Mafia
Akhir-akhir ini kata ”mafia” menghiasi khazanah publik. Skandal dan penyimpangan oleh penyelenggara negara dan kaki tangannya dilabeli ”mafia”. Mulai dari mafia peradilan, mafia pajak, mafia hutan, dan entah apa lagi. Dan, untuk mengatasi, pemerintah dengan cekatan membentuk Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum.
Penggunaan istilah ”mafia” sendiri untuk mendeskripsikan kejahatan terorganisasi, khususnya yang berkaitan dengan penyalahgunaan kekuasaan, kurang tepat. Seperti dikeluhkan oleh John Dickie, penulis buku Cosa Nostra, kata ”mafia” sudah menjadi sangat populer seperti ”piza”, ”opera”, atau ”lega calcio”. Penulis berpendapat kelatahan penggunaan ”mafia” akan berakibat pada kekurangakuratan analisis atas ”tindak pidana” yang dapat berujung pada ketidakakuratan upaya pemberantasannya.
Asal muasal istilah ”mafia” masih menjadi perdebatan. Dalam dialek Palermo kata ini bisa berarti ”percaya diri” atau jika menjadi kata sifat (untuk perempuan) berarti ”indah”. Beberapa sejarawan merujuk pada pementasan yang bertajuk ”I Mafiusi di la Vicaria” (”Mafia” di Penjara Vicaria) yang dipentaskan pada 1863. Pendapat lain merujuk pada laporan Marquis Filippo Antonio Gualterio, seorang prefect (kepala administrator) Palermo, tahun 1865 kepada Menteri Dalam Negeri di Roma. Dalam laporannya, Gualterio mencatat bahwa kelompok kriminal di Palermo, yang ia sebut ”mafia” menjadi instrumen kelompok oposisi dalam politik lokal.
Ruang gerak dari negara
Kata ”mafia” sendiri di Italia hanya ditujukan kepada kelompok kejahatan terorganisasi yang berasal dari bagian barat Pulau Sisilia dan berpusat di Palermo. Kelompok-kelompok ini menyebut diri sebagai ”Cosa Nostra” yang berarti ”Orang Kita”. Di belahan Italia dan negara lain, kelompok kejahatan mempunyai nama tersendiri, seperti Camorra yang beroperasi di wilayah Campania (Napoli dan Salerno), ’Ndranghetadi di wilayah Calabria, Sacra Corona Unita di wilayah Puglia (Lecce, Taranto, Brindisi), ataupun Brava kelompok kejahatan terorganisasi di Rusia, Triad yang menguasai Hongkong, Taiwan, dan China, serta Yakuza yang beroperasi di Jepang. Kelompok-kelompok ini merupakan kelompok etnik dan punya perbedaaan tradisi walau menggunakan strategi yang sama: monopoli kekerasan.
Penyimpangan dan korupsi yang dilakukan penyelenggara negara lebih tepat dilabeli state crime ketimbang mafia. Beberapa faktor membedakan kedua kategori tersebut. Yang pertama adalah fungsi walau keduanya merupakan kejahatan terorganisasi dan mengontrol teritori, eksistensi ”mafia” diperoleh bukan karena kevakuman negara, melainkan karena diberikan ruang gerak oleh negara.
Di Italia selatan, kelompok-kelompok tersebut menjadi salah satu instrumen Democratic Christian (DC) Party dalam menguasai politik lokal (Dickie, 2004; Chubb, 1982). Setelah Perang Dunia, Yakuza diberi ruang untuk mengontrol oleh tentara pendudukan Amerika karena polisi Jepang dilucuti sebagai pihak yang kalah perang ataupun Brava mendapat tempat pasca-runtuhnya Uni Soviet (Armao, 2003). Adapun state crime dilakukan oleh penguasa sebagai strategi untuk menghegemoni dan merepresi warganya.
Faktor spasial menjadi pembeda antarkedua entitas. Kelompok-kelompok kejahatan terorganisasi mempunyai ”jarak” dan ”lokalitas” yang terpisah dari jalannya pemerintahan. Memang, ada kalanya Cosa Nostra, Triad, atau Yakuza bisa memengaruhi dan membeli aparatus hukum juga politisi. Namun, mereka tidak pernah menjadi penguasa itu sendiri. Adapun pelaku korupsi dan penyimpangan adalah entitas yang tak dapat dipisahkan dari kekuasaan. Mereka menjalankan hukum dan kebijakan serta kadang menggunakan legitimasi hukum untuk menyedot dana dan sumber daya publik, sesuatu yang tidak dinikmati oleh para mafioso.
Hal lain adalah ”keterbukaan”. Cosa Nostra, ’Ndranghetadi, Brava, Yakuza, dan Triad adalah komunitas bayangan (underworld society). Operasi mereka dilakukan secara tertutup. Tidak demikian dengan komunitas koruptor. Operasi dilakukan terbuka—pungli di kantor pemerintah, manipulasi pajak dengan wajib pajak, dan sebagainya—yang menjadi rahasia umum.
Memerangi kelompok kejahatan terorganisasi tidaklah mudah, akan tetapi memberantas korupsi yang dilakukan aparatur negara lebih sulit lagi. Memang keren istilah pemberantasan ”mafia” atas kejahatan negara, seperti korupsi dan pembalakan liar. Tantangannya pada perang melawan negara itu sendiri. Mungkinkah Satgas mengamputasi organ-organ negara yang membusuk? Jika dibiarkan berlarut, konsolidasi para koruptor lintas sektor akan berujung, seperti pada masa Orde Baru: hadirnya seorang capo di tutti capi (bos dari semua bos).
Luky Djani Mahasiswa Doktoral Asia Research Center, Murdoch University
Tulisan ini disalin dari Kompas, 27 April 2010