partisan, berorientasi ekonomi dan politik. LSM tersangkut penyimpangan dana Jaring Pengaman Sosial, Kredit Usaha Tani atau pemerasan. LSM bukan alat perjuangan alternatif, tapi tak lebih merupakan lapangan kerja baru bagi job seeker yang tersingkir dari sektor swasta atau pemerintah. Belakangan muncul ribuan LSM bentukan birokrat yang dipicu sistem pendanaan multilateral. Proyek pemerintah yang didanai utang luar negeri harus didampingi LSM. Sayangnya, di LSM belum ada suatu mekanisme penegakan code of conduct dan mengeliminasi mereka yang busuk.
Struktur tradisional LSM cenderung oligarkis. Ia dimiliki segelintir orang yang mengangkat dirinya sendiri, dan tidak ada kewajiban akuntabilitas kepada masyarakat yang diklaim diperjuangkannya. Ia tidak memiliki dan dikontrol anggota, yang ada cuma kelompok sasaran. Tingkat kejujurannya sangat bergantung pada kadar integritas personalnya, sistem akuntabilitas internal dan standar audit pemberi dana.
Transformasi dari yayasan menjadi perkumpulan kini tengah berproses, agar lebih terbuka, jujur, dan demokratis. Di samping itu, ada pengaturan baru mengenai yayasan yang mengancam independensi politik LSM.
Tak sedikit LSM cenderung menutup mata terhadap borok dalam dirinya. Konflik atau penyelewengan anggaran senantiasa ditutupi dan diselesaikan secara adat internal. Memang pernah ada pengadilan partikelir yang dibentuk aktivis perempuan untuk mengadili aktivis pelaku pelecehan seksual terhadap sesama aktivis. Toh kenyataannya seolah ada kekhawatiran terhadap penyelesaian terbuka karena itu akan mengancam legitimasi moralnya. Cara ini sesungguhnya keliru. Orang luar tak bisa membedakan mana aktivis yang kotor dan tidak. Tiba-tiba masyarakat dikagetkan ketika aktivis yang diidealkan, saat memasuki ranah publik, ternyata tak jauh beda dengan roving bandit lain. Padahal penyimpangan bisa di mana-mana dan menghinggapi siapa saja, selama sistem akuntabilitas dan kadar integritas personalnya rendah. Tak semua anggota keluarga (LSM) lurus-lurus belaka, ada kalanya bejat.
Korupsi bukan tujuan akhir. Bukan karena perut lapar atau ada peluang. Ia tak pernah kenyang dan selalu mencari jalan. Ia membangun rezim dan pengikut untuk tetap berkuasa dan menguasai, mematikan sistem antikorupsi. Korupsi bukan soal ideologi atau agama. Bukan pula soal negara kaya atau miskin. Tak pernah ada zero corruption zones yang permanen. Namun, ketika terjadi penyimpangan, harus ada sistem yang bekerja untuk mengatasinya.
Cara pandang yang menuding korupsi sebagai kegagalan fundamental pemerintahan harus jauh-jauh disingkirkan. Itu hanya cocok di negeri yang sudah tidak ada persoalan dengan masalah relasi dan representasi masyarakat dalam berhadapan dengan negara atau bisnis. Atau negeri yang para pemimpinnya punya kemauan kuat untuk memakmurkan rakyatnya. Dan bahayanya itu membius kita untuk menghujat pemerintah, dan lupa pada borok sendiri.
Seolah korupsi akan menghadapi jalan buntu manakala hukum bisa ditegakkan, birokrasi perizinan dirampingkan, pemilu yang jujur, dan parlemen yang bertanggung jawab terhadap pembayar pajak. Mewujudkan good governance hanya perlu cetak biru pemerintahan. Ia tidak membutuhkan kesadaran rakyat. Yang diperlukan hanya seorang Lee Kuan Yew, Hatta, Hoegeng, Lopa, atau Bupati Solok Gamawan Fauzi.
Akibatnya, agenda antikorupsi sering dialamatkan kepada pemerintah. Peraturan dibuat, sanksi diperberat, dan lembaga baru didirikan. Semua instrumen antikorupsi sudah tersedia, tapi lihat hasilnya. Pikiran itu cuma memperkuat sektor pemerintah. Padahal korupsi justru bersumber pada kekuasaan yang memusat; dari kejomplangan kekuasaan politik atau ekonomi. Aturan atau kebijakan umum hanya efektif kalau ada, dibuat, dan diperlukan oleh semua. Alat kekerasan bukan zamannya lagi mengatur kehidupan.
Negeri-negeri Skandinavia, yang relatif bersih, ditimbulkan oleh masyarakatnya yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, toleran terhadap sesama, dan respek terhadap kepentingan umum. Instrumen hukum hanya sesekali digunakan untuk menghukum mereka yang menyimpang.
Bagaimana bisa mewujudkan good governance manakala sektor swasta atau kalangan civil society korup? Membasmi korupsi perlu collective action. (Teten Masduki, Koordinator ICW)
Tulisan ini diambil dari majalah Tempo, No. 08/XXXIV/18 - 24 April 2005