LSM, Suara Donor atau Suara Rakyat?
Dalam pelaksanaan Pemilu 2004, Indonesia mendapatkan bantuan dana dari negara-negara donor sebesar Rp 32 miliar. Bantuan tersebut diberikan kepada 28 institusi yang sebagian besar adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Dana tersebut digunakan untuk pendidikan pemilih bagi pemilih pemula dan diseminasi informasi Pemilu 2004.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan ke-28 institusi yang mendapat dana tersebut melalui seleksi dan kompetisi yang ketat. Sumbangan bagi proses pemilu tahun ini banyak mengalir dari negara-negara asing yang kebanyakan dikoordinasi Badan Pembangunan PBB (UNDP) di Indonesia.
Bantuan dari negara asing kepada LSM bukannya tidak pernah dipermasalahkan sebelumnya selama ini. Di awal tahun, Kastaf AD Jenderal Ryamizard Ryacudu bahkan menuding LSM selalu berkait dengan kegiatan intelijen asing di Indonesia.
Diingatkannya pula kepada para aktivis LSM untuk berhati-hati kepada pihak asing yang memberikan bantuan. Pada saat itu memang tidak diungkapkan LSM serta pihak asing mana yang berhubungan dan terkait dengan aktivitas intelijen tersebut.
Yang menjadi pertanyaan, sesungguhnya untuk siapakah LSM tersebut bekerja, apakah mereka bekerja secara murni untuk kepentingan nasional atau justru sebaliknya, secara sadar atau tidak, mereka bekerja untuk asing?
Dalam bukunya: Mengungkap Tabu Intelejen: Teror, Motif dan Rezim (Panta Rhei, 2001), AC Manullang (mantan Direktur Bakin) mengingatkan agar intelejen kita cekatan menghadapi gerak-gerik intelejen pihak lawan yang melakukan penetrasi dan infiltrasi secara clandestine atau tersamar ke berbagai elemen masyarakat.
Ditambahkan pula olehnya, kegiatan clandestine tersebut sangat luas sasarannya, perwakilan suatu negara di negara lain, pihak imigrasi, bank, dan lainnya dapat dimanfaatkan untuk mengumpulkan bahan keterangan yang diinginkan Dengan kata lain, LSM, terlebih lagi yang kegiatannya didanai oleh pihak asing, termasuk di dalamnya.
Data yang diperoleh di Departemen Dalam Negeri mencatat, hingga tahun 2002, jumlah LSM di Indonesia mencapai angka 13.500 LSM. Angka tersebut tentu saja belum termasuk LSM yang tidak tercatat. Dan memang, dari jumlah tersebut, 90 persen LSM yang ada di Indonesia didanai oleh pihak asing (Kompas, 13 Januari 2003).
Pemberdayaan
Lembaga swadaya masyarakat atau disebut pula Organisasi Non-Pemerintah (Ornop) didefinisikan sebagai lembaga-lembaga yang berada di luar sektor pemerintah maupun bisnis swasta, yang bergerak dalam berbagai kegiatan pembangunan atau pembelaan kepentingan umum, dan menekankan pencarian pola-pola alternatif serta pemberdayaan masyarakat.
Jenis kegiatan LSM mulai dari advokasi publik, pekerja sosial, pemberdayaan dan penyadaran, bantuan kemanusiaan, lingkungan hidup, hak konsumen hingga soal penggusuran rumah. Selama ini memang LSM diidentikkan dengan pihak yang berseberangan dengan pemerintah.
Banyak memang LSM yang lantang menyuarakan dan (katanya) mengatasnamakan kepentingan rakyat. Apalagi bila ada kebijakan pemerintah yang dilahirkan ternyata dinilai merugikan kepentingan rakyat, merekapun ramai berteriak.
Vox populi vox dei, dan bukankah suara rakyat adalah suara Tuhan. Tetapi apakah keberadaan mereka memang semata-mata untuk menyuarakan kepentingan dan memperjuangkan nasib rakyat? Memang, semenjak rezim Orde Baru tumbang, LSM tumbuh bagaikan cendawan di musim hujan. Nyatanya memang tidak semua LSM yang berdiri tersebut benar-benar murni karena kepentingan rakyat. Berdirinya mereka sebagian disebabkan pula oleh persyaratan-persyaratan yang diterapkan oleh lembaga keuangan internasional.
Ambil contoh Bank Dunia, yang mensyaratkan perlunya pemerintah bekerja sama dengan LSM dalam proyek yang akan mereka kucurkan. Maka tak heran bila akhirnya muncul LSM 'jadi-jadian' dan juga LSM yang dinamakan pelat merah. Dengan kata lain, munculnya LSM disebabkan dua hal: pertama, karena kebutuhan riil masyarakat, dan kedua, karena adanya kucuran dana dari lembaga donor (funding).
Bila pada akhirnya pihak donor mengucurkan dananya kepada para LSM tersebut, baik secara langsung ataupun tidak, apakah memang tidak terdapat agenda tersembunyi dari pihak donor tersebut ataupun dari negara yang diwakilinya?
Yang jelas, pihak lembaga donor yang mengucurkan bantuannya tidak akan sembarangan dalam menyetujui proposal program yang ditawarkan oleh pihak LSM. Mereka akan memilah dan memilih program yang memang dirasakan 'pas' bagi mereka.
Disadari atau tidak, agenda dari lembaga donor yang sesungguhnya dijalankan. Memang, ketergantungan LSM pada pihak asing tidak baik jika berlangsung secara terus menerus, apalagi bersifat permanen. Ketergantungan ini bukan hanya makin melekatkan citra bahwa LSM merupakan kepanjangan tangan pihak asing, tetapi juga dapat mengubah tujuan awal dan ideologi yang diperjuangkan oleh LSM tersebut.
Perlu dipikirkan penggalangan dana yang berasal dari publik, yang tentu saja harus disertai akuntabilitas dan transparansi keuangan lembaga yang dikelolanya. Hal ini memang bukan pekerjaan yang mudah, tetapi bukan sesuatu yang mustahil. Banyak contoh yang dapat kita jumpai, lembaga-lembaga yang terorganisasi dengan baik tanpa adanya bantuan pihak asing.
Umumnya, LSM tersebut berbentuk yayasan yang dipimpin oleh tokoh masyarakat, pengusaha, atau berafiliasi dengan perusahaan tertentu, yang juga bekerja secara profesional dengan mengusung prinsip-prinsip good governance. Tujuan dibentuknya LSM salah satunya untuk melakukan fungsi kontrol terhadap lembaga pemerintahan.
Jangan sampai fungsi ini melenceng hanya karena ketergantungan dari pihak donor, ketergantungan secara bertahap harus dikurangi. Perlu dipikirkan dengan seksama, bagaimana menggalang kekuatan domestik untuk membiayai kegiatan LSM. Dalam hal ini, pemerintah sebaiknya juga menetapkan beberapa langkah yang mendorong kemandirian penggalangan sumber dana publik bagi LSM.
Hal ini misalnya dengan diberlakukannya pembebasan pajak (tax exemption) pada sumbangan-sumbangan perseorangan atau perusahaan yang diberikan untuk organisasi-organisasi non-pemerintah. Dan berlaku pula bagi bantuan yang ditujukan untuk yayasan yang dananya bersumber dari masyarakat setempat, juga bagi upaya pengumpulan dana, serta bagi usaha-usaha setempat yang dijalankan oleh organisasi-organisasi non-pemerintah.
Pemerintah tentu saja harus menetapkan kriteria yang lebih ketat dengan diberlakukannya pembebasan pajak tersebut, dan juga dapat menuntut transparansi yang lebih besar soal pertanggungjawaban keuangan organisasi non-pemerintah tersebut. Dengan bertumpunya sumber dan penggalangan dana pada kekuatan domestik, maka akan menghilangkan ketergantungan LSM dari donor asing, sehingga tidak ada lagi saling curiga, dan tidak ada lagi saling tuding.
Para penggiat LSM juga perlu melakukan reorientasi dalam memperoleh dana dari donor, menengadahkan tangan kepada pihak donor dengan tarif dolar atau pound memang memang membuat dada ini terasa nyaman. Tetapi biar bagaimanapun juga, kepentingan nasional tetap harus dinomor satukan dan menjadi prioritas utama untuk diperjuangkan. (Sonny Wibisono adalah peneliti di Perkumpulan Membangun Kembali Indonesia (PMKI))
Tulisan ini diambil dari harian Suara Pembaruan, 22 Juni 2004