MA Harus Awasi; Pidana Pemilu Harus Diputus dengan Standar yang Sama
Mahkamah Agung diminta meningkatkan pengawasan terhadap pengadilan-pengadilan di bawahnya, khususnya dalam hal penanganan perkara pidana pemilu. MA harus memastikan perkara tersebut diputus tepat waktu, konsisten, dan dengan standar yang sama.
Permintaan itu disampaikan Konsorsium Reformasi Hukum Nasional saat beraudiensi dengan perwakilan MA, Kamis (2/4). Rombongan KRHN dipimpin Ketua Badan Pengurus Firmansyah Arifin, sedangkan MA diwakili Pelaksana Tugas Ketua Muda Pidana Khusus yang juga Ketua Muda Pengawasan Djoko Sarwoko, Komariah E Sapardjaja, dan Mansyur Kertayasa.
Menurut Firmansyah, ada tiga persoalan utama yang patut menjadi perhatian MA. Persoalan-persoalan itu adalah manajemen perkara, konsistensi putusan, dan kemungkinan munculnya gugatan terhadap keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Pidana pemilu
Terkait manajemen perkara, Firmansyah mengatakan, MA harus memastikan bahwa hakim-hakim di daerah/pengadilan negeri dapat menyelesaikan perkara pidana pemilu secepatnya.
Pasalnya, UU Pemilu menetapkan perkara pidana pemilu—khususnya perkara yang berpengaruh pada perolehan suara peserta pemilu—harus selesai lima hari sebelum KPU mengumumkan perolehan suara nasional atau 30 hari setelah pemungutan suara. ”Untuk memastikan hal itu, jika diperlukan, MA harus membebaskan hakim yang ditunjuk menangani pidana pemilu dari beban perkara reguler,” ujar Firmansyah.
KRHN juga mengkritik adanya inkonsistensi putusan perkara pemilu. KRHN mencatat adanya perbedaan mencolok pada putusan Pengadilan Negeri Blora dengan PN Jakarta Barat, dalam perkara pelanggaran aturan kampanye. Untuk kasus serupa, PN Blora menyatakan bersalah, sedangkan PN Jakarta Barat membebaskan terdakwa.
MA diminta mengantisipasi kemungkinan membanjirnya gugatan ke PTUN. Menurut Firmansyah, gugatan kemungkinan akan diajukan pihak yang dikecewakan oleh keputusan-keputusan KPU.
Namun, mekanisme gugatan melalui PTUN sulit dilakukan mengingat UU PTUN menegaskan bahwa keputusan KPU pusat dan daerah mengenai ”hasil pemilu” tidak termasuk ke dalam keputusan TUN. Oleh MA, ketentuan ini ditafsirkan lebih luas melalui Surat Edaran MA Nomor 8 Tahun 2005 yang mendefinisikan kata ”hasil pemilu” juga meliputi keputusan-keputusan lain yang terkait dengan pemilu. ”Surat edaran ini harus dicabut. Karena dalam praktiknya, surat edaran ini tidak diikuti. Namun, daripada menimbulkan kebingungan, MA sebaiknya mencabutnya,” ujar Firmansyah. (ANA)
Sumber: Kompas, 3 April 2009