MA Tanggapi Kritik
Kritik Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Anwar Nasution dan anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Mahfud MD (Fraksi PKB, Jawa Timur X) atas terjadinya pungutan liar di Mahkamah Agung ditanggapi MA.
Ketua Muda MA Harifin A Tumpa menggelar jumpa pers di MA, Selasa (15/8), untuk menanggapi kritik itu. Sebelumnya, Anwar menengarai adanya pungutan liar alias pungli di tubuh MA melalui penarikan biaya perkara kasasi dan peninjauan kembali sebesar Rp 500.000-Rp 2,5 juta.
Harifin menyayangkan sikap Anwar dan Mahfud. Kepada Anwar, Harifin menuding pemimpin BPK itu telah merendahkan lembaga pengadilan tertinggi. Tudingan ada pungli di MA sama sekali tidak berdasar dan sangat merendahkan pengadilan negara tertinggi di negeri ini, ujar Harifin.
Menurut Harifin, penarikan biaya perkara, khususnya untuk perkara perdata, sudah menjadi asas umum di dunia. Ketentuan tersebut juga diatur dalam Undang-Undang MA. Ia juga menjelaskan, penarikan biaya perkara sudah berlangsung lama bahkan sejak zaman Belanda.
Secara terpisah, Mahfud mengaku pernah menjadi korban pungli. Tahun 2003 ia tengah mengurus salinan putusan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Untuk memperoleh salinan putusan, pegawai MA meminta ia menyerahkan uang Rp 2,5 juta. Ya, kami terpaksa membayar untuk mempercepat keluarnya salinan putusan, ujar Mahfud.
Pengalaman kedua juga dialami ketika PKB hendak menarik gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Mereka dimintai uang sebesar Rp 4 juta.
Harifin menyayangkan sikap Mahfud yang bersedia membayar sejumlah uang kepada pegawai MA. Hal itu menyuburkan praktik yang dilakukan orang yang tidak bertanggung jawab. (ANA)
Sumber: Kompas, 16 Agustus 2006
-----------
MA Tolak Uang Perkara Diaudit
BPK: MA juga bisa salah.
Mahkamah Agung menyatakan uang biaya perkara perdata di institusi itu tak bisa diaudit oleh lembaga lain. Termasuk BPK ataupun Komisi Yudisial, kata Ketua Muda Perdata MA Harifin Tumpa dalam keterangan pers khusus soal uang perkara di gedung MA, Jakarta, kemarin. BPK bertugas mengaudit uang negara. Uang biaya perkara bukan uang negara.
Menurut dia, MA berpendirian biaya perkara dalam kasasi dan peninjauan kembali sesuai dengan aturan dan menjadi asas umum di dunia. Orang yang beperkara harus membayar biaya perkara untuk mempertahankan kepentingan individunya. Harifin mengaku senang jika negara mau menanggung biaya perkara, tapi negara tak berkepentingan karena menyangkut kasus individu. Negara bisa bangkrut kalau semua kepentingan individu ditanggung negara.
MA, ia melanjutkan, justru menganggap pernyataan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Anwar Nasution soal dana biaya perkara tak berdasar. Anwar pada 8 Agustus lalu menyebutkan adanya praktek pungutan liar di MA. Misalnya pihak yang beperkara tingkat kasasi ditarik biaya Rp 500 ribu, untuk peninjauan kembali ditarik biaya Rp 2,5 juta. Padahal dana yang disetor ke kas negara hanya Rp 1.000 per perkara.
Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie berpendapat, sebaiknya biaya perkara ditiadakan karena memberatkan orang yang beperkara. Konsekuensinya, anggaran negara buat MA harus dinaikkan, ujarnya Jumat lalu.
Harifin menjelaskan, biaya perkara sudah ada sejak zaman Belanda, yang diatur dalam HIR (hukum acara perdata) dan Rbg (hukum acara perdata khusus untuk Sumatera, Jawa, dan Madura), yang berlaku hingga kini. Undang-Undang MA juga mengatur biaya perkara. Besaran biaya diatur dalam Keputusan Ketua MA. Surat Edaran MA Nomor 1 Tahun 1955 menetapkan biaya perkara Rp 750, sedangkan Edaran Nomor 04 Tahun 1971 menetapkan biaya Rp 100.
Surat Keputusan Ketua MA pada 2001-2002 menetapkan biaya perkara Rp 500 ribu hingga Rp 2,5 juta. Uang itu antara lain dipakai menggandakan berkas, penjilidan, kertas, tinta, dan membiayai perkara pidana yang tak dikenai biaya. Itu subsidi silang, ujarnya.
MA menganggap Anwar mengeluarkan pernyataan gegabah dan merendahkan peradilan. MA memikirkan akan mengambil tindakan atas pernyataan Anwar itu.
Anggota BPK, Baharuddin Aritonang, mengatakan MA juga bisa salah. Tapi ia menolak menjelaskan pandangan BPK soal uang biaya perkara dengan alasan khawatir mengganggu kerja tim yang sedang mengaudit penerimaan negara nonpajak di MA. Setelah selesai, mari berdebat, ucapnya kemarin. TITO SIANIPAR | DIAN YULIASTUTI
Sumber: Koran Tempo, 16 Agustus 2006