MA Tak Sensitif
Secara universal, pemberian hadiah kepada hakim jelas telah dilarang.
Ketua Konsorsium Reformasi Hukum Indonesia Firmansyah Arifin menyesalkan sikap Mahkamah Agung yang tetap memperbolehkan hakim menerima hadiah dalam rancangan pedoman perilaku hakim. Sikap Mahkamah Agung ini menjadi bukti bahwa lembaga pengadilan tertinggi tersebut tidak sensitif terhadap kritik masyarakat yang jelas menolak ketentuan itu.
Ketentuan itu akan merusak citra peradilan, jadi harus dilarang, kata Firmansyah kemarin.
Masyarakat Indonesia, kata Firmansyah, masih terbiasa pada budaya membalas pemberian. Karena itu, pemberian tersebut jelas akan mempengaruhi hakim dalam menangani perkara.
Pekan lalu, Ketua Muda Pidana Khusus Hakim Agung Iskandar Kamil mengatakan Mahkamah Agung hampir merampungkan pedoman perilaku hakim. Dalam pedoman itu, Mahkamah Agung memperbolehkan hakim menerima hadiah yang tidak berhubungan dengan perkara yang sedang ditangani atau menerima hadiah dari keluarga. Ketentuan ini, kata dia, telah sesuai dengan The Bangalore Principle atau ketentuan hakim sedunia.
Firmansyah menilai alasan Mahkamah Agung itu mengada-ada. Secara universal, pemberian hadiah kepada hakim jelas telah dilarang. Jika ketentuan itu tetap disahkan, Firmansyah khawatir Mahkamah Agung akan kesulitan menjalankan pelaksanaannya. Apalagi, kata dia, jumlah hakim di Indonesia mencapai ribuan dan tersebar di semua penjuru daerah. Siapa yang bisa mengawasi dan menjamin pemberian terhadap hakim-hakim itu tidak berhubungan dengan profesinya? ujarnya.
Kritik juga dilontarkan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia. Lembaga ini meminta Mahkamah Agung menghilangkan ketentuan yang memperbolehkan hakim menerima hadiah itu. Jika tidak bisa menjamin, lebih baik tidak memperbolehkan saja, kata Ketua Harian Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Hasril Hertanto.
Menurut Hasril, sampai sekarang Mahkamah Agung belum memberikan batasan yang jelas perihal pemberian hadiah kepada hakim. Jika hakim diberi hadiah, siapa yang bisa menjamin itu tidak akan mempengaruhi putusannya? ujarnya.
Hasril tak bisa menerima alasan Mahkamah Agung yang mengatakan perilaku itu sesuai dengan ketentuan hakim sedunia. Toleransi terhadap pemberian yang berasal dari keluarga, kata Hasril, justru tidak kalah mengkhawatirkan. Bisa jadi akan muncul mafia peradilan di dalam keluarga para hakim, ujarnya. AGOENG WIJAYA
Sumber: Koran Tempo, 9 Oktober 2006