Lunturnya Nasionalisme Ekonomi (1) [18/08/04]
Kemarin adalah hari kemerdekaan kita yang diproklamasikan 59 tahun lalu. Proklamasi kemerdekaan itu didahaului gerakan nasionalisme dan patriotisme, kemudian revolusi fisik untuk mengusir penjajah dan merdeka. Kini hubungan antarnegara dan antarbangsa-bangsa serta lalu lintas barang dan jasa di dunia sudah sangat bebas. Dan, kita mengenal globalisasi. Yang jadi pertanyaan, masih perlukah nasionalisme, cinta bangsa, dan membela kepentingan bersama atau patriotisme?
Jawabannya ada dua aliran pikiran yang berlawanan. Ada yang mengatakan tidak perlu. Bahkan, lebih ekstrem lagi, mereka yang masih nasionalistis dianggap sebagai orang yang tidak memahami apa yang sedang berlangsung di dunia sehingga bagaikan katak dalam tempurung.
Aliran pikiran yang lain mengatakan masih sangat perlu. Aliran pikir ini menganggap bahwa nasionalisme adalah sifat hakiki manusia, bahkan setiap makhluk. Nasionalisme memang mengandung kata nation sehingga tidak dapat dilepaskan dari negara bangsa. Tetapi, inti pengertiannya berlaku untuk setiap kelompok makhluk.
Dalam hal kelompok-kelompok manusia, sejak zaman purbakala, kita sudah menjumpai kelompok-kelompok manusia dalam bentuk suku-suku primitif. Mereka sudah merasa dirinya satu kelompok yang solider, merasa senasib sepenanggungan.
Dalam mempertahankan hidupnya dan meningkatkan kemakmurannya, mereka selalu menaklukkan dan mengisap kelompok lain yang lebih lemah. Maka, dalam sejarah, kita mengenali banyak peperangan suku-suku primitif. Ketika suku-suku primitif ini berkembang menjadi negara bangsa yang modern, naluri mementingkan bangsa sendiri, kalau perlu atas kerugian bangsa lain tetap saja ada. Tentu caranya lebih canggih, skalanya lebih besar, dan barang yang dirampas lebih banyak juga.
Bentuk yang kita kenal adalah penjajahan yang bahkan menjadi semacam mode dan status symbol buat negara-negara maju. Banyak negara di Eropa mempunyai jajahan. Indonesia menjadi korban penjajahan Belanda selama 3,5 abad. Nasionalisme Belanda jatuh bersamaan dengan iperialisme dan kolonialisme. Sebaliknya, nasionalisme Indonesia bangkit untuk membebasdan diri dari imperialisme dan kolonialisme tersebut.
Gerakan dan perjuangan kemerdekaan Indonesia sudah sangat lama berlangsung. Namun, proklamasinya jatuh bersamaan dengan dikalahkannya Jepang dan Jerman dalam Perang Dunia II. Seperti kita ketahui, Jepang dikalahkan dengan dijatuhkannya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Daya musnah, daya rusak, dan daya bunuhnya demikian dahsyat sehingga kalau senjata-senjata ini dipakai terus, umat manusia akan musnah. Namun, kesadaran ini datangnya terlambat.
Setelah perang dunia, kita mengenal perang dingin yang berlandaskan perbedaan ideologi kapitalisme dan komunisme. Dalam perang dingin ini, produksi senjata-senjata pemusanah masal lebih ditingkatlan menjadi bom nuklir dan hidrogen yang daya rusak, daya musnah, dan daya bunuhnya lebih dahsyat lagi.
Lambat laun barulah disadari bahwa senjata-senjata ini tidak mungkin dipakai untuk menaklukkan dan mengisap bangsa lain karena dampaknya yang tidak terbayangkan.
Ini tidak berarti bahwa pengisapan kekayaan negara-negara tertentu oleh negara-negara yang lebih kuat berhenti. Senjatanya yang berubah dari senjata-senjata yang dahsyat dan tidak dapat dipakai itu (kalau tidak mau terjadi pemusnahan manusia) menjadi penguasaan teknologi dan manajemen.
Jerman dan terutama Jepang yang dikalahkan dalam Perang Dunia II paling awal menyadari bahwa pengisapan kekayaan negara lain harus dilakukan melalui penguasaan teknologi dan manajemen. Karena itu, walaupun tidak diperbolehkan mempersenjatai diri, mereka mendapatkan nilai tambah sangat besar dari negara-negara lain melalui produksi dan distribusi dengan penggunaan teknologi dan manajemen canggih.
Demikian pula nasib Indonesia. Karena globalisasi, banyak elite bangsa Indonesia yang merasa bahwa tidak relevan lagi berpikir dan bersolider dengan bangsanya sendiri karena negara bangsa (nation states) yang mempunyai batas-batas negara secara geografis sudah tidak relevan dengan corporate states berupa perusahaan-perusahaan transnasional. Banyak perusahaan yang peredaran uangnya lebih besar daripada anggaran satu negara berkembang. Perusahaan transnasional juga mempunyai cabang di seluruh dunia.
Memang kita saksikan, negara seperti Indonesia sangat mendambakan datangnya investor asing sebanyak-banyaknya. Juga sangat mendambakan memperoleh kredit dan hibah sebanyak-banyaknya dari negara-negara lain. Dalam meraih semua itu, yang dikemukakan selalu membela kepentingan nasional. Terutama sekarang selalu didengungkan bahwa kita harus terbuka selebar-lebarnya terhadap investor asing dan harus tidak ada perbedaan sedikit pun dalam perlakuan antara investor domestik dan investor asing.
Siapa yang berani menyuarakan sedikit saja mempunyai reseve dengan alasan nasionalisme, kemandirian, rasa harga diri, dan sejenisnya langsung saja dihujat sebagai orang yang tidak mengerti perkembangan dunia, ketinggalan zaman, dan bagaikan katak dalam tempurung.
Kita mempunyai banyak pengalaman yang panjang dalam bidang hubungan internasional, baik politik maupun ekonomi. Selama Orde Baru, aliran modal asing yang masuk sangat besar. Demikian pula utang luar negeri diberikan setiap tahun tanpa henti selama 36 tahun sampai sekarang ini. Bagaimanakah dampaknya?
Dampak yang positif adalah pembangunan besar-besaran selama Orde Baru dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata tinggi atau 7 persen per tahun. Namun, segera harus dipertanyakan siapa yang menikmati pertumbuhan itu? Mari kita lihat beberapa indikator.
Per tahun 2003, jumlah perusahaan sekitar 40 juta. Perinciannya, perusahaan berskala besar 4.000 atau 0,01 persen dan yang tergolong UKM 39,996 juta atau 99,99 persen. Kalau kita hitung rata-ratanya, setiap perusahaan besar menyumbang pada pembentukan PDB sebesar 17.000 kali dari perusahaan berskala UKM. Ini ketimpangan luar biasa.
Jumlah utang luar negeri pemerintah USD 2 miliar pada 1967. Sekarang USD 81 miliar. Utang dalam negeri pemerintah dalam bentuk bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI), obligasi rekap, dan surat utang pemerintah lainnya Rp 600 triliun atau USD 64 miliar sehingga total utang pemerintah sekitar USD 145 miliar. Ini jumlah luar biasa besarnya yang akan membuat keuangan negara sangat sulit, entah sampai kapan.
Kita sudah menjadi importer neto minyak, hutan-hutan gundul, dana reboisasi praktis habis, mineral dikeduk oleh perusahaan-perusahaan asing dengan kerusakan lingkungan yang cukup besar.
Pada 2003, kita mengimpor komoditas pertanian yang dengan mudah dapat kita hasilkan sendiri sebagai berikut: beras 3,7 juta ton, gula 1,6 juta ton, kacang kedelai 1,3 juta ton, gandum 4,5 juta ton, jagung 1,2 juta ton, sapi 450.000 ekor, tepung telur 30.000 ton, makanan olahan USD 1,5 miliar, garam 1,4 juta ton, singkong 0,85 juta ton, kacang tanah 100.000 ton.
Apa hubungan gambaran di atas dengan globalisasi? Dalam globalisasi, bangsa kita yang sudah 59 tahun merdeka lebih habis-habisan diisapnya jika dibandingkan dengan zaman kolonial. Kita juga ditinggali utang sangat besar yang kita sudah tidak mampu membayarnya lagi. Dalam ketidakmampuan membayar ini, pemerintah dibuat tidak berdaya sehingga tergantung pada kekuatan-kekuatan asing. Untuk semua tujuan sudah berutang, sampai-sampai untuk menyantuni orang miskin dan memperbaiki pemerintahan.
Dalam zaman penjajahan, yang diambil oleh Belanda adalah buah dari pohon, seperti karet, kopi, nila, dan lada. Pohon-pohonnya ditanam sendiri dengan rapi dalam perkebunan-perkebunan yang sampai sekarang masih kita nikmati dalam PTP-PTP yang kebanyakan untung.
Yang tidak manusiawi adalah memperlakukan manusia Indonesia yang dijajah sebagai budak dengan tingkat penghidupan 2,5 sen per hari atau segobang sehari.
Di saat ini, lebih dari 30 juta orang miskin kita hanya mampu mempertahankan hidup dengan rata-rata Rp 1.250 per orang per hari. Saya tidak tahu apakah daya belinya lebih besar daripada 2,5 sen di zaman penjajahan.
Kita juga sudah tidak mandiri lagi. Ini tercermin sangat jelas kalau kita membaca baris demi baris Letter of Intent (LoI) dari IMF serta Country Strategy Report dari Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia. Apakah semua itu memang hasil dari globalisasi? Ya kalau kita artikan hubungan internasional yang liberal tanpa batas.
Tadi saya katakan bahwa tidak pernah ada waktu di mana Indonesia tidak menjadi target pengisapan oleh bangsa-bangsa lain yang lebih kuat. Hanya instrumennya yang berubah; dari bedil, bayonet, dan meriam menjadi penguasaan teknologi, manajemen, dan pembentukan kroni atau komprador dari kalangan elite bangsa kita sendiri. (bersambung)[Kwik Kian Gie, Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas]
Tulisan ini diambil dari Jawa Pos, 18 Agustus 2004