MA Tolak Kasasi Urip; Tetap Dihukum 20 Tahun, KPK Perlu Usut Pihak Lain
Mahkamah Agung menolak kasasi yang diajukan Urip Tri Gunawan dan tetap menjatuhkan hukuman 20 tahun penjara. Majelis hakim agung di tingkat kasasi tidak menemukan adanya kekeliruan penerapan hukum dalam putusan judex facti atau majelis hakim di tingkat banding.
Kasasi itu diputuskan majelis hakim agung yang diketuai Artidjo Alkostar dengan anggota Moegihardjo, MS Lumme, Hamrad Hamid, dan Leopold Hutagalung, Rabu (11/3) di Jakarta.
Menurut Artidjo, majelis kasasi tak menemukan adanya kesalahan penerapan hukum dalam putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, seperti yang didalilkan Urip. Urip, mantan jaksa penyelidik Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), dalam permohonan kasasinya menyatakan, seharusnya dia dikenai Pasal 5 (penyuapan) seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, seperti yang dikenakan kepada Artalyta Suryani alias Ayin selaku pemberi suap.
Namun, menurut Artidjo, dalil itu tak bisa dibenarkan. Artalyta adalah pegawai swasta, sedangkan Urip adalah pegawai negeri sipil dan penyelenggara negara.
Urip dalam sidang sebelumnya disebut menerima 660.000 dollar Amerika Serikat (AS) sebagai akibat dari melakukan sesuatu yang berhubungan dengan kasus Syamsul Nursalim, penerima BLBI. Perbuatan itu bertentangan dengan kewajiban Urip sebagai jaksa di Kejaksaan Agung.
Dalam kaitan dengan hal itu, kata Artidjo, Urip juga aktif berkomunikasi dalam upaya melakukan perlindungan kepada Syamsul, kaitannya dengan penyelidikan penerimaan BLBI oleh Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI). ”Dengan demikian, konsekuensi yuridisnya, Urip dihukum sesuai Pasal 12b (menerima hadiah yang patut diduga diberikan karena ia melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan) UU No 31/1999, bukan Pasal 5 Ayat 2 UU itu,” ujarnya.
Majelis kasasi tak sependapat dengan alasan pemohon kasasi mengenai tidak cermatnya hakim judex facti mempertimbangkan saksi dan alat bukti. Menurut Artidjo, majelis kasasi tidak berwenang menelaah penilaian hasil pembuktian karena hal itu adalah kewenangan pengadilan tingkat pertama dan banding.
Kuasa hukum Urip, Albab Setiawan, mengaku belum mendapat pemberitahuan tentang putusan kasasi itu. Ia masih akan mempelajari terlebih dahulu putusan kasasi itu, baru menyiapkan langkah hukum jika masih memungkinkan.
Sebelumnya, MA juga menolak kasasi Artalyta. Ia tetap dihukum lima tahun penjara.
Segera dieksekusi
Secara terpisah, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bibit Samad Rianto, Rabu di Jakarta, mengatakan, jika Urip tidak mengajukan peninjauan kembali, KPK segera mengeksekusinya. Saat ini Urip masih ditahan di Rumah Tahanan Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat. Jika dieksekusi, penahanannya akan dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan.
Pengajar hukum tata negara dari Universitas Indonusa Esa Unggul, Jakarta, Irman Putra Sidin, menilai, putusan MA terhadap permohonan kasasi dari Urip patut dihargai. Namun, yang lebih penting adalah usaha KPK mengusut pihak lain yang diduga terlibat dalam kasus Urip, seperti yang disebutkan dalam putusan Pengadilan Tipikor.
Dalam putusannya 4 September 2008, majelis hakim Pengadilan Tipikor menyatakan, Urip bersama dengan Kemas Yahya Rahman dan M Salim, yang saat itu adalah atasannya di kejaksaan, melindungi kepentingan pemilik BDNI dan penerima BLBI, Sjamsul Nursalim.
Keyakinan itu muncul karena yang disampaikan Kemas, yang menjabat Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, saat mengumumkan kasus BLBI pada 29 Februari 2008 sama dengan percakapan Urip dan Artalyta. (ana/nwo)
Sumber: Kompas, 12 Maret 2009
-----------------------
MA Tetap Hukum Urip 20 Tahun
Upaya jaksa Urip Tri Gunawan memperoleh keringanan hukuman berakhir kandas. Mahkamah Agung (MA) yang menyidangkan permohonan kasasi koordinator tim jaksa penyelidik Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) itu tetap memvonisnya 20 tahun penjara.
Majelis hakim yang menangani putusan itu adalah Artidjo Alkostar (ketua) yang beranggota hakim Moegihardjo, M.S. Lume, Hamrat Hamid, dan L. Hutagalung. Mereka tidak mengubah lama hukuman dari putusan pengadilan di bawahnya: Pengadilan Tinggi (PT) DKI dan Pengadilan Tipikor.
Urip tetap dinyatakan bersalah karena menerima fulus USD 660 ribu dari Artalyta Suryani alias Ayin, orang dekat obligor BLBI Sjamsul Nursalim. Majelis juga menjatuhkan denda kepada Urip senilai Rp 500 juta.
Dalam putusannya, majelis hanya mempertimbangkan satu di antara tiga alasan kasasi. Salah satunya, Urip merasa pengadilan judex factie keliru menjatuhkan pidana, seharusnya vonis Ayin menjadi perbandingan dalam penjatuhan hukuman. Namun, para hakim agung ternyata tidak sepakat dengan keberatan itu.
Menurut Artidjo, Ayin merupakan pihak swasta, sedangkan Urip adalah penyelenggara negara. ''Urip juga aktif dalam menerima suap,'' kata Artidjo kepada wartawan kemarin.
Dia mengungkapkan, Urip menerima pemberian USD 660 ribu sebagai akibat dari hubungannya dengan Sjamsul.
Sementara itu, pengacara Urip, Albab Setiawan, mengaku belum dapat berkomentar banyak terkait putusan tersebut. "Saya belum menerima petikan putusan itu. Saya akan lebih dulu mendiskusikan dengan klien saya," ungkap Albab.(git/fal/agm)
Sumber: Jawa Pos, 12 Maret 2009
------------------
Jaksa Urip Tetap Dihukum 20 Tahun Penjara
Dalam berkas kasasi, Urip meminta hukumannya sama seperti hukuman Artalyta.
Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi jaksa Urip Tri Gunawan, terdakwa penerima suap dari pengusaha Artalyta Suryani. Urip tetap divonis 20 tahun penjara dan denda sebesar Rp 500 juta atau hukuman pengganti selama delapan bulan penjara. "Alasan terdakwa Urip dalam berkas memori kasasi kami tolak," ujar Artidjo Alkostar, ketua majelis kasasi, di kantornya kemarin. Putusan ini diputuskan dalam rapat musyawarah majelis kasasi dengan anggota Moegiharjo, M.S. Lumee, Hamrat Hamid, dan Leopold Hutagalung.
Vonis 20 tahun penjara terhadap Urip sama seperti putusan sebelumnya. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi--peradilan tingkat pertama--pada 4 September 2008 memvonis 20 tahun penjara. Vonis ini dikuatkan Pengadilan Tinggi Jakarta pada 27 November 2008.
Kasus ini bermula dari tertangkapnya Urip oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada Juni 2008. Urip tertangkap dengan barang bukti uang sebesar US$ 660 ribu atau sekitar Rp 7 miliar. Uang suap dari Artalyta itu untuk melindungi pengusaha Sjamsul Nursalim berkaitan dengan penyelidikan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia di Bank Dagang Nasional Indonesia.
Artidjo mengungkapkan, Urip dalam berkas memori kasasinya menilai bahwa pengadilan tingkat dan banding (judex facti) telah keliru menjatuhkan pidana terhadapnya. Menurut Urip, seharusnya vonis terhadap dirinya mengacu pada hukuman Artalyta.
Namun, Artidjo menegaskan, alasan Urip tersebut tidak dapat diterima. "Artalyta sebagai swasta berbeda dengan terdakwa sebagai pegawai negeri sipil atau penyelenggara negara," kata Artidjo. Menurut Artidjo, perbuatan Urip menerima suap bertentangan dengan kewajiban terdakwa sebagai jaksa.
Konsekuensinya, Artidjo melanjutkan, Urip dijerat dengan Pasal 12-b Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. "Jadi bukan Pasal 5 ayat 2 seperti yang diminta terdakwa," ujar Artidjo. Apalagi, Artidjo melanjutkan, Urip terdakwa aktif menghubungi Artalyta.
Adapun Artalyta telah divonis. Pada 20 Februari lalu, majelis kasasi menolak permohonan kasasi Artalyta. Dia tetap divonis lima tahun penjara dan denda Rp 250 juta atau hukuman pengganti selama lima bulan penjara.
Artidjo juga mengungkapkan, Urip dalam berkas kasasinya menyatakan putusan pengadilan sebelumnya keliru karena tidak cermat memeriksa saksi dan bukti. Artidjo menegaskan, alasan tersebut tidak dapat dipertimbangkan karena penilaian hasil pembuktian merupakan kewenangan judex facti. "Bukan kewenangan Mahkamah Agung sebagai judex jurist," ujarnya.
Adapun Albab Setiawan, pengacara Urip, mengatakan belum mengetahui putusan kasasi tersebut. Albab juga mengatakan belum dapat memberikan pernyataan resmi atas ditolaknya permohonan kasasi kliennya tersebut. "Akan kami diskusikan dulu dengan klien kami," ujarnya saat dihubungi kemarin.
Sedangkan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Haryono Umar menyatakan puas atas putusan tersebut. "Baguslah karena dia itu penegak hukum," kata Haryono saat ditemui Tempo di ruang kerjanya. SUTARTO
Sumber: Koran Tempo, 12 Maret 2009