Luruskan Politik Peradilan
Keputusan pengadilan tipikor daerah yang sering kali memvonis bebas terdakwa korupsi disayangkan berbagai pihak.
Atas dasar itu, sejumlah kalangan mengusulkan agar keberadaan pengadilan itu dievaluasi. Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD bahkan mengusulkan agar pengadilan tipikor di daerah dibubarkan saja.Kontan saja pernyataan Mahfud mendapatkan tanggapan pro dan kontra. Lalu, apa penjelasan Mahfud terkait hal tersebut? Berikut wawancaranya dengan SINDO di Jakarta kemarin.
Anda mengusulkan pembubaran pengadilan tipikor daerah, apa alasannya?
Ya, saya usulkan itu untuk pelurusan politik peradilan kita. Sebab setahu saya, pembentukan pengadilan tipikor daerah itu terkesan tibatiba. Untuk tak terlalu jauh keluar dari sistem peradilan yang normal, sebaiknya korupsi-korupsi di daerah dikembalikan saja penanganannya kepada pengadilan umum.
Bukankah pembentukan pengadilan tipikor daerah didasarkan pada vonis MK?
Itu salah. Maka saya luruskan, vonis MK tak pernah memerintahkan pembentukan pengadilan tipikor daerah,MK hanya memerintahkan membentuk UU yang memberi baju hukum tersendiri atas keberadaan pengadilan tipikor atau KPK di Jakarta.
Bagaimana asal mulanya?
Pada tahun 2006, dua mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) menggugat UU No 30/2002 yang dijadikan dasar pembentukan pengadilan tipikor dan KPK. Menurut mereka, pengadilan tipikor dan KPK itu inkonstitusional karena hanya dibentuk dengan Pasal 53 UU 30/2002; seharusnya satu lembaga peradilan dibentuk dengan UU tersendiri. Akhirnya MK mengabulkan sebagian permohonan itu dengan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional).
Bagaimana persisnya?
MK memutus bahwa keberadaan pengadilan tipikor atau KPK itu formalnya inkonstitusional, karena hanya dibentuk dengan Pasal 53 UU 30/2002. Tetapi oleh karena semua alasan substantif, alasan materiil, dan kemanfaatan hukum dari keberadaan KPK itu sangat penting, maka MK menyatakan bahwa KPK boleh terus ada tetapi dalam waktu tiga tahun harus diberi baju hukum yang baru yakni UU tersendiri. Tetapi kemudian pembentuk UU membuat kreasi sendiri.
Bagaimana maksudnya?
Tahun 2009 menjelang habisnya tenggat tiga tahun yang diberikan oleh MK, ternyata pemerintah dan DPR belum membahas RUU-nya.Masyarakat ribut karena khawatir KPK bubar. Pemerintah buru-buru mengajukan RUU ke DPR, yang di dalamnya sekaligus menyertakan materi pembentukan pengadilan tipikor daerah.
Apa alasan pembentukan pengadilan tipikor daerah? Kenapa waktu itu MK diam saja?
Alasannya waktu itu bagus juga. Belajar dari sukses KPK dalam menangani korupsi maka perlu dibentuk juga pengadilan tipikor di daerah,agar di daerah ada lembaga yang kuat seperti KPK. MK tentu tidak ikut campur karena hal itu merupakan pilihan politik hukum terbukaatau opened legal policy. Waktu itu saya hanya mengatakan bahwa vonis MK tak memerintahkan pembentukan pengadilan tipikor daerah.
Maksud opened legal policy?
Politik hukum terbuka itu artinya sesuatu yang boleh diatur atau tidak diatur di dalam UU, terserah pada lembaga legislatif. Contoh lain,kalau UU menentukan jumlah anggota DPR 560 orang atau threshold 2,5% maka itu urusan lembaga legislatif yang tak boleh dicampuri oleh MK.Sama dengan pembentukan pengadilan tipikor daerah, itu urusan legislatif.Kalau mau dibubarkan harus lewat legislative review di DPR,bukan melalui judicial reviewdi MK.
Penilaian Anda atas putusan pengadilan tipikor daerah yang sering kali membebaskan terdakwa?
Masyarakat kecewa dan rasa keadilan publik terlukai. Ternyata pengadilan tipikor daerah tak lebih baik daripada pengadilan umum.Malah,cenderung lebih jelek karena mengesankan korupsi sebagai hal yang wajar, seperti pidana biasa. Kalau seperti itu,untuk apa ada pengadilan tipikor daerah. KPK yang di pusat saja yang diperkuat. Biarlah korupsi-korupsi di daerah ditangani oleh pengadilan umum,tohsebelum itu juga bisa berjalan.
Bukankah hakim memang bebas memutus bebas koruptor sesuai dengan kewenangannya?
Memang begitu normanya, semua orang sudah tahu norma itu.Semua hakim dan pembela selalu menggunakan dalil yang sudah jelas itu.Tapi masyarakat kantidak bodoh juga untuk menilai.Penerapan norma itu tak sepatutnya berbenturan dengancommon senseatau akal sehat dan nurani publik.
Kalau pengadilan tipikor daerah dibubarkan,apa bukan berarti membiarkan korupsi di daerah tumbuh subur?
Oh,tidak.Korupsi di daerahdaerah biar ditangani oleh pengadilan umum, kejaksaan, dan kepolisian seperti biasa saja. Sebelum ada pengadilan tipikor daerah,itu kan sudah berjalan. Kalau tak bisa lebih baik daripada pengadilan umum, lantas buat apa ada pengadilan tipikor di daerah?
Lagi pula, KPK di pusat masih bisa menangani korupsi-korupsi besar di daerah seperti yang telah berjalan selama ini.Tinggal bagibagi tugas saja sesuai dengan kapasitas masing-masing. hermanto
Sumber: Koran Sindo, 8 November 2011