MA dan Kejaksaan Bekerja Sama
Kerja sama pengawasan terhadap hakim dan jaksa yang mulai dibangun oleh Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung dikhawatirkan hanya akan berakhir di atas kertas.
Alih-alih bisa mengurangi problem korupsi, kolusi, dan nepotisme aparat penegak hukum, kerja sama ini justru dikhawatirkan menjadi ajang persekongkolan baru pelaku mafia peradilan.
Kekhawatiran itu dikemukakan Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch Emerson Yuntho dan Ketua Pelaksana Harian Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Hasril Hertanto, Senin (20/7), secara terpisah di Jakarta.
Pekan lalu Ketua MA Harifin A Tumpa dan Jaksa Agung Hendarman Supandji menandatangani nota kesepahaman bidang pengawasan. Kerja sama ini diharapkan dapat meminimalisasi perilaku KKN yang mungkin dilakukan oknum penegak hukum. Kerja sama ini meliputi pengawasan terhadap tata tertib hukum acara, jadwal persidangan, pelaksanaan putusan, serta pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku.
Terkait dengan program pengawasan yang akan dilakukan, Emerson mengaku belum melihat agenda yang jelas dalam kerja sama yang dimaksud. Kerja sama itu tidak pula diikuti dengan menunjuk siapa yang bertanggung jawab atas terlaksananya pengawasan bersama.
Hasril mengaku masih memiliki sedikit optimisme terkait kerja sama pengawasan MA dan Kejagung. Hal itu akan membuat adanya pengawasan berlapis terhadap hakim dan jaksa.
”Kemarin pengawasan dilakukan secara terpisah. Dengan adanya kerja sama ini, kedua institusi dapat saling memberi informasi mengenai perilaku aparatnya. Misalnya, jika seorang jaksa diperiksa dan mengatakan si hakim bermasalah, MA dapat menindaklanjuti hal itu. Demikian pula sebaliknya,” ujarnya.
Hanya, Hasril khawatir akan terjadinya pembiaran terhadap temuan hasil pemeriksaan. ”Kalau demikian, ya sama saja bohong,” ujarnya.
Terkait dengan hal itu, Hasril meminta kedua lembaga itu juga mengikutsertakan lembaga pengawas eksternal, seperti Komisi Yudisial (KY) dan Komisi Kejaksaan.
Reaktif
Emerson khawatir, kerja sama antara MA dan Kejagung di bidang pengawasan lebih merupakan sikap reaktif atas peristiwa gagalnya eksekusi terhadap terpidana kasus pengalihan jual beli piutang (cessie) Bank Bali, Joko S Tjandra.
Beberapa waktu lalu MA memutuskan bersalah terpidana korupsi dalam jual beli piutang (cessie) Bank Bali, Joko S Tjandra dan Syahril Sabirin. Namun, satu hari sebelum putusan keluar, Joko Tjandra yang dihukum dua tahun penjara oleh MA berangkat ke luar negeri, yaitu Port Moresby, Papua Niugini. Beberapa pegiat antikorupsi menengarai adanya kebocoran putusan MA itu.
Soal perlunya pengawasan sistematis dan sinergis antara hakim dan jaksa, hal itu pernah dikemukakan Ketua KY Busyro Muqoddas. Menurut Busyro, untuk memberantas praktik mafia peradilan, diperlukan kerja sama di semua sektor.
Awal Mei lalu Busyro menyesalkan sikap Kejagung yang tak bersedia bekerja sama memberikan dakwaan dan berita acara pemeriksaan beberapa kasus ke KY, seperti kasus Adelin Lis dan Gunawan Tjahyadi. (ana)
Sumber: Kompas, 21 Juli 2009