LSM Temukan Banyak Kasus Korupsi dalam Pengolahan Hutan [05/08/04]
Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Greenomics Indonesia menemukan banyak kasus korupsi terjadi dalam pengolahan hutan alam maupun hutan lestari. Penemuan diperoleh setelah kedua lembaga swadaya masyarakat ini melakukan kajian atas 44 perusahaan pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) pada hutan alam dan 68 perusahaan pada hutan lestari.
Sedikitnya ada 15 modus operandi praktik korupsi bisnis hak pengusahaan hutan (HPH) dan 29 modus operandi praktik politik karupsi bisnis hutan tanaman industri (HTI), kata Direktur Eksekutif Greenomics Elfian Effendi di Jakarta kemarin.
Di antara modus operandi kedua praktik korupsi tersebut ada yang mempunyai karakteristik sama. Seperti tidak melakukan penataan batas dan penataan kawasan lindung dan tidak melakukan audit keuangan oleh akuntan publik. Selain itu juga, tidak mengikutsertakan masyarakat setempat dan mengabaikan potensi konflik dengan lahan masyarakat dalam penataan areal kerja di lapangan. Di luar itu, masih ada karakteristik yang sama di antara keduanya dan juga yang berbeda.
Hasil kajian kedua lembaga anti korupsi ini juga menyebutkan mayoritas HPH dan HTI memiliki kinerja yang buruk dalam melaksanakan pemanfatan hutan alam dan hutan tanaman industri. Sebanyak 53 persen HPH memiliki kinerja yang buruk dan 35,6 persen lainnya berkinerja sedang namun mengarah buruk. Hanya 11,4 persen saja yang dapat dikatakan relatif baik, kata Elfian.
Sedang untuk HTI, sebanyak 59,2 persen masuk kategori buruk, 11,8 persen masuk relatif baik dan sisanya dalam kategori sedang menuju buruk. Namun demikian, Elfian mengatakan yang termasuk baik sebenarnya sebagian besar pada posisi sedang. Juga diketahui dari seluruh perusahaan yaitu sebanyak 121, ternyata 98,5 persen perizinannya dikeluarkan pada masa rezim orde baru.
Koordinator ICW Teten Masduki menilai negara akan mengalami kerugian sangat besar hanya dalam hitungan beberapa tahun ke depan saja, bila tidak ada langkah-langkah tegas dari pemerintah dalam pemberantasan korupsi dalam pengolahaan hutan.
Pemerintahan mendatang, menurut dia, tidak mempunyai pilihan lain kecuali melakukan reorientasi bisnis kehutanan secara fundamental dengan membangun kerjasama antara pemerintah, korporat, dan (pihak-pihak lain yang mempunyai kaitan dan pengaruh (stakeholders) atas kehutanan. Bisnis narkoba itu 'kecil', barangnya bisa disembunyikan. Tapi kejahatan penebangan ilegal atau penyelundupan, itu kan barang besar yang tidak gampang menyembunyikannya. Artinya ini adalah kejahatan yang terorganisir, kata Teten.
Berdasarkan hasil kajian, teten mengatakan, tidak kurang dari 43 persen para pemegang konsensi HPH dan HTI tidak mematuhi kerangka hukum bisnis kehutanan lestari. Ini sangat memprihatinkan, katanya. Sedangkan 39 persen perusahaan hanya mematuhinya sepotong-sepotong saja. Sisanya dapat dikatakan berkinerja sedang dalam mematuhi kerangka hukum.
Menanggapi hasil kedua lembaga swadaya itu, Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan Wahjudi Wardojo menyambut baik. Menurut dia, dari laporan tadi merupakan masukan yang berharga bagi Departemen Kehutanan untuk memperbaiki institusinya yang selama ini sering di lihat sarang korupsi.
Oleh karena itu, dia mengatakan, Departemen Kehutanan sedang menyiapkan beberapa langkah untuk memperbaiki keadaan seperti sekarang ini. Perusahaan pengelola hutan yang bagus akan diberi insentif tertentu agar semakin berkembang. Sedangkan, perusahaan yang mengelola hutan dengan buruk akan dilihat dulu apakah itu kesalahan manajemen atau dia melakukan kegiatan yang tidak lestari dan tidak profesional atau melanggar hukum.
Bagi yang melanggar hukum, Wahjudi mengatakan, perusahaan tersebut akan dikenakan sanksi dengan dicabut izin HPH-nya. Sedang perusahaan yang memiliki rekam jejak buruk, Wahjudi melanjutkan, tidak akan memberikan perpanjangan izin kembali. Tidak diperpanjang. Kalau sudah di-black list. muchamad nafi-tnr
Sumber: Koran Tempo, 5 Agustus 2004